Dunia menilai Indonesia sebagai salah satu negara paling aman jika Perang Dunia III pecah. Dalam daftar terbaru @rankingroyals, Indonesia disejajarkan dengan negara-negara netral dan stabil seperti Swiss, Islandia, Bhutan, dan Selandia Baru. Kita dinilai unggul karena letak geografis, netralitas politik, tingkat kemandirian, dan stabilitas sosial.
Namun sebagian masyarakat Indonesia justru menggaungkan tagar #KaburAjaDulu. Sebuah bentuk ironi sosial yang menohok. Di tengah pengakuan global atas “keamanan” kita, warganya sendiri justru merasa tidak cukup aman. Bukan dari ancaman luar, tapi dari tekanan hidup sehari-hari.
Fenomena ini menunjukkan jarak antara persepsi eksternal dan pengalaman internal. Dunia melihat Indonesia sebagai tempat yang aman secara strategis, tapi sebagian rakyatnya merasa terancam oleh ketidakpastian masa depan, stagnasi ekonomi, atau bahkan perasaan tak didengar. Inilah ironi yang harus kita hadapi: ketika negara dipuji di luar, tapi diragukan di dalam.
Maka pertanyaan pentingnya bukan hanya: “apakah kita aman?” tapi juga: apakah kita benar-benar siap menghadapi krisis nyata? Bukan hanya dari perang global, tapi juga dari krisis kepercayaan yang tumbuh di rumah sendiri.
Dalam konteks ancaman global yang kian kompleks, aman secara geografis atau diplomatis tidak serta merta berarti siap secara sistemik. Krisis hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk invasi bersenjata. Ia bisa datang dalam wujud serangan siber, disrupsi rantai pasok, sabotase infrastruktur kritis, fluktuasi energi global, dan bahkan manipulasi informasi publik melalui perang opini digital.
Itulah sebabnya, negara yang benar-benar aman bukan hanya yang jauh dan terlindungi dari garis tembak, tetapi yang siap secara internal, dengan sistem yang tangguh, pemerintahan yang sigap, dan masyarakat yang resilien. Ketahanan sejati tidak dibangun dalam semalam, dan tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan dan strategi pertahanan konvensional. Ia harus disemai dalam strategi pembangunan jangka panjang yang terintegrasi.
Inilah yang menjadi fokus Presiden Prabowo Subianto dalam merumuskan arsitektur pertahanan nasional ke depan: membangun bukan hanya kekuatan militer, tapi juga daya tahan pangan, energi, teknologi, hingga logistik krisis dan kapasitas masyarakat dalam kerangka pertahanan semesta. Visi ini didasari oleh kesadaran bahwa pertahanan hari ini bukan hanya soal menangkal serangan fisik, tapi juga bertahan dalam krisis multidomain.
Namun upaya ini tidak selalu mudah diterima. Ketika tokoh berlatar belakang militer diberi amanah memperkuat birokrasi strategis, muncul kekhawatiran tentang militerisasi. Ketika TNI mulai dilibatkan dalam sektor ketahanan pangan, penyiapan infrastruktur dasar atau bahkan penanganan bencana, sebagian mengaitkannya dengan bayang-bayang dwifungsi masa lalu.
Kekhawatiran ini wajar jika dilihat dari sejarah. Namun penting disadari bahwa konteksnya kini jauh berbeda. Keterlibatan unsur militer bukan untuk mengambil alih ranah sipil, melainkan untuk mempercepat dan mengefisienkan respons terhadap tantangan lintas sektor yang sifatnya semakin asimetris, kompleks dan tak konvensional. Ancaman kini tidak datang dari satu arah atau satu aktor, sehingga respons pun harus kolaboratif dan terintegrasi.
Yang terpenting adalah memastikan prinsip subordinasi militer kepada otoritas sipil tetap dijaga, transparansi dikedepankan, dan fungsi institusional dipertajam, bukan dicampuradukkan. Dalam kerangka itu, keterlibatan militer dalam upaya ketahanan bukanlah ancaman, tetapi sumber daya strategis yang perlu dikelola dan dimobilisasi secara tepat.
