Pelantikan Ketua dan Anggota Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua oleh Presiden Prabowo Subianto pada 8 Oktober 2025 menjadi salah satu langkah strategis untuk memfokuskan keseriusan pemerintah dalam memperkuat tata kelola pembangunan Papua.
Pembentukan Komite tersebut tidak sekedar agenda administratif dan normatif, melainkan upaya diplomasi domestik-suatu proses di mana pemerintah berkomunikasi dengan masyarakat Papua melalui representasi, kebijakan, dan struktur kelembagaan yang disiapkan secara serius dan bertujuan ideal.
Diplomasi domestik ini penting karena pembangunan Papua tidak dapat dipisahkan dari upaya membangun kepercayaan, dialog, dan kolaborasi antara pusat dan daerah.
Ketika negara menunjukkan bahwa pembangunan Papua melibatkan banyak tokoh secara inklusif dari berbagai latar belakang, hal itu mengirimkan sinyal bahwa pengelolaan otonomi khusus bukan sekadar proyek birokratis, tetapi upaya negara untuk memberikan keadilan dan kemakmuran dengan pertimbangan otonomi khusus.
Tentu saja kinerja Komite ini perlu mendapat perhatian khusus dan kolaborasi dengan pemerintahan daerah di Papua menjadi hal yang sentral.
Dalam konteks yang lebih luas, diplomasi mengenai Papua tidak hanya berlangsung di dalam negeri, tetapi juga secara aktif perlu dilakukan di tingkat regional dan internasional. Hal ini karena isu Papua selalu menjadi salah satu topik yang paling sensitif dalam diplomasi Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan negara-negara di kawasan Pasifik.
Banyak negara kepulauan Pasifik memiliki kedekatan budaya dan sejarah dengan masyarakat Melanesia di Papua sehingga pembahasan mengenai wilayah ini sering muncul dalam forum internasional, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Untuk menjawab tantangan tersebut, Indonesia terus mengembangkan strategi diplomasi yang lebih sistematis dan komprehensif.
Salah satu upaya tersebut adalah melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang disepakati sejak tahun 2019 dan telah menjadi dokumen acuan ASEAN dalam menegaskan perannya sebagai aktor utama di kawasan Indo-Pasifik. Pada masa Keketuaan Indonesia di ASEAN Tahun 2023 telah dilakukan pula ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF) sebagai salah satu upaya implementasi konkret dari AOIP.
Diplomasi lain adalah dalam ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) yang juga mendorong AOIP dalam perspektif pertahanan. Dengan terjalinnya hubungan yang lebih intens, diharapkan negara-negara Pasifik dapat melihat bahwa isu Papua merupakan bagian dari pembangunan nasional Indonesia dan bukan sekadar isu politik yang perlu diperdebatkan di forum global.
Fokus pada diplomasi pertahanan semacam ini menjadi penting karena memberikan ruang kepada negara-negara Pasifik untuk membangun pemahaman yang lebih luas mengenai stabilitas kawasan. Kerja sama tersebut mempertemukan berbagai negara dengan fokus pada keamanan maritim, bantuan kemanusiaan, dan pembangunan kapasitas.
Jika negara-negara Pasifik dapat terlibat langsung, maka mereka akan lebih memahami bahwa Indonesia tidak menutup diri, melainkan membuka kolaborasi dalam konteks keamanan yang transparan. Hubungan yang lebih baik ini pada akhirnya memudahkan Indonesia untuk menyampaikan posisi diplomatiknya jika isu Papua kembali mencuat di forum internasional.
Namun diplomasi Papua di kawasan Pasifik sebetulnya tidak cukup hanya bertumpu pada kerja sama pertahanan. Untuk membangun pemahaman yang berkelanjutan, Indonesia juga memerlukan strategi diplomasi yang melibatkan pendidikan, mahasiswa, serta diaspora Indonesia dan Papua di luar negeri.
Pendekatan ini penting karena negara-negara Pasifik sering kali membangun persepsi berdasarkan hubungan antarmasyarakat dan interaksi budaya yang bersifat informal. Dengan demikian, diplomasi tidak boleh bersifat semata-mata institusional, tetapi juga berbasis pengetahuan dan pertukaran akademik.
