Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan politik uang masih menjadi masalah besar dalam Pemilu di Indonesia. Menurutnya, Pemilu yang diharapkan mampu membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia dan menjadi simbol demokrasi, mulai dipertanyakan.
Dia mengatakan banyak yang mulai meragukan apakah Pemilu cukup efektif untuk mengubah sistem politik yang ada, ataukah Indonesia justru membutuhkan revolusi politik untuk mencapai perubahan yang lebih mendalam.
“Pemilu seringkali dijadikan ajang untuk praktik korupsi, di mana calon-calon legislatif atau eksekutif menggunakan uang untuk membeli suara. Hal ini merusak integritas Pemilu dan membuat proses politik terasa tidak adil, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke uang atau kekuasaan,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025).
Hal ini dia ungkapkan saat memberikan kuliah Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, secara daring, di Jakarta, Kamis (12/6).
Dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan) ini menekankan pentingnya mendorong partisipasi politik yang lebih inklusif. Menurutnya, kelompok yang selama ini kurang terwakili seperti perempuan, pemuda, disabilitas, dan masyarakat miskin harus diberi ruang lebih besar dalam proses politik.
“Masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk membuka ruang politik seluas-luasnya bagi semua warga negara. Pemuda, perempuan, dan kelompok rentan bukan sekadar objek dalam demokrasi elektoral, tetapi subjek yang berhak menentukan arah bangsa. Dengan memperkuat partisipasi mereka, Indonesia bukan hanya membangun demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi tantangan zaman,” tegas Bamsoet.
Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Jayabaya ini juga menguraikan tantangan utama yang menghambat partisipasi inklusif adalah dominasi politik transaksional atau money politics.
Fenomena ini telah mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia. Menurut data Indikator Politik Indonesia pada Pemilu 2024, sebanyak 35% responden mengaku menentukan pilihannya karena adanya imbalan uang. Angka ini menandakan pengaruh signifikan politik uang dalam keputusan memilih.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian masyarakat memaklumi praktik ini sebagai bagian dari ‘budaya politik’. Dalam sistem seperti ini, kelompok dengan sumber daya finansial terbatas, yang sering kali adalah perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta masyarakat miskin, akan selalu berada dalam posisi subordinat. Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena sistem menuntut biaya tinggi untuk ‘masuk’ ke arena kekuasaan.
“Persoalan ini harus segera diurai. Di satu sisi, negara ingin membangun demokrasi yang partisipatif dan inklusif, namun di sisi lain membiarkan atau bahkan tanpa sadar melestarikan struktur politik yang menyulitkan kelompok marginal untuk berpartisipasi secara setara. Solusi dari permasalahan ini tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi membutuhkan ekosistem politik yang sehat, komitmen elite, serta penguatan kapasitas masyarakat sipil,” kata Bamsoet.
Ia menilai peran legislatif dan pemerintah sangat krusial dalam menghadirkan demokrasi yang adil dan partisipatif. Menurutnya, kedua lembaga tak cukup hanya berperan sebagai pembuat regulasi, tetapi juga wajib menjadi jembatan bagi keterlibatan publik yang lebih bermakna.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya mekanisme partisipasi yang benar-benar memberi tempat bagi kelompok-kelompok yang selama ini kerap terpinggirkan. Forum aspirasi yang melibatkan komunitas disabilitas, organisasi pemuda, kelompok perempuan pedesaan, hingga komunitas adat dinilai bisa menjadi ruang strategis, asalkan tidak sekadar formalitas, melainkan benar-benar masuk ke proses legislasi dan pengawasan kebijakan.
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Menurutnya, pendidikan politik juga harus diperkuat dengan pendekatan yang relevan. Banyak anak muda dan kelompok rentan belum paham secara menyeluruh tentang sistem politik akibat terbatasnya literasi politik. Ia menyarankan pendekatan kreatif seperti lokakarya, diskusi komunitas, kampanye digital, atau simulasi parlemen yang melibatkan anak muda.
“Negara dan partai politik juga perlu lebih serius dalam menumbuhkan kepemimpinan baru dari kelompok marginal. Ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan kepemimpinan politik yang inklusif, membuka jalur karier politik yang tidak mahal, serta menciptakan sistem mentoring yang mendorong pemuda dan perempuan belajar langsung dari legislator senior,” tuturnya.
Ia menambahkan inklusi politik itu bukan hanya soal keadilan representasi, tapi juga kualitas keputusan yang dihasilkan. Semakin banyak perspektif yang hadir, semakin kuat pula demokrasi
Selain itu, ia mencontohkan bagaimana kehadiran legislator perempuan di parlemen berkontribusi pada lahirnya kebijakan yang peka terhadap isu gender. Salah satunya adalah pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 2022, hasil perjuangan panjang yang juga didorong oleh kelompok masyarakat sipil.
Bamsoet melihat peran pemuda di legislatif mulai membawa warna baru dalam perumusan kebijakan. Topik-topik seperti digitalisasi layanan publik, isu lingkungan hidup, hingga transparansi pengelolaan anggaran kini mulai diperjuangkan oleh kalangan muda di parlemen. Meski secara jumlah masih terbatas, kehadiran mereka membuktikan bahwa anak muda bisa berkontribusi dalam membangun politik yang lebih terbuka, modern, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
“Namun, semua langkah ini akan percuma jika sistem politik masih terjebak dalam pola transaksional yang koruptif. Karena itu, pembenahan sistemik seperti reformasi pendanaan partai politik, transparansi anggaran kampanye, serta penegakan hukum terhadap praktik money politics harus menjadi prioritas utama. Tanpa itu, keberagaman dalam daftar calon legislatif hanya akan menjadi formalitas yang menutupi kenyataan bahwa akses ke kekuasaan masih ditentukan oleh uang dan koneksi. Bukan oleh kompetensi dan representasi,” pungkasnya.