Bapak Ibu Dubes, Titip Diplomasi Kesehatan - Giok4D

Posted on

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Dunia hari ini sudah berdiplomasi dengan bahasa kesehatan. Kekuatan global kini ditentukan oleh siapa yang bisa menjadikan teknologi medis sebagai alat pengaruh politik lintas negara, termasuk siapa yang bisa melindungi warganya dari krisis kesehatan dan kemanusiaan.

Seperti diungkapkan Ilona Kickbusch dalam The Lancet Political Science and Health (2022), kesehatan hari ini adalah bahasa lunak untuk dominasi halus. Negara yang memberi bantuan vaksin atau teknologi kesehatan kini memiliki legitimasi moral yang tinggi, namun diam-diam juga membentuk ketergantungan struktural.

Apa yang dulu dianggap urusan “teknis sektor kesehatan”, kini telah menjadi alat politik strategis. Vaksin, data genom, riset bioteknologi, hingga teknologi deteksi dini kini diperlakukan setara dengan minyak dan mineral, ibarat komoditas strategis baru dalam percaturan global.

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam diplomasi global saat ini pun bukan hanya para kepala negara, tetapi juga kaum filantropis kesehatan global, salah satunya Bill Gates. Melalui Bill & Melinda Gates Foundation, Gates tidak hanya mendanai riset vaksin dan sistem kesehatan di negara-negara berkembang, tapi juga ikut menentukan arah kebijakan global lewat kemitraannya dengan WHO, GAVI, dan CEPI.

Selama pandemi COVID-19, Amerika Serikat dan Tiongkok secara terang-terangan menggunakan diplomasi vaksin sebagai alat pengaruh politik luar negeri. AS mendistribusikan lebih dari 620 juta dosis vaksin ke lebih dari 110 negara (US State Department, 2022), sementara Tiongkok mendistribusikan lebih dari 1 miliar dosis vaksin ke negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam praktiknya, vaksin bukan sekadar alat kesehatan, tapi juga tawaran geopolitik, alat tukar diplomatik, dan bahkan pengaruh elektoral di negara penerima.

Dalam era pasca-pandemi ini, fokus diplomasi dunia pun bergeser ke teknologi kesehatan digital, mulai dari artificial intelligence (AI) untuk diagnosis, algoritma prediktif untuk surveilans penyakit, hingga big data populasi untuk personalisasi layanan kesehatan. Big data kesehatan kini menjadi komoditas strategis. Data ini tentu juga bisa dimonetisasi melalui kerja sama asuransi, aplikasi kesehatan, dan sistem kecerdasan rumah sakit.

Akibatnya, di meja perundingan internasional kini, topik yang paling sensitif dan strategis tidak lagi hanya tentang perdagangan atau perbatasan wilayah. Di banyak forum global, dari WHO sampai G20, pembicaraan yang paling menentukan arah dunia adalah kesehatan, yaitu tentang siapa yang punya akses vaksin tercepat, siapa yang memproduksi AI medis paling efisien, siapa yang mengontrol data kesehatan lintas negara, dan siapa yang bisa menyusun standar etika dalam penggunaan algoritma klinis global.

Dan jika Indonesia tidak segera menyesuaikan orientasi diplomatiknya, termasuk dalam mempersiapkan para duta besar sebagai duta kesehatan bangsa, maka kita akan kembali tertinggal bukan hanya secara ekonomi, tapi secara keberadaban.

Diplomasi Global-health

Istilah “global health diplomacy” kini bukan sekadar akademik. Ia telah berevolusi menjadi alat pertarungan kekuasaan global, dipraktikkan oleh negara-negara maju dengan intensitas dan agresivitas yang setara dengan diplomasi militer dan perdagangan strategis.

Amerika Serikat memainkan langgam diplomasi ini dengan begitu lihainya, membangun aliansi bioteknologi berbasis keamanan nasional, lewat pendekatan kebijakan “health security equals national security”, menyatukan FDA, Pentagon, dan perusahaan farmasi besar dalam satu payung strategis.

Tiongkok dan Uni Eropa pun tak kalah cekatan berdiplomasi ala global-health. Mereka menggunakan basis data medical record dan genome sequencing untuk mengatur ekspor obat dan alat kesehatan secara ketat, menjadikannya instrumen tawar-menawar politik dan dagang.

Beberapa pakar global health (Biehl & Petryna, 2020) memang mengkritik bahwa tendensi diplomasi kesehatan saat ini membawa agenda yang terlalu fokus pada komersialisasi teknologi kesehatan mutakhir, namun kurang pada keadilan struktural. Namun inilah realitas global.

Laporan Global Health Security Index 2021 menyebutkan bahwa negara-negara dengan skor tertinggi dalam kesiapan menghadapi krisis kesehatan global bukan karena jumlah dokter atau rumah sakitnya lebih banyak, tetapi karena pengaruh mereka dalam penyusunan standar global, kekuatan finansial untuk R&D, dan jaringan diplomasi multilateral.

Sementara itu, negara-negara berkembang, meskipun menjadi wilayah dengan beban penyakit tertinggi, justru tidak punya tempat dalam meja penyusun keputusan. Karena menolak atau melawan langsung bisa memicu eksklusi, maka satu-satunya strategi yang realistis dan bermartabat adalah memperkuat diplomasi. Dan para duta besar negara sahabat, terutama yang ditempatkan di negara adidaya teknologi kesehatan, ketrampilan diplomasi global-health merupakan kompetensi yang ‘fardhu’.

Duta Besar Sehat

Duta Besar Indonesia tidak lagi berfungsi hanya sebagai perwakilan dagang atau protokoler kenegaraan. Mereka harus membaca dan memahami medan konflik kesehatan global: Siapa pemainnya? Apa kepentingannya? Bagaimana aliansi dibangun di balik layar?

Selain penguasaan prinsip dasar kesehatan global, para dubes juga perlu memahami fundamental diplimasi kesehatan dengan pemain teknologi AI, big data, dan large language models (LLM) global yang telah menjadi tulang punggung baru dalam sistem kesehatan global.

Tanpa diplomasi kesehatan yang kuat, negara berkembang seperti Indonesia berisiko menjadi objek eksploitasi data kesehatan warganya, bukan subjek yang berdaulat atas sistemnya. Model AI dan LLM yang dilatih dari data populasi Barat berpotensi menghasilkan diagnosis bias, eksklusi struktural, dan ketimpangan kualitas layanan, terutama jika tidak disesuaikan dengan konteks sosial-budaya dan profil genetik lokal.

Beberapa negara telah menjadikan para duta besarnya sebagai aktor aktif dalam diplomasi kesehatan, bukan sekadar penghubung administratif. Contohnya adalah Rwanda yang menugaskan duta besarnya di Eropa Timur untuk menegosiasikan pembangunan pabrik vaksin mRNA, atau Singapura yang menjadikan perwakilan diplomatiknya sebagai negosiator handal dalam perjanjian data governance kesehatan lintas batas.

Diplomasi kesehatan dalam ranah AI dan data tidak lagi opsional, tetapi instrumen pertahanan negara dan strategi pembangunan kesehatan jangka panjang. Seorang dubes misalnya, bila memiliki pemahaman public health dan epidemilogi kesehatan yang strategis, dapat membawa akses uji validasi instrumen skrining penyakit berbasis AI lewat studi epidemiologis skala besar di Indonesia yang berpotensi memasukkan Indonesia dalam peta substansiasi matriks AI kesehatan multi-negara.

Sehingga seyogyanya Bapak Ibu Dubes lah yang wajib menegosiasikan transfer teknologi, kolaborasi pengembangan model AI berbasis lokal, hingga perumusan protokol etika dan perlindungan data populasi.

Para Dubes Indonesia perlu diberi pelatihan khusus tentang epidemiologi dasar, sistem protokol riset global, serta perlu mendapat mandat eksplisit dari negara, bahwa mereka bukan hanya penjaga bendera, tapi juga penjaga nyawa rakyat melalui diplomasi. Mereka harus membawa narasi Indonesia yang adil, setara, dan berdaulat dalam teknologi dan data kesehatan.

Maka, kepada Bapak Ibu Duta Besar Indonesia yang sedang atau akan bertugas, titipkanlah kesehatan dalam tiap langkah diplomasi. Karena hari ini, kesehatan adalah kekuatan baru, dan diplomasi adalah alat untuk memperjuangkan kedaulatan biologis bangsa. Dan masa depan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi, tapi oleh siapa yang menguasai algoritma, mengelola data kesehatan, dan menanamkan pengaruh dalam sistem kesehatan dunia.

Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, Pendiri Health Collaborative Center (HCC) dan Direktur Eksekutif Indonesia Health Development Center (IHDC)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *