Ijazah Palsu, Banjir Informasi, dan Kekacauan Epistemik

Posted on

Pemberitaan dan penyebaran informasi tentang keaslian ijazah S1 Joko Widodo secara terus menerus telah membuat sebagian masyarakat bingung dan terbelah. Ada yang tidak percaya atas informasi tersebut, ada yang ragu-ragu, dan ada yang meyakini bahwa ijazah tersebut memang palsu. Terlebih beberapa tokoh yang merupakan alumni universitas yang sama juga ikut mempertanyakan keaslian ijazah tersebut.

Kebingungan terkait kebenaran informasi ini telah melahirkan kondisi yang disebut sebagai epistemic chaos (kekacauan epistemik), yaitu kekacauan dalam pengetahuan bersama saat fakta menjadi relatif, muncul krisis kepercayaan, dan setiap orang merasa berhak atas versi kebenarannya sendiri (Lee, 2018; Rauch, 2021).

Kekacauan epistemik menjadi sesuatu yang sulit terelakkan di tengah terbukanya saluran informasi masyarakat. Beragam kepentingan membanjiri ruang publik dengan informasi yang benar, informasi yang salah tapi tidak sengaja (mis-informasi), informasi yang salah dan disengaja (dis-informasi), dan informasi yang benar tapi digunakan untuk merugikan (mal-informasi).

Berbagai alat dapat digunakan untuk memverifikasi kebenaran informasi, misalnya di platform X para pengguna bisa langsung menanyakan kebenaran informasi kepada Grok. Meski demikian, dibutuhkan kebijakan dan langkah yang lebih serius bila ingin menyelamatkan kehidupan kita dari hilangnya kebenaran dan “chaos” yang lebih besar.

Kebijakan dan Langkah ke Depan

Terdapat beberapa kebijakan dan langkah yang perlu diambil untuk mencegah dan mengatasi kekacauan epistemik. Pertama, pemerintah atau rezim yang berkuasa (partai dan politisi pendukung) harus memberikan keteladanan dan meninggalkan strategi komunikasi politik yang memanfaatkan disinformasi.

Ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap keaslian ijazah Joko Widodo, meskipun mungkin hal ini diciptakan dari strategi dis-informasi kelompok oposisi Joko Widodo, namun bisa jadi merupakan buntut dari ketidakpercayaan yang disebabkan oleh kekacauan epistemik sebelumnya seperti polemik Ibu Kota Nusantara maupun produksi mobil Esemka.

Pada era keterbukaan informasi, masyarakat dapat lebih mudah mengklarifikasi kebenaran informasi yang disampaikan oleh pemerintah. Strategi komunikasi politik yang memanfaatkan dis-informasi menjadi tidak relevan untuk rezim demokrasi non totalitarian.

Langkah Presiden Prabowo yang mengundang para jurnalis untuk menyampaikan/menjawab apapun terkait permasalahan negara dan bahkan mengakui kelemahan komunikasi patut diapresiasi sebagai bentuk kejujuran yang sangat penting dalam menjaga kepercayaan publik. Kejujuran menjadi kunci untuk menghindari erosi kepercayaan atas kebenaran, meskipun pihak yang tidak suka akan selalu kritis dan bersikap negatif atas apapun yang dilakukan (haters gonna hate).

Selanjutnya, kita berharap Presiden Prabowo akan memperbaiki pola komunikasi publik yang bermasalah dan memberi teladan bagi masyarakat dengan tidak menggunakan strategi komunikasi politik yang memanfaatkan disinformasi.

Kedua, meskipun terdapat risiko munculnya mis-informasi dan disinformasi, kebebasan menyampaikan pendapat dan informasi harus tetap dijamin oleh negara. Perlu koridor yang dipahami bersama agar kebebasan menyampaikan informasi tidak menimbulkan kekacauan epistemik.

Dis-informasi dari kalangan oposisi, kelompok sipil, atau bahkan individu yang berseberangan dengan rezim yang berkuasa merupakan fenomena yang muncul dengan lebih masif seiring penggunaan media sosial. Selama masih dalam koridor yang tidak menyebarkan permusuhan-kebencian (hate speech), menghina (libel), mencemarkan nama baik orang lain (defamation), dan fitnah (slander), penyebaran informasi kritis bisa dimaknai sebagai diskursus yang dapat diperdebatkan dan diverifikasi.

Dibutuhkan lembaga atau instrumen yang independen dan kredibel yang dapat digunakan untuk memverifikasi apabila ada informasi atau dis-informasi yang menjadi perhatian masyarakat. Dengan adanya polemik ijazah misalnya, Kementerian Pendidikan Tinggi dapat mempertimbangkan untuk merevisi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 50 Tahun 2024 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, dan Sertifikat Profesi Pendidikan Tinggi.

Dalam peraturan tersebut telah diatur prinsip validitas yaitu prinsip untuk memastikan keaslian ijazah dan kemudahan memeriksa keabsahan pemiliknya. Namun dalam peraturan ini tidak spesifik diatur bagaimana memastikan keaslian ijazah dan memeriksa keabsahan pemiliknya sehingga membuat polemik tentang keaslian ijazah S1 Joko Widodo menjadi berlarut-larut.

Bertanggung Jawab

Kampanye pilah-pilih informasi dan waspada hoaks telah dilakukan di tengah masyarakat dan masih harus terus dilaksanakan. Pendidikan dan kampanye untuk lebih bertanggung jawab dan tidak menebar informasi yang salah juga penting. Masyarakat harus paham bahwa menyebarkan informasi yang salah dan fitnah bisa menjadi sesuatu yang lebih kejam dari pembunuhan karena menyebabkan kesesatan, perpecahan, dan gangguan dalam kehidupan bernegara.

Dengan demikian, komitmen terhadap tanggung jawab moral dan kemampuan berpikir kritis menjadi aspek penting untuk menjaga kehidupan masyarakat yang nyaman dan tentram. Jika masyarakat gagal menjaga ruang publik dari kepalsuan, maka yang akan hilang tidak hanya kepercayaan, namun juga kehidupan bermasyarakat itu sendiri.

Yanuar Agung Anggoro alumnus FISIPOL Universitas Gadjah Mada, dosen Kebijakan Publik Institut STIAMI

Simak juga Video: Kata Pengamat soal Jokowi Tempuh Jalur Hukum Terkait Tuduhan Ijazah Palsu