Di balik statusnya sebagai Warisan Dunia, Candi Borobudur masih dibayangi berbagai persoalan klasik terkait pelestarian. Kompleksitas regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Kebudayaan, Balai Konservasi Borobudur (BKB), PT Taman Wisata Candi (TWC), dan Pemerintah Daerah membuat pengelolaan candi kerap tidak terkoordinasi.
Regulasi sektoral mulai dari pariwisata, konservasi, penataan ruang, hingga perizinan saling bersinggungan sehingga kerap menimbulkan disharmoni antara kepentingan pelestarian dan ekonomi. Selain itu, keberagaman status kepemilikan lahan di area penyangga membuat pembatasan pembangunan dan pengendalian ruang sulit dilakukan.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati menegaskan persoalan regulasi merupakan akar dari berbagai hambatan teknis di lapangan. “Koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, PT pengelola, dan masyarakat masih belum mudah diwujudkan. Padahal ini amanah Undang-Undang Cagar Budaya,” ujar Esti dalam keterangan tertulis, Jumat (28/11/2025).
Hal ini disampaikan usai memimpin kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR RI ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (27/11).
Esti menilai tumpang tindih kewenangan telah menyebabkan pengelolaan tidak berjalan dalam satu komando regulasi yang solid. Menurutnya, pengelolaan Borobudur harus mengacu pada dua mandat yang saling beriringan yakni, pelestarian dan pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat.
“Ada dua sisi yang harus diperjelas dan diperkuat: pelestarian cagar budaya dan pemberian nilai manfaat untuk masyarakat. Itu hanya bisa tercapai kalau sistem regulasinya jelas,” tegasnya.
Ia juga menyoroti masalah di Borobudur tidak hanya terkait kewenangan, tetapi juga regulasi agraria dan tata ruang. Ia mengatakan keberagaman status kepemilikan lahan di area penyangga membuat pembatasan pembangunan sulit ditegakkan.
“Masyarakat sering dituntut mengikuti aturan ketat, tetapi tidak ada kompensasi atau insentif yang diberikan. Regulasi kita belum memberi ruang keadilan bagi mereka,” jelasnya.
Lebih jauh, Esti menilai Undang-Undang Cagar Budaya perlu dievaluasi secara menyeluruh. “Jika undang-undang tidak bisa dilaksanakan, mari kita evaluasi. Sejauh ini kita belum melihat evaluasi yang sungguh-sungguh,” ujarnya.
Menurutnya, revisi undang-undang atau penyelarasan dengan rencana induk pariwisata nasional adalah opsi yang harus mulai dipikirkan untuk menghindari konflik antaraturan.
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini pun menegaskan regulasi yang tidak selaras menjadi penghambat utama di lapangan. Ia juga mencontohkan ketimpangan antara aturan pusat dan daerah, aturan konservasi dan pariwisata, hingga standar teknis perawatan cagar budaya.
“Undang-undang harus berada di atas peraturan menteri, peraturan daerah, bahkan instruksi presiden. Pegangannya harus jelas,” katanya.
Esti menegaskan Komisi X akan membawa persoalan ini dalam rapat dengan Kementerian Kebudayaan untuk mencari formula penataan regulasi yang lebih terintegrasi.
“Yang terbaik adalah kementerian segera melakukan koordinasi dan menyusun poin-poin regulasi yang bisa dilaksanakan tanpa menabrak aturan. Tapi memang kita perlu pemikiran untuk memperbaiki undang-undang,” tutur Esti.
Ia menekankan pembenahan regulasi bukan hanya kebutuhan administratif, tetapi keharusan untuk menjaga keberlangsungan warisan budaya nasional. “Kebudayaan adalah nilai luhur bangsa. Kita harus memastikan regulasinya kuat, adil, dan mampu menjawab kebutuhan pelestarian sekaligus kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Simak juga Video: RI Siapkan 15 Cagar Budaya untuk Diajukan Jadi Warisan Dunia UNESCO