Sejumlah kebijakan kunci saat ini, termasuk pembentukan satuan tematik TNI, penguatan cadangan pangan dan energi nasional, serta diplomasi pertahanan aktif merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk menghadapi krisis global yang tak terduga.
Penting untuk dipahami bahwa inisiatif tersebut tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir dari pemetaan terhadap tren ancaman dunia yang semakin tak kasatmata dan saling terkait. Negara-negara besar saat ini juga menggeser orientasi pertahanannya ke arah yang mengintegrasikan kemampuan tempur dan daya dukung sipil. Presiden Prabowo, dalam hal ini, ingin membawa Indonesia selaras dengan arus global, tapi tetap dengan karakter kemandirian nasional yang kuat.
Namun strategi, betapapun baiknya, hanya akan efektif jika mendapat dukungan kolektif. Kita tidak bisa membiarkan inisiatif kebijakan ini terus-menerus diganggu oleh skeptisisme berlebihan yang berakar pada trauma atau ketidakpercayaan lama. Sebaliknya, kita juga tidak boleh silau oleh simbol dan jargon tanpa mengawal substansi dan tata kelola yang akuntabel.
Di sinilah pentingnya kepercayaan sebagai modal dasar ketahanan nasional. Kepercayaan publik terhadap institusi, terhadap arah kebijakan, dan terhadap kemampuan negara untuk hadir di saat genting. Ketahanan bukan sekadar soal sistem, tapi juga soal psikologi dan moral bangsa.
Untuk itu, peran masyarakat sipil, media, dan komunitas intelektual menjadi sangat penting: bukan untuk sekadar mengkritik atau memuji, tetapi untuk mengawal dan menyempurnakan. Kesiapan nasional tidak tumbuh dari narasi tunggal, tapi dari kolaborasi multipihak yang berjalan seirama.
Penilaian dari dunia internasional terhadap Indonesia sebagai negara yang relatif aman memang tidak seharusnya membuat kita berpuas diri. Justru itu menjadi titik tolak untuk memantapkan diri dan bersungguh-sungguh membangun sistem yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi krisis nyata dalam segala bentuknya.
Menjadi aman menurut indeks luar adalah persepsi. Tapi menjadi siap, tangguh, dan berdaya tahan adalah pilihan, yang hanya bisa diwujudkan melalui visi besar, eksekusi yang konsisten, dan dukungan sosial yang kuat.
Visi Presiden Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang membela, bukan mengintai adalah bagian dari paradigma baru pertahanan nasional. Bukan untuk mengembalikan dominasi militer dalam urusan sipil, melainkan untuk menciptakan sistem pertahanan negara yang benar-benar berpihak kepada rakyat, melalui kesiapsiagaan yang menyentuh semua lini kehidupan.
Dan pada akhirnya, membela bangsa tidak selalu berarti mengangkat senjata atau berada di garis depan. Ia bisa diwujudkan dengan tetap tinggal, tetap peduli, dan tetap berkontribusi di tengah tantangan. Di tengah tren #KaburAjaDulu yang mencerminkan rasa putus asa, kita justru perlu membangun narasi baru tentang bertahan dan membangun. Karena Indonesia tidak akan kuat oleh mereka yang pergi, tetapi oleh mereka yang memilih tetap tinggal, ikut berbenah dan membangun.
Lagipula, dalam situasi konflik global, negara tetaplah sandaran terakhir semua warganya, baik yang bertahan maupun yang memilih kabur. Perlindungan, evakuasi, dan keberlangsungan hidup tetap bergantung pada kekuatan sistem nasional yang dibangun hari ini. Maka daripada berharap pada ilusi pelarian, jauh lebih bijak jika kita ikut membangun ketahanan itu secara bersama.
Dalam dunia yang semakin tidak pasti, pujian saja tidak akan berarti apa-apa. Kita perlu memastikan bahwa bangsa ini bukan hanya tampak aman, tetapi benar-benar siap. Dan kesiapan itu dimulai dari keberanian untuk tidak #KaburAjaDulu.
Khairul Fahmi, Analis Pertahanan dan Keamanan – Co-Founder ISESS
Tonton juga “Beda Harga Sembako di Indonesia Vs Jerman” di sini: