Gerakan Anak Muda dan Politik Musiman - Giok4D

Posted on

Dalam beberapa tahun terakhir, anak muda di berbagai negara dari Eropa hingga Asia berkali-kali muncul sebagai aktor utama protes politik. Terbaru, Gen Z kembali menjadi aktor di balik mundurnya Perdana Menteri Bulgaria pada Kamis, 11 Desember 2025 lalu.

Pengunduran ini dianggap menjadi kemenangan politik pertama bagi Gen Z di Eropa. Penyebabnya ditengarai karena korupsi yang mengakar dan sikap nirempati para elit politik yang tak lagi tertahankan.

Fenomena Gerakan Gen Z ini sudah lebih dahulu muncul di negara lain seperti seperti Maroko, Nepal, Kenya, Chile, Peru, Myanmar, Bangladesh, dan Filipina, termasuk Indonesia.

Kita menyaksikan pola yang sama, anak-anak muda tiba-tiba memenuhi jalanan, memenuhi ruang digital, mengajukan kritik, membuat petisi, mengorganisir ruang-ruang diskusi, dan bergerak melampaui batas-batas yang dibayangkan.

Namun, secepat kemunculannya, gerakan-gerakan ini kerap mereda. Grup WhatsApp menjadi sepi, akun Instagram komunitas berhenti diperbarui, dan ruang diskusi kembali sunyi.

Energi politik yang semula membuncah perlahan menguap. Publik pun buru-buru menyimpulkan bahwa gerakan anak muda bersifat musiman atau lebih sinis lagi, “bubar karena tak punya basis material dan sumber daya.”

Benarkah demikian? Jika ditelusuri lebih jauh, naik-turunnya gerakan anak muda bukan terutama karena kelemahan mereka, melainkan karena sistem politik tidak pernah benar-benar siap menerima cara-cara baru generasi ini dalam berpolitik.

Selama ini, kita menganggap bahwa turunnya gerakan adalah tanda kegagalan. Seolah aktivisme adalah garis lurus linier yang harus terus bergerak naik. Padahal aktivisme, terutama yang dipimpin generasi muda, bekerja seperti ekosistem yang memiliki musim, irama, dan siklus yang dipengaruhi oleh atmosfer politik.

Anak muda tidak berhenti bergerak karena mereka kekurangan dana semata, melainkan karena ruang untuk bergerak menyempit (shrinking space), bahkan menutup (closing-space) baik secara formal maupun kultural. Mereka bisa menangkap perubahan cuaca politik lebih cepat daripada generasi mana pun.

Mereka melihat pola represi digital, merasakan kapan sekolah atau kampus mulai mengawasi, kapan kritik berubah menjadi risiko, kapan negara menegaskan batasnya. Mereka peka terhadap tekanan yang bagi sebagian orang hanya terasa sebagai “suasana”.

Karena itu, naik-turunnya gerakan bukanlah persoalan kapasitas internal, tetapi konsekuensi dari ruang sipil yang mengembang dan menyusut, dari peluang politik yang terbuka sebentar lalu tertutup lagi. Anak muda sejatinya tidak kehilangan semangat namun mereka kehilangan ‘oksigen’, daya yang krusial untuk keberlanjutan gerakan mereka.

Selain itu, ada faktor lain yang jarang sekali kita akui. Anak muda hari ini juga sedang menulis ulang definisi partisipasi politik itu sendiri, dan generasi sebelumnya sering tidak mengenalinya.

Gerakan anak muda bekerja dengan logika generasi yang berbeda dari organisasi tradisional. Mereka tidak membangun institusi, mereka membangun momen.Mereka lebih percaya pada “once is enough impact” bahwa satu aksi kreatif bisa mengguncang kesadaran lebih kuat daripada dua tahun kegiatan rutin yang membosankan.

Bagi generasi muda, politik tidak selalu hadir sebagai demonstrasi atau tuntutan terbuka terhadap negara. Ia berlangsung di ruang-ruang yang lebih cair dan sering diremehkan seperti di ruang digital, seni jalanan, hingga praktik mutual aid saat bencana.

