Imparsial Kritik Pelibatan Militer dalam Penertiban Tambang Ilegal

Posted on

Imparsial melontarkan kritik soal keterlibatan sejumlah personel TNI dalam penindakan di Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Imparsial menilai pelibatan militer dalam penindakan tersebut sebagai penyimpangan kewenangan.

“Imparsial memandang tindakan ini bukan hanya keliru secara politik, tetapi juga mencerminkan pelanggaran hukum, penyimpangan kewenangan, serta penggunaan kekuatan militer yang tidak proporsional dalam konteks penegakan hukum,” kata Direktur , Ardi Manto Adiputra kepada wartawan, Sabtu (22/11/2025).

Imparsial menganggap operasi penegakan hukum seperti penertiban tambang ilegal merupakan kewenangan aparat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian. Dia mengatakan TNI bukanlah aparat penegak hukum, melainkan alat pertahanan negara yang seharusnya berfokus pada ancaman perang yang semakin kompleks sebagaimana amanat konstitusi dan UU TNI.

“Dengan kata lain, keterlibatan TNI dalam operasi tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap mandat institusi TNI itu sendiri,” ucapnya.

Mereka memandang pelibatan anggota TNI dalam operasi penertiban tambang ilegal merupakan bentuk penyimpangan kewenangan serta upaya menormalisasi kembalinya pendekatan militeristik dalam urusan sipil. Ardi mengatakan keterlibatan TNI dalam penindakan tambang ilegal menyalahi amanat reformasi 1998 yang membatasi kewenangan militer dalam ranah sipil.

“Penyimpangan ini semakin diperparah oleh fakta bahwa prajurit TNI tidak hanya hadir di lokasi operasi, tetapi juga melakukan tindakan penegakan hukum seperti penangkapan dan penyitaan,” kata dia.

Dia mengatakan, dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Perpres Nomor 5 Tahun 2025 juga ditetapkan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) memiliki fungsi penegakan hukum. Aturan tersebut, lanjutnya, menunjukkan bahwa TNI telah melampaui mandatnya sebagai alat pertahanan negara.

“Operasi penertiban dan penyitaan alat tambang ilegal yang dilakukan adalah murni tindakan penegakan hukum, bukan urusan pertahanan. Dalam konteks ini, pelibatan TNI di dalam Satgas PKH menjadi bentuk penyimpangan serius karena menempatkan TNI pada ranah yang sepenuhnya menjadi kewenangan aparat penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, Kementerian Kehutanan, dan institusi sipil lainnya. Praktik tersebut menunjukkan bahwa TNI telah melampaui mandatnya sebagai alat pertahanan negara,” ungkap dia.

Imparsial memandang, kehadiran personel TNI bersenjata lengkap di lokasi tambang ilegal serta keterlibatannya dalam proses penangkapan menandakan adanya penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum humaniter maupun standar HAM internasional terkait penggunaan kekuatan dalam penegakan hukum. Menurutnya, kehadiran tentara bersenjata lengkap dengan standar operasi militer jelas tidak proporsional dengan ancaman yang dihadapi, mengingat pelaku tambang ilegal bukan kombatan atau kelompok bersenjata.

Dia menilai penggunaan instrumen militer untuk menindak pelanggaran hukum menciptakan militerisasi penegakan hukum yang berbahaya bagi keselamatan warga serta bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM sebagaimana diatur dalam ICCPR.

“Praktik ini membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan melemahkan akuntabilitas dalam operasi yang berdampak pada keselamatan warga sipil. Jika dibiarkan, pola ini berisiko menyeret Indonesia kembali pada pendekatan militeristik yang seharusnya telah ditinggalkan sejak reformasi,” tuturnya.

Kapuspen TNI Mayjen (Mar) Freddy Ardianzah menjelaskan bahwa keterlibatan dalam penindakan tambang ilegal di Babel memiliki dasar hukum. Dia mengatakan kehadiran personel TNI untuk melindungi kepentingan nasional.

“Keterlibatan TNI dalam penanganan tambang ilegal memiliki dasar hukum yang jelas dan merupakan bagian dari tugas negara untuk menjaga kedaulatan serta melindungi kepentingan nasional,” kata Freddy.

Dia mengatakan dasar hukum keterlibatan TNI itu diatur dalam Perpres 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bertujuan menertibkan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal.

“Perpres ini secara eksplisit mengatur keterlibatan TNI dalam mendukung penegakan hukum, pengamanan kawasan, serta operasi terpadu lintas kementerian/lembaga guna memulihkan kembali fungsi kawasan yang terdampak. Dalam hal ini, Menhan dan Panglima TNI bagian dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan/PKH,” jelasnya.

Kemudian ada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dia mengatakan UU ini menegaskan bahwa pertahanan negara bukan hanya aspek militer, tetapi mencakup perlindungan terhadap seluruh potensi nasional, termasuk kekayaan alam yang menjadi objek vital strategis.

“Penyelenggaraan pertahanan negara melibatkan seluruh komponen, dan TNI merupakan komponen utama yang berkewajiban menjaga ruang hidup dan aset negara dari ancaman nonmiliter yang berdampak pada kedaulatan dan keamanan nasional, termasuk eksploitasi ilegal sumber daya alam,” lanjutnya.

Kapuspen juga menjelaskan langkah TNI ini juga berdasarkan UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, tepatnya bunyi Pasal 7 ayat (2) yang menjelaskan soal Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

“Oleh karena itu, penugasan TNI dalam mendukung penertiban tambang ilegal bukanlah bentuk penyimpangan kewenangan, tetapi pelaksanaan amanat undang-undang dalam kerangka OMSP dengan selalu bersinergi bersama kementerian/lembaga terkait,” tegasnya.

TNI Nyatakan Punya Dasar Aturan

Kapuspen TNI Mayjen (Mar) Freddy Ardianzah menjelaskan bahwa keterlibatan dalam penindakan tambang ilegal di Babel memiliki dasar hukum. Dia mengatakan kehadiran personel TNI untuk melindungi kepentingan nasional.

“Keterlibatan TNI dalam penanganan tambang ilegal memiliki dasar hukum yang jelas dan merupakan bagian dari tugas negara untuk menjaga kedaulatan serta melindungi kepentingan nasional,” kata Freddy.

Dia mengatakan dasar hukum keterlibatan TNI itu diatur dalam Perpres 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bertujuan menertibkan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal.

“Perpres ini secara eksplisit mengatur keterlibatan TNI dalam mendukung penegakan hukum, pengamanan kawasan, serta operasi terpadu lintas kementerian/lembaga guna memulihkan kembali fungsi kawasan yang terdampak. Dalam hal ini, Menhan dan Panglima TNI bagian dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan/PKH,” jelasnya.

Kemudian ada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dia mengatakan UU ini menegaskan bahwa pertahanan negara bukan hanya aspek militer, tetapi mencakup perlindungan terhadap seluruh potensi nasional, termasuk kekayaan alam yang menjadi objek vital strategis.

“Penyelenggaraan pertahanan negara melibatkan seluruh komponen, dan TNI merupakan komponen utama yang berkewajiban menjaga ruang hidup dan aset negara dari ancaman nonmiliter yang berdampak pada kedaulatan dan keamanan nasional, termasuk eksploitasi ilegal sumber daya alam,” lanjutnya.

Kapuspen juga menjelaskan langkah TNI ini juga berdasarkan UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, tepatnya bunyi Pasal 7 ayat (2) yang menjelaskan soal Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

“Oleh karena itu, penugasan TNI dalam mendukung penertiban tambang ilegal bukanlah bentuk penyimpangan kewenangan, tetapi pelaksanaan amanat undang-undang dalam kerangka OMSP dengan selalu bersinergi bersama kementerian/lembaga terkait,” tegasnya.

TNI Nyatakan Punya Dasar Aturan