Dari Dana ke Daya: Jalan Panjang Kemandirian Daerah

Posted on

Siang itu pada 7 Oktober 2025, kegelisahan jelas terpancar dari seluruh peserta rapat. Aspirasi dan protes bercampur jadi satu. Sebanyak 18 gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk membahas pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) untuk tahun 2026.

Banyak gubernur menyampaikan pandangan dan kekhawatiran tentang kondisi pelayanan publik yang akan terjadi. Tak ada keputusan yang diambil. Sang Menteri hanya mendengarkan sembari berkata “masukannya akan dievaluasi lebih lanjut”. Rapat pun berakhir.

Pemangkasan dana transfer mungkin terdengar teknokratis, tapi bagi banyak daerah, itu seperti hujan yang berhenti tiba-tiba di musim tanam. Sawah kering, panen gagal, dan kehidupan macet.

Pertanyaannya kini sederhana tapi menyakitkan: apakah kita sudah siap hidup tanpa guyuran dari pusat? Selama dua dekade desentralisasi, kita sering mengaku “otonom”, tapi dalam kenyataannya, otonomi itu lebih sering diucapkan ketimbang dijalankan.

Menurut Dendy Setyawan dalam Jurnal Ilmu Ekonomi (2023), “Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mampu memoderasi pengaruh Dana Transfer ke Daerah terhadap tingkat kemiskinan.”

Artinya, bahkan ketika uang pusat mengalir deras, dampak terhadap kesejahteraan tetap tumpul dan saat aliran itu berkurang, banyak daerah akan terseok.

Data menunjukkan, sebagian besar pemerintah daerah masih menggantungkan 60-80 persen APBD-nya pada transfer pusat. PAD hanya menjadi pelengkap, seringkali dihasilkan dari retribusi kecil dan pajak yang mudah dipungut, bukan dari inovasi ekonomi daerah. Ketika pusat menahan dompet, daerah kehilangan denyut.

Ironinya, kita hidup dalam ilusi kemandirian fiskal. Daerah membangun gedung pelayanan publik megah, tapi tak punya cukup PAD untuk menyalakan lampunya.

Transfer dana dari pusat semula dimaksudkan untuk keadilan, agar daerah tertinggal bisa mengejar ketimpangan. Namun, seperti dicatat oleh Andi Setyo Pambudi dalam Jurnal Administrasi Publik (2023), praktiknya sering kali menciptakan “ketimpangan baru” dalam kapasitas dan transparansi. Daerah yang SDM-nya kuat bisa menyerap Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan cepat, sementara daerah terpencil justru gagal menyiapkan proposal.

Uang akhirnya kembali ke kas negara, meninggalkan jurang yang lebih dalam. Dana transfer, yang mestinya menjadi “vitamin pembangunan,” perlahan berubah menjadi “morfin fiskal.” Membuat daerah tenang, tapi tidak benar-benar sembuh. Ketika dosisnya dikurangi, gejala ketergantungan muncul seperti panik anggaran, proyek tertunda, dan pelayanan publik yang melemah.

Ketika pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD), getarannya langsung terasa hingga ke pelosok desa. Pemangkasan TKD ibarat air sungai yang tiba-tiba surut. Pemerintah daerah yang selama ini bergantung pada aliran dana pusat akan kesulitan menjaga arus pelayanan tetap lancar. Menurut temuan Dendy Setyawan (2023), peningkatan Dana Desa memang menurunkan kemiskinan, tetapi tidak signifikan, sebab efektivitasnya terganjal lemahnya partisipasi masyarakat dan tata kelola yang belum transparan.

Dengan kata lain, bukan soal jumlah dana, tapi bagaimana dana itu hidup dalam sistem. Kita bisa membayangkan, jika selama ini dengan anggaran penuh saja layanan publik belum maksimal, apa jadinya ketika kucuran itu menipis?

Paling tidak ada 4 hal yang akan terasa memberatkan ketika pemangkasan TKD benar terjadi, seperti pertama terganggunya pelayanan dasar. Puskesmas yang biasanya memiliki jadwal kunjungan rutin ke desa, mungkin harus mengurangi frekuensi karena keterbatasan biaya operasional. Sekolah menunda perbaikan fasilitas, sementara bantuan sosial bisa mengalami keterlambatan. Kedua, kesenjangan antar daerah akan semakin tampak.

Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi, seperti kota besar atau wilayah industri, mungkin bisa bertahan. Tapi kabupaten kecil dan kepulauan seperti di Bangka Belitung, yang PAD-nya masih rendah, akan paling terdampak. Pelayanan publik bisa menurun bukan karena niat, tapi karena daya dukung finansial yang terbatas.

Ketiga, beban kerja aparatur meningkat. Ketika anggaran operasional dan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dipangkas, pegawai di lapangan tetap dituntut bekerja dengan hasil yang sama. Mereka dihadapkan pada tekanan ganda dimana dana berkurang, harapan masyarakat tetap tinggi. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan motivasi kerja dan kualitas layanan. Dan keempat, potensi maladministrasi meningkat.

