Bedakan Demonstran dan Perusuh

Posted on

Dalam rapat kabinet kemarin, Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan dua hal yang sangat fundamental. Pertama, negara mengapresiasi dan memfasilitasi mereka yang menyampaikan pendapat secara damai. Kedua, negara harus turun tangan ketika yang terjadi bukan lagi demonstrasi, melainkan tindakan anarkis yang mengganggu ketertiban umum.

Pernyataan ini penting dipahami publik karena sering kali terjadi pencampuradukan istilah antara demonstran dan perusuh. Padahal, keduanya memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda.

Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Para demonstran biasanya turun ke jalan dengan tertib, memiliki tuntutan yang jelas, dan dipimpin oleh koordinator lapangan (korlap). Identitas mereka diketahui, agenda mereka transparan.

Ada aturan yang mengikat: unjuk rasa resmi biasanya berlangsung di siang hingga sore hari, dengan batas maksimal pukul 18.00. Setelah itu, mayoritas massa demonstrasi akan membubarkan diri. Dalam konteks ini, aparat justru berfungsi sebagai fasilitator, menyediakan ruang aman agar aspirasi bisa tersampaikan.

Lain halnya dengan perusuh. Mereka muncul ketika massa demonstrasi sudah bubar, biasanya menjelang malam. Ciri-cirinya biasanya: berpakaian serba hitam, menggunakan helm dan masker, serta cenderung menutupi identitas. Mereka datang bukan untuk menyuarakan aspirasi, tetapi untuk menciptakan kekacauan.

Modus yang muncul berulang kali adalah pembakaran fasilitas publik, penjarahan toko atau pusat perbelanjaan, dan perusakan sarana umum. Seringkali, mereka bahkan bukan warga setempat, melainkan kelompok yang didatangkan dari luar daerah. Tujuannya bukan lagi politik substantif, melainkan menebar rasa takut dan menciptakan instabilitas sosial.

Tidak heran jika kelompok perusuh cenderung memusuhi aparat. Polisi menjadi target karena bertugas menangkap, menindak, dan memproses hukum mereka. Dalam logika kriminal, keberadaan polisi adalah penghalang bagi kehidupan tanpa aturan. Maka, sentimen anti-aparat sering kali muncul dari kelompok perusuh, bukan dari demonstran damai.

Peran Masyarakat

Yang menarik, di beberapa tempat seperti Summarecon Bekasi dan Blitar semalam, warga justru menunjukkan peran aktif. Ketika ada indikasi perusuh masuk ke lingkungan mereka, warga bersama aparat langsung menghalau. Hasilnya, massa perusuh kabur.

Inisiatif warga ini menunjukkan pentingnya solidaritas sosial. Perusuh beroperasi dengan logika teror, ingin membuat masyarakat takut. Namun ketika warga bersatu, logika itu patah. Kehadiran masyarakat di lapangan juga memberi sinyal kuat bahwa ruang publik bukan tempat bebas bagi kelompok anarkis.

Membedakan antara demonstran dan perusuh adalah kunci. Demonstran adalah bagian dari demokrasi, sementara perusuh adalah ancaman terhadap demokrasi. Negara wajib melindungi hak demonstran untuk menyampaikan pendapat, namun pada saat yang sama tegas menindak perusuh yang berupaya menciptakan instabilitas.

Seperti ditekankan Presiden Prabowo, yang dihadapi negara saat ini bukan lagi sekadar unjuk rasa dengan tuntutan jelas, melainkan perusuh terorganisir. Karena itu, publik perlu kritis membedakan: jangan sampai kebebasan demokrasi disalahgunakan sebagai tameng untuk aksi kriminal.

Oleh karena demonstran tidak sama dengan perusuh maka masyarakat ketika melihat kerumunan harus jeli dan berhati-hati. Demonstran biasanya santun dalam menyampaikan pendapat dan ajakan kepada masyarakat senantiasa mengedepankan public civility. Masyarakat bisa menangkap dari perilaku demonstran yang pastinya tuntutannya untuk kemaslahatan publik. Demonstran selalu menampilkan ide ide yang cerdas, senantiasa mengajak berdialog kepada institusi atau pimpinan lembaga yang diprotes.

Trubus Rahardiansah
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *