Hampir setiap bulan, negara-negara Teluk mengumumkan rencana investasi fantastis bernilai ratusan miliar hingga triliunan dolar ke Amerika Serikat. Komitmen tersebut dijanjikan seiring eratnya hubungan dengan pemerintahan baru Presiden Donald Trump. Namun di balik deretan kesepakatan megainvestasi itu, membayangi satu tantangan besar, yakni harga minyak yang terus merosot.
Pada Januari lalu, Arab Saudi menyatakan akan meningkatkan investasi dan perdagangan dengan AS hingga lebih dari USD600 miliar dalam empat tahun ke depan, bahkan menurut Trump bisa mencapai USD1 triliun. Belum lama ini, muncul kabar bahwa Washington akan menawarkan paket penjualan senjata ke Riyadh senilai lebih dari USD100 miliar.
Tidak mau kalah langkah, Uni Emirat Arab (UEA) menyusul dengan pengumuman komitmen investasi lebih dari USD1,4 triliun di AS selama satu dekade, dengan fokus pada kecerdasan buatan, energi, semikonduktor, dan manufaktur. Analis menyebutnya sebagai salah satu janji investasi asing terbesar dalam sejarah AS.
Presiden Donald Trump dijadwalkan mengunjungi Arab Saudi, UEA, dan Qatar pertengahan Meidana moneter untuk membahas lebih lanjut serangkaian kesepakatan tersebut.
Namun, strategi “diplomasi investasi” Teluk ini berpotensi terguncang oleh kenyataan pahit: jatuhnya harga minyak ke titik terendah sejak pandemi.
Meski negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah telah berupaya mendiversifikasi ekonomi, minyak tetap menjadi nadi utama pendapatan nasional. “Reformasi Arab Saudi selama satu dekade terakhir memang impresif,” kata Tim Callen dari Arab Gulf States Institute, “tapi ketika harga minyak turun, semua rencana menjadi lebih sulit.”
Sejak awal April, harga minyak jenis Brent anjlok dari USD74 menjadi sekitar USD65 per barel, akibat kebijakan tarif yang berubah-ubah dari pemerintahan Trump serta kekhawatiran akan resesi global. Keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi justru makin menekan harga. Proyeksi terbaru bahkan menunjukkan harga akan tetap rendah hingga 2026.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), Arab Saudi memerlukan harga minyak sekitar USD91 per barel untuk menyeimbangkan anggaran 2025. Sebaliknya, UEA dan Qatar hanya memerlukan sekitar USD43–$45.
Selain komitmen investasi di AS, negara-negara Teluk juga menghadapi kewajiban regional. Arab Saudi harus mendanai proyek ambisius Vision 2030, serta turut berkontribusi dalam rekonstruksi Lebanon, membantu Mesir menghadapi krisis, dan potensi pembiayaan pembangunan kembali Gaza jika konflik mereda.
Saudi juga menyatakan kesediaannya untuk melunasi utang USD15 juta Suriah kepada Bank Dunia.
Namun, tekanan fiskal mulai terasa. “UEA dan Qatar masih akan mencatat surplus transaksi berjalan, tapi Saudi tidak,” ujar Callen. Artinya, Saudi akan menghadapi tekanan dalam memenuhi belanja domestik dan komitmen luar negeri.
Rekonstruksi Gaza senilai lebih dari USD50 miliar, misalnya, akan menjadi tantangan besar. “Ada kebutuhan untuk benar-benar menentukan prioritas pengeluaran,” tambah Callen.
Menurut Karen Young dari Columbia University, menurunnya harga minyak memaksa pemerintah Saudi menjual aset domestik untuk menutup defisit fiskal dan transaksi berjalan yang melebar.
Beberapa pihak memprediksi diversifikasi ekonomi Teluk akan dipercepat. Saudi bisa menjadi pusat manufaktur baru di Timur Tengah, berkat tarif rendah dari AS. Namun, ironi tetap ada: diversifikasi itu masih bergantung pada dana dari minyak yang kini kian langka.
Komitmen investasi besar-besaran negara-negara Teluk ke Amerika Serikat, yang kembali menggema menjelang kunjungan Presiden Donald Trump ke kawasan, menuai skeptisisme para analis. Di balik angka-angka fantastis yang diumumkan—ratusan miliar dolar dari Arab Saudi dan lebih dari USD1,4 triliun dari Uni Emirat Arab (UEA)—terselip keraguan soal realisasinya, terlebih di tengah anjloknya harga minyak dan tekanan fiskal domestik.
“Tanpa surplus transaksi berjalan, praktis tak ada dana baru untuk diinvestasikan kecuali melalui utang,” ujar Tim Callen, ekonom senior di Arab Gulf States Institute. Artinya, jika Arab Saudi ingin menggelontorkan dana ke proyek-proyek baru di AS, pilihannya hanya dua, yakni meminjam dari pasar modal internasional, atau mengalihkan dana dari investasi yang sudah ada.
Lebih dari itu, janji-janji investasi ini bukan hal baru. Pada masa jabatan pertama Trump, negara-negara Teluk juga pernah mengumumkan rencana serupa. Namun sebagian besar tak pernah benar-benar terealisasi. “Kita harus melihat janji baru ini dalam konteks tersebut,” kata sejumlah pakar.
Quilliam menambahkan, komitmen seperti investasi USD140 miliar per tahun dari UEA ke AS, alias lebih dari seperempat dari produk domestik bruto (PDB) tahunan, “tidak realistis secara ekonomi”. Komitmen semacam itu, menurutnya, lebih berfungsi sebagai sinyal politik untuk menunjukkan kedekatan dengan pemerintahan Trump, ketimbang rencana ekonomi yang bisa dijalankan.
Callen pun memperkuat argumen tersebut dengan hitung-hitungan keras: jika Arab Saudi benar-benar menggelontorkan USD600 miliar ke AS dalam empat tahun, berarti sekitar USD150 miliar per tahun — atau 12 persen dari PDB negara. “Itu angka yang secara realistis terlalu besar,” tegasnya.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Dengan harga minyak yang terus menurun dan kebutuhan fiskal domestik yang meningkat, para analis menilai kemungkinan besar janji-janji ini akan tetap menjadi headline — tanpa menjadi kenyataan.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan