Petang yang tenang di Taman Menteng, Jakarta Pusat Jumat 12 Desember 2025. Di bawah rindang pohon beringin dengan sesekali terpapar asap dari bakaran sate pedagang kaki lima, seorang kawan mantan staf khusus sebuah kementerian Curhat–bahasa keren untuk mencurahkan isi hati.
Kebetulan dia menjadi staf khusus yang membantu menteri di bidang komunikasi publik dan media sekaligus juru bicara. Dia bertanggung jawab untuk menyebarluaskan kebijakan dan keberhasilan kementerian. Baik atau buruknya wajah kementerian ada di tangan sang kawan ini.
Dia harus siaga 24 jam. Telepon genggamnya pun nyaris tak pernah mati. Kalau tidak telepon dari menteri, rentetan panggilan dan WhatsApp juga datang dari para wartawan, juru warta. Datangnya pun tak kenal Waktu. Bisa dini hari atau bahkan tengah larut malam sekali.
Selain siap menerima panggilan, seorang staf khusus yang merangkap juru bicara kementerian harus siaga jika sewaktu waktu mendapatkan pertanyaan dari wartawan. Sesulit apapun pertanyaan wartawan harus dia layani. Untuk itu dia juga harus mengikuti isu terkini dan yang lagi hangat dibicarakan oleh masyarakat.
Persoalan lain adalah tugas dari menteri untuk meneruskan kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Ini bukan sekadar meneruskan,tapi harus memastikan kebijakan tersebut bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Seorang juru bicara dan unit Humas kementerian harus pintar pintar memilih strategi dan penggunaan bahasa yang tepat untuk mengkampanyekan kebijakan pemerintah tersebut. Sebab banyak kebijakan pemerintah yang bagus-bagus, namun tidak tersosialisasikan dengan baik akibat penggunaan bahasa yang kurang pas.
Bahkan pernah suatu ketika, kata dia, publik justru membenci kebijakan yang baru saja disosialisasikan oleh tim Humas Kementerian. Penyebabnya sepele, salah penggunaan bahasa dalam satu kalimat. Meski sepele tapi akibatnya sangat besar.
Cerita kawan itu terjeda saat tukang sate kambing mengantar pesanan kami. Diiringi alunan keroncong jalanan kami melanjutkan diskusi sambil menyantap sate dan sop kambing. Dia meminta pendapat penulis.
Hampir semua juru bicara, Humas dan public relation pernah mengalami kendala pilihan bahasa saat mensosialisasikan kebijakan pemerintah. Ketika memutuskan sebuah kebijakan baik itu dalam sebuah keputusan presiden, keputusan menteri, surat edaran menteri dan lain sebagainya bisanya menggunakan bahasa resmi yang akademis.
Ciri bahasa akademis antara lain menggunakan bahasa formal, terstruktur, dan logis. Biasanya juga dilengkapi dengan teori, rujukan dan istilah teknis. Terkadang juga menggunakan kalimat panjang, kompleks dengan argumen berlapis.
Tugas seorang juru bicara atau Humas adalah mensosialisasikan kebijakan pemerintah tersebut dengan bahasa yang mudah diterima oleh masyarakat. Salah satu medium untuk sosialisasi tersebut adalah melalui media massa dengan menggunakan bahasa jurnalis.
Ciri khas bahasa jurnalis adalah ringkas, padat, mudah dipahami, menggunakan kalimat aktif dan langsung ke inti, kadang disertai kutipan untuk memperkuat fakta. Terkait hal ini penulis pernah memiliki pengalaman mengubah bahasa jurnal yang ilmiah ke dalam bahasa jurnalistik.
Itu terjadi saat penulis mengampu kanal infoEdu di infocom. Ketika itu salah satu lembaga pemerintah berniat menyebarkan sejumlah jurnal penelitian agar tidak hanya bisa dibaca di kalangan akademisi kampus saja, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Jurnal-jurnal terpilih akhirnya diringkas kembali dan dikurasi bersama antara redaksi infoEDU bersama Humas lembaga tersebut. Tujuannya agar artikel yang tayang di media massa itu nantinya tidak menyimpang dengan subtansi dari jurnal aslinya. Perlakuan ini tentu bisa diterapkan saat mensosialisasikan kebijakan pemerintah ke dalam bahasa jurnalistik yang mudah dipahami dan bisa diterima oleh masyarakat.
Selain menggunakan media mainstream, di era digital sosialisasi kebijakan juga bisa dilakukan menggunakan media sosial Twitter, Facebook, Instagram, TikTok, YouTube dan lain-lain. Berbeda dengan bahasa akademis dan jurnalistik, bahasa dalam dunia media sosial lebih santai, penuh slang, singkatan, emoji, dan kadang campuran bahasa (Indonesia-Inggris), lebih emosional, personal, dan kadang hiperbolis.
Di dalam media sosial penggunaan teks narasi panjang tak diperlukan. Pengguna media sosial lebih menyukai visual seperti meme, GIF dan video pendek.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Salah seorang menteri keuangan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki kebiasaan mengumpulkan jurnalis sebelum mengumumkan kebijakan pemerintah. Ketika itu media sosial belum terlalu booming sehingga tak ada influencer diundang.
Kepada para jurnalis sang menteri menjelaskan tentang sejumlah pilihan kebijakan yang akan diumumkan oleh pemerintah berikut dampaknya. Ilustrasinya begini, misalnya pemerintahan dihadapkan pada pilihan perlu tidaknya pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Maka sang menteri dan stafnya menjelaskan secara gamblang terkait dengan istilah subsidi. Apa itu definisi subsidi, kepada sektor apa saja perlu diberikan subsidi, kapan perlu diberikan dan kapan subsidi harus dikurangi. Termasuk apa dampak jika subsidi BBM dicabut.
Harapannya ketika kebijakan diumumkan para jurnalis sudah memiliki pemahaman yang utuh. Sehingga mereka bisa menulis artikel dengan jernih, jelas serta mudah dipahami dan yang terpenting bisa diterima oleh masyarakat.
Strategi membumikan bahasa kebijakan ini bisa diterapkan tentunya mengikuti perkembangan zaman. Di era digital saat ini sosialisasi kebijakan tak hanya bisa dengan menggandeng jurnalis, tapi juga pegiat media sosial.
Erwin Dariyanto. Jurnalis, pemerhati masalah komunikasi dan kebijakan publik alumni Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia.