Melibatkan mahasiswa Papua menjadi salah satu strategi yang potensial untuk memperkuat diplomasi pendidikan. Mahasiswa memiliki kemampuan untuk berperan sebagai agen pengetahuan, menyampaikan pengalaman langsung, dan berpartisipasi dalam diskusi akademik yang objektif.
Ketika mahasiswa Papua terlibat dalam forum regional atau kerja sama pendidikan dengan universitas di Pasifik, mereka tidak hanya membawa identitas kebudayaan, tetapi juga membawa perspektif pembangunan yang lebih faktual. Pendekatan seperti ini dapat menepis narasi yang tidak akurat mengenai situasi Papua, karena informasi disampaikan langsung oleh para pemuda Papua sendiri.
Diplomasi pendidikan juga menciptakan ruang bagi kerja sama riset, seminar, serta program pertukaran yang memperkaya pemahaman kedua belah pihak. Kajian akademik yang lebih seimbang memungkinkan negara-negara Pasifik melihat Papua dari sudut pandang yang lebih menyeluruh, termasuk aspek pembangunan sosial, ekonomi, dan kebijakan otonomi khusus.
Dengan memperbanyak ruang dialog yang bersifat analitis, Indonesia dapat memastikan bahwa isu Papua tidak dibahas secara simplistik atau terjebak pada narasi yang tidak mencerminkan realitas.
Dalam konteks diplomasi regional, Australia dan Selandia Baru memegang peranan yang sangat strategis. Keduanya adalah negara kunci di Pasifik yang memiliki pengaruh diplomatik, ekonomi, dan budaya terhadap negara-negara kepulauan di kawasan tersebut.
Oleh karena itu, memperkuat diplomasi pendidikan, kebudayaan, dan akademik dengan dua negara tersebut menjadi langkah yang sangat penting.
Australia dan Selandia Baru juga menjadi tujuan utama pendidikan bagi banyak mahasiswa Indonesia. Kehadiran komunitas akademik Indonesia di kedua negara tersebut menjadi aset diplomasi yang tidak kalah penting.
Mahasiswa dan diaspora dapat menjadi jembatan komunikasi yang lebih natural, melalui interaksi dengan masyarakat lokal, kegiatan komunitas, atau forum diskusi publik yang melibatkan akademisi. Dialog yang muncul dari ruang-ruang informal seperti ini sering kali jauh lebih efektif dalam membangun pemahaman daripada pernyataan politik formal pemerintahan.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Melalui diplomasi pendidikan di Australia dan Selandia Baru, Indonesia dapat memperluas kerja sama riset mengenai Papua, memperkenalkan kajian pembangunan, serta menampilkan data dan penelitian yang obyektif.
Dengan demikian, negara-negara Pasifik dapat memahami bahwa Papua sedang berada dalam transformasi pembangunan dan demokrasi jangka panjang yang sejatinya membutuhkan waktu, bukan sekadar wacana politik yang hanya tampak di permukaan.
Pendekatan akademik seperti ini memperkuat posisi diplomasi pertahanan, karena semua pihak memiliki landasan pengetahuan dan pemahaman yang setara ketika membicarakan Papua.
Diplomasi Papua di kawasan Pasifik pada akhirnya membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Diplomasi domestik dan pertahanan memberikan struktur dan ruang dialog formal, sementara diplomasi pendidikan memberikan kedalaman analitis dan membangun pemahaman dari masyarakat ke masyarakat.
Dengan memperkuat keduanya secara bersamaan, Indonesia dapat membentuk ekosistem diplomasi yang lebih efektif, konstruktif, dan berkelanjutan. Dalam konteks kawasan yang semakin terhubung, strategi ini menjadi penting agar isu Papua dapat dipahami secara lebih objektif dan proporsional oleh negara-negara Pasifik. Tentu saja hal ini perlu dibarengi dengan pembangunan konkrit di Papua itu sendiri.
Luthfi Eddyono. Mahasiswa PhD, Victoria University of Wellington, Associate Member of The New Zealand Asian Studies Society.