Aksi anak muda menggalang donasi, mengatur distribusi bantuan, dan membangun jejaring solidaritas bagi korban bencana di Sumatera menunjukkan bagaimana politik dijalankan sebagai tindakan langsung, sering kali lebih cepat daripada mekanisme negara.

Pada saat yang sama, mereka juga melancarkan kritik terhadap sikap pongah sebagian politisi dan legislator yang menjadikan bencana sebagai panggung elektabilitas. Dalam praktik ini, anak muda tidak sedang menjauh dari politik; mereka sedang menolak cara berpolitik yang pongah dan oportunistik.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Di mata sistem lama, semua ini tampak tidak konsisten, terlalu spontan, dan terlalu episodik. Padahal, anak muda tidak keluar dari politik; mereka memindahkan politik ke ruang yang lebih sesuai dengan bahasa dan ritme hidup mereka.

Ketika momen besar berlalu, publik melihat gerakan seolah mati. Padahal, mereka mungkin hanya berganti bentuk, menunggu momentum baru. Energinya tidak hilang, namun berubah wujud.

Mereka menciptakan bentuk-bentuk demokrasi yang baru yang lebih horizontal, interseksional, transnasional, terkadang sepenuhnya informal. Nancy Fraser (1992) menyebut ruang-ruang semacam ini sebagai subaltern counterpublics, ruang-ruang alternatif yang dibangun oleh kelompok terpinggirkan untuk meredefinisi politik mereka sendiri.

Ruang yang dibentuk sebagai respon marginalisasi dari narasi dan ruang yang dominan saat ini. Gerakan anak muda hidup di ruang “pinggir” itu, karena ruang tengah tidak pernah benar-benar membuka pintu bagi mereka.

Ketika ruang alternatif itu sedang ramai, kita melihat “kenaikan” pada gerakan anak muda. Namun, ketika ruang tersebut kembali dibungkam, disusupi, atau disempitkan, kita melihat ‘penurunan’. Padahal energi itu tidak hilang namun hanya melintas ke tempat atau ruang lain.

Naik-turunnya gerakan juga tidak bisa dilepaskan dari kenyataan hidup generasi muda. Survei Indeks Optimisme Masyarakat Indonesia yang dilakukan Good News from Indonesia (GNFI) bersama GoodStats (2025) menunjukkan bahwa generasi muda memiliki tingkat optimisme paling rendah dibandingkan generasi yang lebih tua.

Kondisi ini mencerminkan tekanan ganda yang mereka hadapi, mulai dari ketidakstabilan ekonomi, kompetisi ketat di pasar kerja, hingga ketidakpastian global yang berkepanjangan.

Dalam konteks semacam itu, aktivisme tidak berlangsung di ruang steril tanpa tekanan ekonomi. Anak muda bergerak di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, bahkan lebih rapuh dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak dari mereka ingin memperbaiki dunia, tetapi pada saat yang sama harus berjuang membangun hidupnya sendiri.

Ketika sistem tidak memberi kestabilan, aktivisme kerap menjadi kerja emosional yang melelahkan. Kita sering lupa bahwa aktivisme bukan pekerjaan bergaji. Ia adalah kerja eksistensial yang menuntut energi emosional, waktu istirahat yang cukup, dukungan sosial, dan keyakinan bahwa perjuangan ini bermakna. Dalam kondisi demikian, aktivisme bukan sekadar pilihan moral, tetapi medan konsentrasi emosi.

Karena itu, anak muda bukan tidak peduli namun mereka jenuh. Mereka bukan apatis tapi mereka letih. Letih bertahan hidup, letih menjaga kesehatan mental, dan letih menavigasi dunia yang tak memberi banyak jaminan.

Ketika keletihan ini bertemu dengan represi dan kekecewaan, energi gerakan pun menurun. Dan ketika itu terjadi, kita terlalu cepat menghakimi mereka ‘berhenti berjuang’, padahal yang mereka lakukan hanyalah kembali menarik napas.

