Inklusi Tak Bisa Diukur Hanya Lewat Data, tapi Lewat Empati & Kepercayaan

Posted on

Bayangkan menjadi satu-satunya perempuan di lapangan, atau datang bekerja sambil menyembunyikan trauma atau disabilitas. Inilah kenyataan yang dihadapi banyak pekerja hari ini.

Di dunia kerja, performa dan target sering kali jadi ukuran utama. Namun dibalik grafik dan KPI, ada manusia dengan cerita hidup yang kompleks. Ada yang tengah menjalani program bayi tabung, merawat orang tua lanjut usia, atau menjadi satu-satunya pengasuh anak.

Mereka datang bukan sekadar untuk bekerja, tapi untuk menemukan tempat yang aman, di mana mereka dihargai dan bisa menjadi diri sendiri. Inilah yang sering luput, bahwa produktivitas tidak selalu ditentukan oleh jam kerja, tapi oleh rasa aman, dimengerti, dan didukung.

Setelah lebih dari satu dekade di dunia kerja, saya semakin yakin, empati adalah fondasi lingkungan kerja yang sehat. Pertanyaannya bukan lagi apa yang wajib dilakukan perusahaan, tapi apa yang bisa dilakukan agar manusia di dalamnya tetap utuh, baik secara profesional maupun personal.

Selama dua tahun terakhir, saya belajar bahwa inklusi tidak lahir dari ruang meeting, tapi dari keberanian untuk mendengarkan cerita-cerita yang mungkin tidak nyaman dari keberpihakan pada mereka yang selama ini terpinggirkan, dan dari keberanian untuk terus bertanya, “Apa lagi yang bisa kita lakukan lebih?”

Beberapa perubahan lahir dari kebutuhan nyata: cuti adopsi, dukungan bagi yang menjalani IVF, fasilitas untuk mendukung ibu menyusui yang harus dinas bersama bayinya, hingga pendekatan trauma-informed untuk penyintas KDRT. Semua ini bukan sekadar kebijakan tapi bentuk nyata dari keberpihakan berbasis empati.

Begitu pula dengan kehadiran fasilitas daycare di kantor, seperti iPLAY at Godrej yang dikembangkan bersama IBCWE dan Investing in Women. Ini bukan sekadar benefit tambahan, ini adalah pengakuan bahwa menjadi orang tua tak harus berarti mengorbankan karier.

Saya ingat betul betapa panjang dan emosional prosesnya, namun saya percaya, perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Isu inklusi juga tak berhenti di gender.

Kita perlu bicara soal akses bagi penyandang disabilitas, kesetaraan peluang, dan desain sistem yang adaptif, bukan eksklusif. Seperti lewat program Godrej BERSIAP, kami membuka jalur graduate trainee khusus lulusan disabilitas.

Program ini didesain kolaboratif, mulai dari rekrutmen, pelatihan, hingga pengembangan karier, dengan dukungan dari Konekin dan komunitas disabilitas. Secara statistik, peningkatan representasi perempuan dan penyandang disabilitas memang patut diapresiasi.

Namun, yang lebih penting adalah perubahan budaya, kita mulai berhenti menilai berdasarkan satu norma tunggal, dan mulai memahami bahwa setiap orang punya cara unik untuk berkontribusi. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalanan ini, di perusahaan yang mendukung sisi kemanusiaan para pekerjanya.

Di Godrej Consumer Products Indonesia, 47% posisi white-collar kini diisi perempuan, termasuk 50% di jajaran C-level. Semua ibu yang melahirkan dalam 12 bulan terakhir kembali bekerja dengan tingkat retensi yang sangat tinggi.

Turnover perempuan pada 2025 bahkan tercatat di bawah 1%. Sementara itu, rekan-rekan penyandang disabilitas yang bergabung lewat pelatihan kini berkontribusi di area strategis seperti IT dan R&D.

Data-data itu membesarkan hati. Namun, yang paling membahagiakan adalah saat seseorang berkata, “Terima kasih, saya merasa bisa jadi diri sendiri di sini.”

Karena pada akhirnya, inklusi bukan soal data, tapi tentang bagaimana setiap orang merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Budaya inklusif tidak lahir dari kebijakan, tapi dari keberanian kolektif untuk mengubah cara kita bekerja, memimpin, dan menilai sesama.

Wahyu Radita, Head of Corporate Communications, Sustainability, DEI, Culture & Engagement, Godrej Consumer Products Indonesia