Gus Ipul: Kader NU Harus Jadi Benteng Agama Sekaligus Benteng Kebangsaan

Posted on

Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengingatkan kembali komitmen bagi kader-kader NU untuk menjadi penggerak bangsa. Gus Ipul menjelaskan menjadi kader NU bukanlah sekadar identitas administratif, melainkan sebuah amanah besar untuk menjaga peradaban Islam Nusantara dan membangun Indonesia yang adil, makmur, serta beradab.

“Kader NU harus menjadi benteng agama sekaligus benteng kebangsaan, berakar pada akidah Ahlussunnah wal Jamaah, dan berbuah dalam kerja nyata untuk umat dan tanah air,” kata Gus Ipul dalam keterangan tertulis, Minggu (27/4/2025).

Hal ini disampaikannya dalam pidatonya di hadapan 2.200 kader penggerak NU Kendal, Jawa Tengah, Minggu (27/4). Acara ini dihadiri oleh para kiai, ulama, serta kader penggerak NU.

Mengutip pesan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Gus Ipul mengatakan cinta Tanah Air adalah bagian dari iman. KH. Wahab Hasbullah juga menjadi inspirasi dalam penekanan pentingnya gerakan inovatif di tengah perubahan zaman.

Gus Ipul juga mengutip KH. Bisri Syansuri yang menegaskan pentingnya menjaga harmoni antara agama dan negara dalam setiap langkah kader NU.

“Seluruh kader NU jangan hanya aktif di masjid, tetapi juga di kampus, pabrik, pasar, kantor pemerintahan, hingga dunia maya. Di era modern ini, kader NU harus menjadi pelopor inovasi, menguasai teknologi, dan memperkuat ekonomi umat, sambil tetap membawa semangat dakwah yang menghidupkan harapan dan persatuan,” katanya.

“Indonesia adalah amanah, bukan hadiah. Menjaganya adalah ibadah, membangunnya adalah jihad. Setiap jengkal tanah air adalah hasil perjuangan para ulama dan pejuang terdahulu,” tambah Gus Ipul.

Pada kesempatan ini, Menteri Sosial ini juga mengajak seluruh kader NU merapatkan barisan, memperkuat niat, serta terus berinovasi dalam berdakwah dengan akhlak mulia.

“Kita harus meneruskan model dakwah para ulama pendahulu kita. Dakwah yang merangkul, bukan memukul. Dakwah kita harus menghidupkan harapan, bukan menebar ketakutan. Dakwah kita menggunakan bahasa cinta, bukan bahasa marah. Dakwah yang mengajak, bukan mengejek. Dakwah yang mempersatukan, bukan memecah belah,” pungkasnya.