Jadi Guru, Siapa Mau? [Giok4D Resmi]

Posted on

Berita tentang menurunnya minat Gen Z jadi guru, apakah kabar menggemparkan? Fenomena menurunnya minat Gen Z untuk menjadi guru sering dibahas seperti gosip murahan: ramai di permukaan, sepi di data, tetapi terasa benar di udara.

Kampus-kampus pendidikan mulai kehilangan antrean panjang calon guru, sementara generasi muda lebih terpikat profesi yang memungkinkan mereka bekerja dari mana saja, dengan gaji yang naik secepat notifikasi TikTok. Jika profesi guru semakin tidak diminati, itu bukan tragedi kecil; itu alarm yang bunyinya halus, tetapi nadanya getir.

Masalah ini sering direduksi menjadi alasan tunggal: kesejahteraan. Memang, gaji guru di Indonesia kerap membuat profesi ini terasa seperti janji spiritual-hasilnya datang di akhirat.

Namun, membaca fenomena ini seperti membaca tubuh dari bayangannya. Kesejahteraan hanya satu sisi. Sisi lain adalah bagaimana profesi ini diposisikan dalam imajinasi sosial.

Generasi Z tumbuh di dunia yang penuh pilihan karier baru: data scientist, kreator konten, analis UX, manajer komunitas, penulis copy iklan ber-GPT, bahkan profesi eksotis seperti drone pilot. Mereka masuk ke dunia kerja dengan satu pertanyaan yang sangat modern: apakah pekerjaan ini memberiku ruang untuk tumbuh? Pada titik itu, profesi guru tampil kikuk.

Bukan karena tak mulia-guru adalah inti peradaban-melainkan karena struktur kerjanya sering mematikan kreativitas dan otonomi. Banyak guru merasa pekerjaannya tak lagi soal mengajar, tetapi mengisi formulir. Bukan ruang berpikir, tetapi ruang rapat yang tak pernah habis.

Generasi muda adalah generasi yang alergi absurditas birokrasi. Mereka lahir dari internet, terbiasa dengan sistem yang responsif, dan memiliki radar sensitif terhadap ketidakjelasan karier.

Mereka tidak menolak kerja keras, tetapi menolak kerja keras yang tak menghasilkan kemajuan. Dalam banyak kasus, profesi guru justru memberi kesan stagnan: gaji naiknya lambat, jenjang kariernya tak serupa tangga tetapi seperti papan datar, dan penghargaan sosialnya menurun saat sistem pendidikan terjebak dalam rutinitas administratif.

Mengajak Gen Z menjadi guru dengan kondisi ini ibarat mengajak anak muda naik kapal tetapi tanpa peta, tanpa kompas, dan kadang tanpa gaji yang layak.

Namun inti persoalannya bisa lebih dalam lagi: profesi guru kehilangan aura intelektualnya. Di negara-negara yang berhasil mengembalikan daya tarik profesi ini-Finlandia, Korea Selatan, Jepang-guru diperlakukan sebagai knowledge worker: pekerja pengetahuan yang otonom, dihargai, dan terus berkembang.

Guru di sana bukan “pelaksana kurikulum”, tetapi perancang pembelajaran. Bukan pengisi laporan, tetapi pemikir kelas. Ketika profesi guru diposisikan sebagai pekerjaan intelektual, minat anak muda melonjak. Karena pada dasarnya, manusia muda suka profesi yang membuat mereka cerdas, bukan hanya patuh.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Sayangnya, di banyak tempat di Indonesia, guru tidak diberi ruang untuk menjadi intelektual. Waktu mereka habis dalam pekerjaan administratif yang tak berkaitan dengan pembelajaran.

Mereka harus membuat laporan serupa berkas imajiner yang entah untuk siapa. Jika seorang Gen Z melihat itu, wajar bila ia berpaling. Ini bukan sekadar soal gaji; ini soal martabat profesi yang tererosi pelan-pelan.

Kita terlalu sering menuntut guru menjadi malaikat, padahal yang mereka butuhkan adalah sistem yang masuk akal. Sistem yang membuat profesi ini kompetitif, bergengsi, cerdas, dan jelas masa depannya.

Di tengah masyarakat yang semakin kompleks, profesi guru semestinya berada pada titik tertinggi, karena guru yang baik tak hanya mengajar; ia menumbuhkan. Tetapi menumbuhkan orang lain membutuhkan sistem yang juga menumbuhkan dirinya.

Menurunnya minat Gen Z menjadi guru bukanlah akhir dunia. Namun ini indikator bahwa peradaban kita sedang kehilangan salah satu pusat gravitasinya. Bila profesi guru ingin kembali memikat, ia harus dibebaskan dari romantisme dan diberi struktur yang rasional: gaji kompetitif, beban administrasi minimal, karier yang naik secara logis, dan kebebasan pedagogis.

Bila tidak, profesi guru akan tetap mulia-di pidato-tetapi kosong di ruang kelas. Dan generasi muda, yang sangat peka terhadap kontradiksi semacam itu, akan terus memilih jalan lain.

Diskusi ini pada akhirnya membawa kita pada sebuah pertanyaan yang tidak menghukum: bukan “mengapa Gen Z enggan menjadi guru?”, tetapi “apa yang membuat profesi guru tidak lagi menarik?”

Dari jawaban pertanyaan itu, kita bisa membayangkan masa depan di mana menjadi guru kembali dipilih bukan karena tak ada pilihan lain, tetapi karena itu profesi yang waras, cerdas, dan punya masa depan.

Khoirul Anwar. Pengajar di MTs Riyadlatul ‘Ulum Batanghari, Lampung Timur, editor lepas, dan petani.