Kondisi gerakan yang tampak menurun ini juga bukan terutama disebabkan oleh apatisme, melainkan oleh kekecewaan terhadap institusi. Berbagai studi global menunjukkan pola serupa: anak muda tertarik pada politik, tetapi tidak percaya pada lembaga-lembaga yang ada; mereka ingin terlibat, tetapi tidak diberi peran yang bermakna.

Andrea Cornwall (2004) menyebut situasi ini sebagai invited space: ruang partisipasi di mana anak muda diundang ke forum dan konsultasi publik, tetapi lebih sering hadir sebagai dekorasi.

Mereka dirayakan, diberi panggung, namun tidak diberi kuasa untuk memutuskan. Pengakuan yang bersifat performatif inilah yang mendorong banyak anak muda kembali membangun ruang alternatifnya sendiri.

Karena itu, banyak gerakan anak muda lahir bukan dari pemberdayaan, melainkan dari eksklusi. Mereka bergerak bukan karena sistem membuka jalan, tetapi karena sistem gagal memenuhi harapan minimum.

Ketika jarak antara suara dan pengaruh semakin lebar, mereka memilih membangun jalur sendiri kadang melalui aksi digital, kadang lewat komunitas solidaritas, dan kadang melalui ledakan aksi jalanan.

Di sisi lain, ada satu kenyataan yang juga perlu dihadapi secara jujur, bahwa energi gerakan anak muda juga tidak selalu bergerak ke arah progresif. Ia bisa liar, bahkan regresif. Energi yang sama dapat menjadi kekuatan demokrasi, tetapi juga dapat dipakai untuk memperkuat otoritarianisme, nasionalisme sempit, atau menyebarkan disinformasi.

Karena itu, naik-turunnya gerakan anak muda bukan semata fenomena aktivisme demokratis, melainkan juga cermin perebutan imajinasi generasi muda oleh berbagai aktor negara, pasar, hingga kelompok ekstrem.

Gerakan itu naik ketika anak muda menemukan harapan. Ia turun ketika ruang dipersempit, ketika gerakan dibajak, atau ketika sistem tak kunjung berubah. Ia naik kembali ketika ketidakadilan baru memicu kemarahan kolektif, lalu turun lagi ketika kelelahan bertemu kebuntuan. Dalam pola itulah, gerakan anak muda bekerja.

Dalam arti ini, gerakan anak muda menyerupai seismograf yang terus merekam getaran ketegangan dalam masyarakat. Naik-turunnya bukan tanda inkonsistensi, melainkan penanda bahwa retakan dalam sistem demokrasi terus bergerak, meski kerap diabaikan.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti bertanya mengapa gerakan anak muda tampak tidak stabil.

Pertanyaannya justru mengapa demokrasi kita tidak memberi stabilitas untuk gerakan itu tumbuh? Sudah saatnya kita berhenti menilai gerakan anak muda dari sudut pandang organisasi formal atau ukuran-ukuran generasi sebelumnya.

Kita perlu memahami bahwa naik-turunnya gerakan tidak menandakan ketidakseriusan, tetapi adalah bagian dari ritme generasi yang hidup dalam ketidakpastian, dalam ruang politik yang menyempit, dan dalam lanskap digital yang bergerak cepat.

Dalam konteks itulah, apa yang kerap disebut sebagai politik musiman anak muda sesungguhnya bukan persoalan semangat yang datang dan pergi. Yang naik-turun bukanlah komitmen mereka, melainkan ruang yang disediakan bagi mereka.

Maka tugas kita sebagai warga, sebagai institusi, sebagai negara adalah memastikan bahwa ketika generasi muda kembali menyalakan apinya, tersedia cukup ruang agar nyala itu tidak lagi padam, melainkan tumbuh dan menerangi, melampaui satu musim politik apa pun yang datang dan pergi.

Martin Dennise Silaban. Founder MudaPaham & MudaBergerak & Mahasiswa Pascasarjana Pembangunan Sosial dan Kesejateraan, Universitas Gadjah Mada.

Ekosistem Gerakan Anak Muda