Di banyak ruang sidang dan forum kebijakan, kita sering mendengar pujian atas stabilitas ekonomi Indonesia. Pertumbuhan yang konsisten di kisaran 5%, inflasi yang terkendali, dan defisit fiskal yang relatif aman menjadi narasi yang terus diulang. Tapi di balik semua itu, kita mulai bertanya: apakah ini cukup? Apakah stabilitas yang kita banggakan ini benar-benar membawa kemajuan yang lebih dalam, atau justru meninabobokkan kita dalam kenyamanan semu?
Sebab pada akhirnya, ekonomi bukan hanya soal grafik dan angka. Ia soal pekerjaan yang layak, upah yang cukup, dan masa depan yang lebih cerah untuk anak-anak kita. Dan, ketika semua itu belum terasa nyata bagi banyak orang, kita perlu jujur bertanya: apa yang kurang dari arah pertumbuhan kita?
Jebakan Pertumbuhan 5%
Sudah lebih dari satu dekade, Indonesia tumbuh di angka yang nyaris sama: sekitar 5% per tahun. Di satu sisi, angka ini menunjukkan daya tahan ekonomi kita terhadap berbagai guncangan global. Tapi di sisi lain, angka ini juga seperti plafon yang sulit ditembus. Negara-negara Asia Timur bisa tumbuh lebih cepat. Kenapa kita tidak?
Pertumbuhan 5% bukan prestasi buruk, tapi juga belum cukup untuk mendorong lompatan besar, baik dari sisi penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, maupun peningkatan daya saing. Inilah yang banyak ekonom sebut sebagai “jebakan 5%”, yakni ekonomi yang berjalan, tapi terlalu lambat untuk membawa perubahan nyata.
Di sinilah pentingnya target ambisius Presiden Prabowo untuk membawa pertumbuhan ke level 8%. Target ini bukan sekadar angka, tapi simbol tekad untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap), di mana ekonomi tumbuh, tapi upah stagnan dan kesenjangan tetap tinggi.
Demand Tak Bisa Jalan Sendiri
Kita semua tahu bahwa konsumsi rumah tangga adalah mesin utama ekonomi Indonesia. Lebih dari setengah PDB kita berasal dari belanja masyarakat. Pemerintah pun secara konsisten menjaga daya beli lewat subsidi, bantuan sosial, dan belanja negara yang dirancang untuk menggerakkan roda ekonomi. Itu penting, apalagi pada masa-masa sulit seperti pandemi kemarin.
Tapi ada batasnya. Ketika belanja mulai ditopang oleh tabungan, saat indeks keyakinan konsumen menurun, kita tahu ini tanda yang harus dibaca cermat. Masyarakat butuh harapan, tapi juga kepastian penghasilan. Dan itu hanya datang dari ekonomi yang menghasilkan, bukan hanya yang membelanjakan.
Jika ingin melompat, kita tak bisa hanya bergantung pada sisi permintaan. Kita butuh sektor produksi yang kuat, industri bernilai tambah, dan tenaga kerja yang semakin terampil. Demand dan supply bukan dua kutub yang harus dipertentangkan, tapi harus saling menopang agar ekonomi kita kokoh dan berdaya tahan.
Waktunya Menggarap Dapur Produksi
Kini saatnya kita memperbaiki sisi penawaran ekonomi: supply side. Di sinilah “dapur” pertumbuhan berada. Kita bicara tentang regulasi yang ringkas, birokrasi yang efisien, tenaga kerja yang produktif, industri yang inovatif, dan iklim investasi yang bersahabat.
Memperbaiki dapur ini bukan perkara instan. Ia butuh keberanian dan kepemimpinan yang konsisten. Tapi tanpa itu, kita hanya akan berputar di titik yang sama. Reformasi struktural tak bisa lagi ditunda, baik di sektor pendidikan, perpajakan, energi, maupun logistik. Bahkan hal-hal seperti riset dan teknologi kini jadi penentu daya saing global.
Pemerintahan Prabowo punya peluang besar untuk mendorong transformasi ini. Target 8% pertumbuhan hanya bisa tercapai jika kita berani meninggalkan pola lama dan membangun mesin pertumbuhan baru yang lebih adil, produktif, dan berkelanjutan.
Kita seringkali punya mimpi besar, tapi ragu saat harus membenahi hal-hal mendasar. Padahal, kunci masa depan ada di sana, di ruang-ruang dapur ekonomi yang selama ini luput dari perhatian publik. Mendorong konsumsi memang penting, tapi tak cukup jika dapur produksi kita masih bocor.
Kalau kita sungguh ingin tumbuh lebih tinggi dan keluar dari middle income trap, kita harus melampaui kenyamanan jangka pendek dan masuk ke wilayah yang lebih menantang, yakni reformasi mendalam. Ekonomi yang stabil harus jadi landasan untuk melompat, bukan alasan untuk tetap diam di tempat.
M. Hanif Dhakiri Wakil Ketua Komisi XI DPR; Menteri Ketenagakerjaan 2014-2019; Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia; Wakil Ketua Umum DPP PKB pertumbuhan ekonomi