Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto menghadiri undangan khusus Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing pada peringatan 80 tahun Hari Kemenangan, di tengah kondisi nasional yang baru pulih dari kerusuhan, dapat dibaca melalui lensa kebijakan publik yang lebih luas. Pertanyaan mendasarnya bukan sekadar soal kehadiran, melainkan mengapa Presiden memilih tetap berangkat, dan apa manfaat konkret yang dapat dipetik Indonesia dari langkah ini?
Seperti dijelaskan Menteri Sekretaris Negara, undangan yang datang dari Beijing bukan undangan biasa, melainkan permohonan langsung dari Presiden Xi Jinping. Ini jelas bukan perkara protokol semata, melainkan sebuah kehormatan diplomatik yang langka. Dari sudut pandang Indonesia, kehadiran Presiden Prabowo bukan sekadar membalas undangan, tetapi menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain aktif dalam diplomasi global, terlebih dengan Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra strategis penting di kawasan.
Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan stabilitas domestik; sebelum berangkat, Presiden menunda keberangkatan untuk meredam kerusuhan, membuka jalur komunikasi lintas agama, dan memastikan aspirasi masyarakat didengar.
Hal ini sejalan dengan kerangka klasik Huntington (1968) yang menegaskan bahwa stabilitas bukan semata ketiadaan konflik, melainkan kemampuan sebuah negara merespons dinamika sosial secara cepat dan adaptif. Prinsip ini tercermin dari langkah Presiden Prabowo yang lebih dulu membuka ruang dialog dengan demonstran damai, menengok langsung korban, serta memastikan jalur komunikasi politik terjaga, termasuk bersama tokoh lintas agama yang mengangkat isu struktural seperti reformasi pajak, pemberantasan korupsi, dan RUU perampasan aset.
Di berbagai daerah, muncul fenomena co-production of security antara warga, aparat, dan komunitas ojek online yang memperlihatkan legitimasi negara tetap terjaga. Warga Tanah Abang, Jakmania, hingga komunitas ojol yang turun dengan aksi damai bukan sekadar simbol solidaritas, melainkan bukti bahwa masyarakat masih menaruh kepercayaan pada institusi negara. Dalam bahasa teori legitimasi yang dipopulerkan oleh Suchman, 1995, kepercayaan publik semacam ini adalah aset politik yang menentukan keberlanjutan kebijakan.
Dimensi ekonomi juga menunjukkan hal serupa. Di banyak negara, kerusuhan identik dengan market punishment sehingga indeks saham ambruk drastis, tetapi di Indonesia dampaknya terbukti relatif terbatas. IHSG memang sempat turun %, namun pulih kembali keesokan harinya. Survei Nomura bahkan menegaskan keyakinan pelaku pasar bahwa “the worst is over”.
BlackRock, manajer aset terbesar dunia, tetap menambah kepemilikan obligasi Indonesia, menandakan fundamental ekonomi kita masih dipercaya. Hal ini ditegaskan oleh Navin Saigal dari BlackRock yang menyatakan, “berita utama baru-baru ini, secara inheren, tidak membuat kami mengubah posisi apa pun di Indonesia.”
Kepercayaan ini bukan hanya cerminan pasar, tetapi juga lahir dari konsistensi pemerintah menjaga arah kebijakan dan juga refleksi dari trust building antara negara dan masyarakat (Moynihan & Soss, 2014). Ketika rakyat melihat negara responsif, kepastian terasa, dan gejolak tidak berkembang menjadi krisis berkepanjangan.
Boin dan ‘t Hart (2007) melalui konsep crisis exploitation menjelaskan bahwa krisis kerap menjadi panggung bagi pemimpin untuk menegaskan kapasitas, membangun narasi, dan memperkuat posisi. Dalam kerangka itu, kunjungan Prabowo ke Beijing bukanlah pengabaian terhadap rakyat, melainkan sebuah strategic signaling bahwa Indonesia adalah negara yang stabil dan dihormati.
Dalam konteks kebijakan publik tingkat global, kehadiran pemimpin tertinggi suatu negara mencerminkan stabilitas negara dan tumbuhnya kesadaran solidaritas nasional sebagai bangsa yang kuat. Prabowo telah berhasil menunjukkan pada relasi tinggi antar negara yang kebijakan publiknya memperoleh dukungan domestik yang kuat. Pada tataran ini Prabowo hendak mempertontonkan kepada elit global bahwa Indonesia tidaklah rapuh sebagaimana yang disinyalir para pihak tetapi tetap menjadi negara yang terdepan dalam pembangunan ekonomi nasional yang lebih terbuka.
Simbol-simbol diplomatik di sana berbicara banyak. Posisi duduk sejajar dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin di panggung utama parade militer bukan semata urusan tata tempat, tetapi penegasan pengakuan global atas posisi Indonesia sebagai mitra strategis. Lebih jauh, hanya Presiden Indonesia yang mendapat pertemuan bilateral khusus dengan Presiden Xi-sebuah privilege diplomatik yang jarang diberikan. Dari perspektif two-level game theory (Putnam, 1988), keputusan ini mengirimkan dua pesan sekaligus: dalam konteks dalam negeri, Indonesia merupakan negara yang mampu menjaga stabilitas. Pesan kedua, ke luar negeri, Indonesia adalah aktor penting yang tidak bisa diabaikan.
Di titik inilah legitimasi domestik dan legitimasi internasional bertemu. Di dalam negeri, publik menyaksikan aspirasi rakyat diakomodasi, dialog dibuka, dan stabilitas sosial dipulihkan. Di luar negeri, Indonesia tampil sebagai negara yang setara, dihormati, dan dipercaya. Dua panggung ini saling melengkapi.
Namun ada refleksi yang perlu kita akui: sering kali kita merasa inferior, seakan-akan pengakuan internasional tidak sejalan dengan keraguan di dalam negeri. Padahal, pengalaman kali ini membuktikan sebaliknya, legitimasi domestik memberi dasar bagi pengakuan global, sementara pengakuan global memperkuat rasa percaya diri nasional. Seperti ditegaskan Huntington (1968), stabilitas adalah fungsi adaptasi negara. Dan sebagaimana Putnam (1988) menulis, diplomasi adalah permainan dua level. Indonesia hari ini menunjukkan bahwa keduanya bisa berjalan beriringan, dengan satu fondasi utama: kepercayaan, baik dari rakyat maupun dari dunia.
Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.