Dampak Perang Dagang AS-China bagi Ekonomi Indonesia: Peluang dan Tantangan

Posted on

Anggota DPR RI sekaligus Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengingatkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China membawa dampak yang kompleks bagi Indonesia. Mulai dari penurunan volume ekspor, fluktuasi nilai tukar, hingga penurunan daya saing produk di pasar internasional.

Menurutnya, rencana kenaikan tarif impor sebesar 32% terhadap produk Indonesia ke AS juga menambah tekanan pada sektor ekspor padat karya yang selama ini menjadi andalan Indonesia. Namun, dengan strategi yang tepat seperti diversifikasi pasar, peningkatan daya saing melalui inovasi dan reformasi regulasi, serta negosiasi diplomasi ekonomi yang cerdas, Indonesia memiliki potensi untuk meminimalkan dampak negatif tersebut, bahkan meraih keuntungan ekonomi.

“Perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta rencana kenaikan tarif impor barang dari Indonesia ke AS adalah tantangan serius bagi perekonomian Indonesia. Meskipun terdapat peluang untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan China di pasar global, Indonesia harus bersiap menghadapi dampak negatifnya,” kata Bamsoet dalam keterangannya, Minggu (13/4/2025).

“Penanganan yang strategis dan proaktif sangat penting agar Indonesia tidak hanya bertahan, melainkan juga tumbuh dalam iklim perdagangan global yang semakin kompleks,” imbuhnya saat memberikan Kuliah Umum Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur di Jakarta, Sabtu (12/4).

Bamsoet menjelaskan dalam konteks perang dagang, Indonesia harus memanfaatkan momen perubahan aliran perdagangan global. Ketika tarif barang asal China meningkat, beberapa perusahaan di AS berusaha mencari alternatif untuk menghindari biaya yang lebih tinggi.

Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi untuk memberikan barang-barang kebutuhan AS. Mulai dari produk pertanian, perkebunan, hingga barang-barang konsumsi.

“Perang dagang AS-China telah mendorong banyak perusahaan untuk memindahkan fasilitas produksinya ke negara lain untuk menghindari tarif yang tinggi. Indonesia memiliki potensi untuk menarik investasi asing yang sebelumnya berfokus pada China,” jelasnya.

“Misalnya, perusahaan-perusahaan manufaktur yang mencari alternatif untuk mengurangi biaya dapat memilih Indonesia sebagai lokasi yang menarik karena biaya tenaga kerja yang relatif rendah dan akses ke pasar Asia Tenggara,” sambung Bamsoet.

Bamsoet memaparkan rencana kenaikan tarif impor barang Indonesia sebesar 32% ke Amerika Serikat, jika diterapkan, akan memperburuk keadaan. Kenaikan tarif ini secara langsung akan membuat produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS.

Menurutnya, salah satu langkah strategis yang dapat diambil oleh Indonesia adalah diversifikasi pasar ekspor. Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan menggali dan memperluas hubungan dagang dengan negara-negara ASEAN, Timur Tengah, Afrika, serta pasar di Eropa dan BRICS. Diversifikasi ini membantu meredam risiko yang diakibatkan oleh fluktuasi dalam hubungan perdagangan bilateral dengan AS dan China.

“Perlu pula ada upaya bersama antara pemerintah dan pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi, inovasi, dan kualitas produk. Investasi dalam riset & pengembangan (R&D) untuk menurunkan biaya produksi dan meningkatkan teknologi sangat diperlukan agar produk Indonesia lebih kompetitif secara global,” katanya.

Bamsoet menambahkan seiring dengan masa penundaan kenaikan tarif impor selama 90 hari yang diberikan oleh AS, pemerintah harus mengoptimalkan negosiasi melalui saluran diplomasi.

Hal bertujuan agar dapat merundingkan penyesuaian tarif atau kompensasi dalam bentuk peningkatan impor produk AS ke Indonesia untuk sektor-sektor strategis. Pemerintah juga harus meningkatkan diplomasi ekonomi dan kerja sama internasional dengan menggandeng negara-negara ASEAN dan G20 untuk menyuarakan kepentingan bersama serta meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi global.

“Selain itu, pemerintah perlu memperkuat konsumsi domestik melalui kebijakan insentif seperti potongan harga musiman, diskon listrik, dan stimulus lainnya bagi masyarakat. Langkah ini dapat menjaga pertumbuhan ekonomi nasional, meski terjadi penurunan ekspor,” tutup Bamsoet.