Kondisi geopolitik lima tahun terakhir menunjukkan ketidakpastian dan ketidakstabilan, hal ini berpotensi menimbulkan berbagai macam krisis di berbagai sektor baik ekonomi, sosial, maupun politik. Beberapa konsekuensi utama dari ketidakstabilan geopolitik saat ini di antaranya yaitu mengenai kenaikan harga energi dan komoditas.
Ketegangan geopolitik, seperti konflik di Timur Tengah atau antara Rusia-Ukraina, sering memicu lonjakan harga minyak, gas, dan komoditas lain, sehingga meningkatkan biaya produksi dan inflasi di banyak negara.
Kemudian perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perang dagang Tiongkok-AS menimbulkan ketidakpastian permintaan pasar, seperti terhambatnya ekspor-impor, rantai pasok dan segala hal yang berkaitan dengan ekonomi global menjadi terganggu. Kondisi tersebut bisa memperlemah prospek perdagangan dunia.
Misalnya saat Tiongkok dan AS saling menjatuhkan sanksi ekonomi dan pembatasan perdagangan, hal tersebut bisa menghambat distribusi barang dan bahan baku, menyebabkan keterlambatan pengiriman, kelangkaan, serta kenaikan harga produk di berbagai sektor industri.
Kemudian berkenaan dengan konflik regional seperti ketegangan India – Pakistan, maupun yang paling anyar di pertengahan tahun 2025 yaitu konflik terbuka antara Israel (dengan bantuan AS) berperang dengan Iran. Semua kondisi tersebut membuat kondisi lingkungan strategis global menjadi tidak menentu. Dengan demikian, kondisi ini menuntut suatu negara untuk bisa mengambil langkah strategis dan sikap yang tepat.
Begitupun dengan Indonesia, sebagai negara yang memiliki posisi strategis secara geografis maka harus memiliki sikap yang sejalan dengan keunggulan dan tantangan geografisnya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua samudra utama—Samudra Hindia dan Samudra Pasifik—Indonesia menempati posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, yang merupakan jalur utama perdagangan dan energi dunia serta titik temu kepentingan berbagai kekuatan global. Dengan demikian, maka Indonesia harus memiliki sikap yang cermat, adaptif, dan proaktif dalam merespons dinamika geopolitik global yang tidak menentu.
Langkah strategis dan sikap yang bisa dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi dinamika global saat ini, di antaranya yaitu di bawah ini.
Prinsip Bebas Aktif dengan Berpedoman pada Hukum Internasional dan Kepentingan Nasional
Politik luar negeri Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip bebas dan aktif, yang menekankan independensi dalam hubungan internasional dan peran aktif dalam penyelesaian masalah global. Prinsip ini menjadi pedoman utama dalam diplomasi dan strategi geopolitik nasional.
Bebas aktif bukan berarti tak punya sikap atau cari aman, bebas aktif yang dilakukan yakni tidak memihak kepada blok tertentu atau kekuatan tertentu, tapi berpedoman pada hukum dan aturan internasional yang berlaku.
Indonesia tetap bisa menjalin kerjasama dengan semua pihak sesuai peraturan internasional yang berlaku dan disepakati seluruh anggota negara PBB. Misalnya, Indonesia bisa menjalin kemitraan strategis dengan Tiongkok dan Rusia namun tetap menjaga relasi dan kerjasama dengan AS.
Kemitraan yang dibangun disesuaikan dengan bidang keahlian atau keunggulan dari tiap negara tersebut dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan nasional Indonesia. Contohnya, Indonesia dalam bidang ekonomi dan teknologi menjalin kerjasama dengan Tiongkok. Kemudian pengembangan dan pemanfaatan nuklir bekerjasama dengan Rusia, di bidang pertahanan keamanan dengan Amerika dan Uni Eropa.
Hal ini bisa kita amati dan pelajari dari India, bagaimana India memposisikan dirinya dengan baik diantara semua kekuatan global dan blok yang ada. Di satu sisi, India ikut dalam poros ekonomi BRISCS yang dipelopori oleh Rusia dan Tiongkok, namun di sisi lain tetap menjalin kemitraan dengan Amerika dan Uni Eropa.
Netralitas dan Menunjukkan Peran Aktif dalam Upaya Perdamaian dan Stabilitas serta Isu Global
Netralitas bukan berarti tidak bersikap, tapi sikap yang ditunjukkan yakni berpedoman pada hukum dan aturan internasional yang berlaku. Misalnya sikap Indonesia terhadap kasus perang terbuka antara Israel dengan Iran. Berdasarkan data dan fakta yang ada, yang dimana Israel melakukan tindakan sepihak dengan lebih dahulu menyerang Iran, maka Indonesia berdasarkan hukum internasional yang berlaku harus mengecam tindakan sewenang-wenang dan melanggar batas yang dilakukan oleh Israel tersebut, terlebih dengan alasan dan dalih yang belum bisa dibuktikan keabsahannya.
Dalam hal ini, bukan berarti Indonesia berpihak kepada Iran, tapi justru Indonesia menunjukkan sikap yang adil. Yakni berpedoman pada hukum internasional. Sebab tidak dibenarkan suatu negara manapun menyerang dan melanggar kedaulatan negara lain hanya dengan dalih dan alasan yang terlihat seperti paranoid semata dan tanpa bukti yang bisa divalidasi.
Dunia tidak boleh mengulang kesalahan yang sama seperti tuduhan yang pernah ditujukan kepada Irak mengenai senjata pemusnah massal, yang sampai saat ini pun belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Sikap netral juga bukan berarti diam tak melakukan apapun, sikap netral terhadap suatu konflik bukan berarti hanya diam dan menyaksikan pertikaian yang terjadi. Tapi, Indonesia harus berperan aktif yakni menunjukkan perannya di panggung global sebagai penyeimbang, mediator, dan kekuatan konstruktif bagi perdamaian dunia.
Sikap netral Indonesia bukan berarti pasif, melainkan aktif mencari ruang dialog, menjaga keterlibatan dengan semua pihak, serta mendorong penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi dan kemanusiaan.
Kemudian, Indonesia harus menjaga keseimbangan dalam kerja sama multilateral dan bilateral, serta tetap waspada terhadap berbagai rivalitas kekuatan global.
Indonesia menjadi Penggerak Solidaritas Negara Berkembang dan Menjadi Pemimpin di Kawasan
Indonesia harus memperkuat peran sebagai fasilitator dan mediator di berbagai forum multilateral. Sebagai satu-satunya negara ASEAN di G20, Indonesia bisa mengadvokasi isu-isu prioritas negara berkembang, seperti keadilan ekonomi, akses terhadap teknologi, dan pembangunan berkelanjutan, serta mendorong solidaritas bersama dalam menghadapi tantangan global.
Indonesia juga harus aktif membangun konsensus dan menjadi suara penyeimbang di antara negara maju dan berkembang, sehingga kepentingan nasional dan regional tetap terjaga.
Indonesia harus bisa memanfaatkan kepemimpinan di ASEAN untuk memperkuat integrasi dan stabilitas kawasan. Dengan inisiatif seperti “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, Indonesia bisa mendorong ASEAN menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, jangkar stabilitas, dan organisasi regional yang relevan di tengah dinamika geopolitik global.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Indonesia harus memastikan ASEAN tetap menjadi platform utama dalam mengelola isu-isu keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang berdampak pada seluruh negara anggota.
Indonesia bisa memperluas jejaring kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular Cooperation (SSTC) sebagai instrumen solidaritas antar negara berkembang. Melalui forum seperti Indonesia-Afrika dan kemitraan dengan negara-negara di Asia, Pasifik, dan Amerika Latin, Indonesia bisa berbagi pengalaman, teknologi, dan bantuan teknis, serta memperkuat posisi tawar di forum global.
Sebagai penutup, di tengah pusaran krisis dan rivalitas global yang semakin kompleks, Indonesia dituntut untuk terus memperkuat diplomasi dan memperluas jejaring kerja sama internasional. Upaya ini harus diwujudkan melalui diplomasi yang adaptif, cerdas, dan berorientasi pada kepentingan nasional, namun tetap berlandaskan pada prinsip keadilan dan perdamaian. Indonesia juga perlu mengoptimalkan peran aktif di berbagai forum multilateral, baik di tingkat kawasan maupun global, serta menjadi mediator dan penyeimbang dalam menghadapi konflik dan ketegangan antarnegara. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga stabilitas nasional sekaligus memperkuat posisi tawar di kancah internasional.
Selain itu, pemanfaatan keunggulan geografis dan potensi nasional menjadi kunci penting dalam menghadapi dinamika global. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di jalur strategis Indo-Pasifik, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat perdagangan, logistik, dan diplomasi maritim. Dengan pengelolaan sumber daya yang bijak, penguatan ekonomi domestik, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia, Indonesia tidak hanya mampu bertahan dari tekanan eksternal, tetapi juga tampil sebagai aktor penting yang diperhitungkan dalam membentuk tatanan dunia yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan. Peran ini akan semakin relevan seiring dengan komitmen Indonesia untuk terus menjadi penggerak solidaritas negara berkembang dan pemimpin di kawasan.
Nursanik. Kandidat Magister Komunikasi Politik, Peneliti Junior bidang Studi Keamanan Nasional & Komunikasi Politik Intelligence and National Security Studies
Lihat juga Video: Prabowo Bertemu PM Lawrence Wong, Bahas Geopolitik-Ekonomi