Keterbatasan dana sering membuat unit layanan “berimprovisasi”, kadang di luar prosedur. Inilah yang dikhawatirkan Ombudsman, ketika dana sempit, peluang kebijakan yang tidak populis, praktik pungli atau penundaan pelayanan bisa meningkat, dan kepercayaan publik bisa turun.

Lihat saja di beberapa daerah yang tiba-tiba menaikkan tarif Pajak Bumi Bangunan (PBB). Niatnya baik untuk menyelamatkan kondisi fiskal daerah tapi terasa tidak bijak karena tidak memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang juga tidak mudah.

Pemangkasan TKD jangan dimaknai buruk. Justru di tengah krisis, ada peluang untuk menata ulang arah kemandirian. Di balik setiap malapetaka, selalu ada peluang berbenah. Pemangkasan transfer dana bisa menjadi alarm bagi daerah untuk benar-benar dewasa secara fiskal. Pertama, reformasi PAD harus menjadi agenda darurat.

Bukan sekadar menaikkan pajak dan retribusi, tapi menggali potensi ekonomi lokal: pariwisata, UMKM, digitalisasi usaha daerah, dan optimalisasi aset BUMD. Banyak daerah menyimpan kekayaan alam dan budaya yang belum digarap serius. Dana pusat mungkin berkurang, tapi kreativitas tidak boleh ikut kering.

Kedua, perluasan kolaborasi publik-swasta. Sudah saatnya pemerintah daerah membuka ruang investasi sosial dengan membangun dengan model public-private partnership (PPP) yang berorientasi manfaat publik, bukan monopoli kepentingan elit. Dan ketiga, digitalisasi dan efisiensi birokrasi.

Seperti diingatkan Pambudi (2023), kesenjangan SDM pengelola transfer di daerah sangat tinggi. Artinya, daerah perlu menata ulang cara kerja birokrasi: memotong rantai administrasi, memperkuat akuntabilitas, dan memangkas biaya tak perlu. Dalam kondisi anggaran menurun, efisiensi bukan pilihan, ia adalah jalan keselamatan.

Selanjutnya dalam penelitian Setyawan (2023), dijelaskan bahwa Dana Transfer ke Daerah “tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan.” Pernyataan ini seharusnya menggugah kesadaran kita bahwa akar masalahnya bukan di jumlah uang, melainkan di kapasitas mengelola.

Kemandirian fiskal bukan sekadar angka PAD di neraca, melainkan sikap mental pemerintah daerah untuk berani menggali, mencipta, dan mempertanggungjawabkan. Sebab, otonomi tanpa akuntabilitas hanyalah bentuk lain dari pemborosan terencana.

Desentralisasi yang kita banggakan sejatinya belum melahirkan kemandirian. Otonomi masih dipahami sebatas wewenang membelanjakan, bukan kemampuan menghasilkan.

Akibatnya, ketika pusat mengurangi aliran dana, banyak kepala daerah kebingungan seperti anak muda yang baru kehilangan orang tua yang selama ini menanggung biaya hidupnya.

Pemangkasan dana transfer sejatinya adalah ujian. Apakah daerah akan tumbang karena kehilangan dana, atau justru menemukan daya? Bayangkan seorang pemuda di desa pesisir yang dulu menggantungkan hidup pada program bantuan pusat. Saat bantuan berhenti, ia mulai berinovasi, membuat olahan ikan asin modern, menjualnya daring, dan merekrut tetangganya.

Dari situ lahir PAD baru, bukan karena kebijakan pusat, tapi karena kesadaran lokal. Begitulah mestinya desentralisasi: bukan sekadar memindahkan uang, tapi membangkitkan daya.

Pemangkasan dana transfer memang mengejutkan, tapi justru di sanalah letak pelajaran terbesar, kita tak bisa selamanya hidup dari kucuran pusat. Mardiasmo (2002) pernah menulis dalam Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah: “Tingkat otonomi daerah dapat ditentukan dari seberapa besar pendapatan asli yang dapat dihasilkannya.” Kutipan ini kini terdengar seperti gema dari masa depan: otonomi bukan soal diberi, tapi soal berani.

Maka ketika dana dari langit tak lagi deras, jangan panik. Jadikan ini cambuk agar daerah belajar berdaya di kakinya sendiri. Sebab, sejatinya, pembangunan bukan tentang uang yang datang dari pusat, tetapi tentang kesadaran kolektif untuk berdiri bersama.

Mari jadikan pemangkasan dana sebagai panggilan kesadaran, bukan alasan menyerah. Karena sesungguhnya, daerah yang kuat bukan daerah yang paling banyak menerima, tetapi daerah yang paling berani mencipta.

Kgs Chris Fither. Asisten Ombudsman Republik Indonesia.

Tonton juga video “Soal Lembaga Pengelola Dana Umat, Menag: Bisa Kelola Zakat-Iuran Cerai” di sini:

TKD yang Membuat Terlena

Potensi Dampak

Alarm Berbenah

Dari Dana ke Daya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *