Apakah keberanian sejati masih memiliki tempat di tengah masyarakat yang kian sibuk memperdebatkan identitas, simbol, dan kepentingan politik? Pertanyaan ini relevan kita ajukan setiap kali ruang publik dipenuhi pertikaian, ujaran kebencian, dan kecurigaan antar iman.
Di tengah situasi semacam itu, kisah Riyanto-anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang gugur saat berupaya menyelamatkan jemaat Gereja Eben Haezer Kediri dari ledakan bom pada malam Natal, 24 Desember 2000-hadir sebagai pengingat keras bahwa kemanusiaan sejati sering kali lahir dari tindakan sunyi, bukan slogan lantang tapi kosong.
Riyanto bukan seorang tokoh besar, bukan pemimpin organisasi, apalagi pejabat negara. Ia hanyalah seorang kader Banser yang malam itu bertugas menjaga keamanan gereja. Namun, justru dari posisinya yang sederhana itulah lahir sebuah keteladanan besar.
Ketika sebuah paket mencurigakan ditemukan di halaman gereja, Riyanto memilih mengambil risiko paling fatal: menjauhkan benda tersebut dari kerumunan jemaat. Beberapa info kemudian, bom itu meledak dan merenggut nyawanya. Jemaat selamat, tetapi Riyanto gugur.
Peristiwa ini bukan sekadar tragedi, melainkan cermin tentang wajah keberanian yang sering kita lupakan. Dalam konteks Indonesia yang plural dan rawan konflik berbasis identitas, pengorbanan Riyanto menyimpan pesan moral yang jauh melampaui momentum Natal atau isu terorisme semata.
Data menunjukkan bahwa ancaman terorisme berbasis agama bukan sekadar isu masa lalu. Laporan Global Terrorism Index mencatat bahwa meski tren serangan teror di Asia Tenggara sempat menurun, potensi radikalisme berbasis ideologi keagamaan tetap ada dan mengalami transformasi pola.
Di Indonesia sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat bahwa kelompok ekstrem masih menjadikan rumah ibadah sebagai simbol target untuk menciptakan ketakutan dan polarisasi sosial.
Dalam konteks inilah, tindakan Riyanto menjadi sangat relevan: ia berdiri di garis depan, bukan untuk membela satu identitas agama, melainkan untuk menjaga nyawa manusia.
Keteladanan Riyanto juga menantang cara kita memahami toleransi. Selama ini, toleransi sering dipersempit menjadi wacana simbolik: ucapan selamat hari raya, dialog antarumat beragama, atau seremoni kebinekaan.
Semua itu penting, tetapi tidak cukup. Riyanto menunjukkan bahwa toleransi sejati adalah keberanian melindungi yang lain, bahkan ketika nyawa sendiri menjadi taruhannya. Ia tidak sekadar “membiarkan” orang lain beribadah, tetapi memastikan ibadah itu berlangsung dengan aman.
Secara sosiologis, tindakan Riyanto mencerminkan apa yang oleh Emile Durkheim disebut sebagai solidaritas moral, yakni ikatan sosial yang melampaui kepentingan individual dan sektarian. Solidaritas semacam ini kian langka di era ketika identitas sering dipolitisasi untuk kepentingan elektoral.
Media sosial, misalnya, kerap memperkuat polarisasi dengan algoritma yang mengedepankan emosi dan kemarahan. Dalam situasi seperti itu, keberanian Riyanto terasa kontras, bahkan subversif: ia menolak logika “kami versus mereka” dengan tindakan konkret.
Menurut hemat saya, pengorbanan Riyanto seharusnya ditempatkan sebagai rujukan etik bagi kehidupan berbangsa hari ini. Sayangnya, kisah semacam ini sering berhenti sebagai cerita heroik tahunan yang diulang setiap Desember, tanpa diinternalisasi secara serius dalam kebijakan publik maupun pendidikan sosial.
Kita memuji Riyanto, tetapi abai pada upaya sistematis untuk menumbuhkan nilai-nilai keberanian sipil dan empati lintas iman di tingkat akar rumput.
Padahal, riset-riset tentang pencegahan ekstremisme menunjukkan bahwa pendekatan keamanan semata tidak cukup. Studi United Nations Development Programme (UNDP) menegaskan bahwa penguatan kohesi sosial dan kepercayaan antarwarga merupakan faktor kunci dalam menekan radikalisme.
Dalam bahasa sederhana, masyarakat yang saling percaya dan peduli lebih tahan terhadap ideologi kekerasan. Riyanto, dengan tindakannya, telah mempraktikkan prinsip ini jauh sebelum istilah-istilah akademik itu populer.
Lebih jauh, teladan Riyanto juga relevan dalam konteks peran organisasi kemasyarakatan keagamaan seperti NU dan Banser.
Di tengah tudingan miring, stigmatisasi, bahkan upaya delegitimasi terhadap peran ormas keagamaan dalam menjaga kebhinekaan, kisah Riyanto menjadi bukti konkret kontribusi nyata di lapangan. Banser tidak hanya bicara tentang nasionalisme dan toleransi, tetapi membuktikannya dengan pengorbanan paling mahal.
Namun, penting pula untuk jujur mengakui bahwa keberanian individual seperti Riyanto tidak boleh dibiarkan berdiri sendiri. Negara memiliki tanggung jawab memastikan keamanan warga tanpa bergantung pada heroisme sukarela.
Tragedi bom gereja pada tahun 2000 itu menunjukkan lemahnya sistem keamanan kala itu. Meski saat ini aparat keamanan telah banyak berbenah, tantangan baru muncul dalam bentuk radikalisme digital dan lone wolf terrorism. Tanpa kebijakan yang adaptif dan inklusif, pengorbanan seperti Riyanto berisiko terulang, dan itu bukan sesuatu yang patut kita banggakan.
Di titik ini, kisah Riyanto seharusnya dibaca sebagai panggilan reflektif, bukan sekadar nostalgia heroik. Ia mengajarkan bahwa keberanian tidak selalu hadir dalam bentuk perlawanan bersenjata atau retorika keras. Keberanian sejati justru tampak dalam keputusan cepat, sunyi, dan penuh risiko demi keselamatan orang lain. Nilai ini relevan tidak hanya dalam konteks terorisme, tetapi juga dalam menghadapi krisis sosial lain, mulai dari bencana alam hingga konflik horizontal.
Saya ingin mengemukakan bahwa sudah saatnya negara dan masyarakat sipil menginstitusionalisasikan nilai-nilai yang diperjuangkan Riyanto. Pendidikan kewargaan perlu lebih menekankan etika kepedulian dan keberanian moral, bukan sekadar hafalan ideologi.
Media juga memiliki peran penting untuk terus mengangkat narasi keteladanan lintas iman, bukan hanya konflik dan sensasi. Dengan demikian, kisah Riyanto tidak berhenti sebagai monumen ingatan, tetapi menjadi energi moral yang hidup.
Akhirnya, pertanyaan di awal tulisan ini menemukan jawabannya. Keberanian sejati memang masih memiliki tempat, tetapi ia rapuh dan mudah tergerus jika tidak dirawat bersama. Riyanto telah menunjukkan jalannya dengan pengorbanan paling mahal.
Tugas kita hari ini bukan hanya mengenangnya, tetapi memastikan bahwa nilai kemanusiaan yang ia bela tetap menyala di tengah gelapnya intoleransi dan kekerasan. Jika tidak, maka pujian kita atas namanya hanyalah kata-kata kosong yang tak pernah benar-benar kita hidupi.
Abdur Rahmad. Alumnus Ponpes Nurul Jadid, Pengurus AISNU Jatim, PKC PMII Jawa Timur, Pengurus GP Ansor Giligenting.
Simak juga Video Densus 88 Sebut Tersangka Perekrut Anak ‘Pemain Lama’ Jaringan ISIS
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.







