Tatkala Presiden berdiri sejajar dengan Vladimir Putin di panggung utama St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, banyak pihak membaca isyarat yang lebih besar dari sekadar kehadiran seorang kepala negara. Momen itu seakan menandai dimulainya babak baru, Indonesia tampil sebagai aktor strategis, bukan sekadar pengikut dalam pusaran geopolitik global.
Kehadiran Prabowo di Rusia, di tengah ketegangan Blok Barat dan Timur, bukan tanpa risiko. Namun ia memilih jalan yang berbeda, bukan netral pasif, melainkan aktif membangun poros diplomasi yang mandiri-berdiri di atas prinsip, bukan tekanan.
Banyak pemimpin dunia hadir dalam forum SPIEF. Tapi tidak banyak yang mendapat standing ovation, seperti yang dialami Prabowo usai menyampaikan pidato diplomatiknya yang lugas namun menyentuh: “Kami ingin berteman dengan semua. Satu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.” Sebuah ungkapan yang sering diutarakan oleh Presiden ke 8 Republik Indonesia itu.
Prabowo juga secara terbuka menyampaikan alasan mengapa ia memilih hadir di Rusia ketimbang memenuhi undangan G7 di Kanada: “Saya sudah berkomitmen kepada forum ini sebelumnya.” Ini bukan sekadar etika protokoler, melainkan isyarat bahwa Indonesia punya logika dan agenda sendiri dalam menentukan arah hubungannya dengan dunia.
Hubungan Indonesia dan Rusia memang bukan barang baru. Namun, selama bertahun-tahun relasi ini cenderung berjalan di bawah bayang-bayang tekanan sanksi dan geopolitik global.
Kini, di bawah kepemimpinan Prabowo, relasi ini kembali berdenyut. Kunjungan kenegaraan di sela SPIEF menghasilkan sejumlah kesepakatan konkret; kerja sama energi nuklir sipil; potensi pembangunan fasilitas peluncuran roket di Biak; hingga penguatan transfer teknologi pertahanan.
Rusia pun menyambut hangat. Putin secara langsung memuji posisi Indonesia sebagai negara ‘berdaulat dan rasional’-pujian yang jarang dilontarkan ke negara-negara berkembang.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Prabowo dan Putin, meski dari latar belakang berbeda, sama-sama memiliki pandangan bahwa kekuatan nasional tidak bisa dibangun dengan ketergantungan. Keduanya percaya pada dunia multipolar-tatanan global di mana tidak ada satu kekuatan yang mendikte semuanya.
Indonesia, dengan sumber daya besar, posisi strategis, dan populasi muda, sangat potensial untuk menjadi jangkar stabilitas di Asia Tenggara. Tapi itu hanya mungkin jika ia keluar dari bayang-bayang politik blok dan mulai merumuskan jalan tengah yang independen.
Namun, tantangan Prabowo tidak kecil. Kedekatan dengan Rusia bisa menimbulkan kecurigaan dari negara-negara Barat. Di sinilah pentingnya transparansi dan komunikasi publik: menjelaskan bahwa kerja sama dengan Rusia bukan bentuk perlawanan terhadap siapa pun, melainkan wujud dari prinsip dasar politik luar negeri Indonesia ‘bebas aktif’ yang kini dibarengi dengan kepercayaan diri.
Kunjungan Prabowo ke Rusia bukan hanya berita politik luar negeri. Ini adalah pesan dalam negeri juga, bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan barunya tidak lagi merasa kecil di mata dunia. Ia siap berdialog dengan siapa pun, tapi tidak akan tunduk pada siapa pun. Ia menjadi simbol Garuda yang terbang tinggi melintasi benua Internasional dengan gagah berani.
Sebagaimana Prabowo tegaskan di forum internasional itu, Indonesia tidak sedang memilih blok, tapi memilih masa depan. Dan masa depan itu hanya bisa dibangun jika bangsa ini percaya diri, diplomasi tanpa rasa inferior, kebijakan luar negeri tanpa ketergantungan, dan relasi internasional yang ditentukan dari Jakarta, bukan dari luar.
“Dunia sedang berubah. Dan Indonesia tak lagi cukup hanya menjadi penonton. Kini saatnya ikut mengatur permainan.” Itulah pesan mendalam yang digemakan oleh Presiden Prabowo di Moskow.
Melihat tepuk tangan dan standing ovation yang meriah di forum St Petersburg, bangga rasanya memiliki pemimpin yang berani dan artikulatif seperti Presiden Prabowo. Well done Mr President.
Michael F. Umbas, mantan Wakil Sekretaris TKN Prabowo Gibran