MK Perintahkan Pembentuk UU Atur Nilai ‘Imbalan Wajar’ Pemegang Hak Cipta

Posted on

(MK) menegaskan besaran imbalan yang wajar atau royalti tak boleh ditentukan secara sepihak. MK menilai besaran royalti atau imbalan ditentukan berdasarkan aturan resmi yang berlaku.

Sidang putusan digelar di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025). MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh sejumlah musisi, di antaranya Ariel NOAH, Raisa Andriana, Bunga Citra Lestari, Judika, hingga Armand Maulana.

“Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’,” kata Ketua MK Suhartoyo.

Berikut ini Pasal 87 ayat 1 UU Nomor 28 Tahun 2014 sebelum diubah MK:

‘Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial’

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 telah memberikan ruang penafsiran dan ketidakpastian hukum mengenai makna dari imbalan atau royalti yang wajar. Menurut dia, imbalan yang wajar harus dimaknai sebagai royalti yang ditetapkan berdasarkan mekanisme dan tarif dalam peraturan perundang-undangan.

“Imbalan atas penggunaan ciptaan yang dimaksud pun tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat untuk dapat mengekspresikan dan menikmati hasil karya ciptaan secara mudah dan terjangkau,” ujar Enny.

MK menegaskan peran LMK adalah menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Namun, dalam menjalankan tugas tersebut, LMK wajib berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai dengan perundang-undangan.

“Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti atau imbalan yang terukur dan proporsional serta tidak memberatkan pengguna ciptaan dan masyarakat pada umumnya,” ujarnya.

“Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon perihal frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah beralasan menurut hukum,” imbuh dia.

Berikut ini amar putusan MK:

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian

2. Menyatakan frasa ‘setiap orang’ dalam norma pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial’

3. Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’

4. Menyatakan frasa huruf f dalam norma Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice’.

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya

6. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

MK menegaskan peran LMK adalah menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Namun, dalam menjalankan tugas tersebut, LMK wajib berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai dengan perundang-undangan.

“Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti atau imbalan yang terukur dan proporsional serta tidak memberatkan pengguna ciptaan dan masyarakat pada umumnya,” ujarnya.

“Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon perihal frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah beralasan menurut hukum,” imbuh dia.

Berikut ini amar putusan MK:

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian

2. Menyatakan frasa ‘setiap orang’ dalam norma pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial’

3. Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’

4. Menyatakan frasa huruf f dalam norma Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice’.

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya

6. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.