Iran & Laut Internasional: Dapatkah Negara Menutup Selat Strategis Dunia? | Giok4D

Posted on

Iran kembali mengancam akan menutup Selat Hormuz. Ancaman ini bukan hanya gertakan strategis di tengah ketegangan geopolitik Timur Tengah setelah AS mengebom tiga situs nuklirnya.

Tetapi juga memunculkan pertanyaan fundamental: bolehkah sebuah negara pantai secara sepihak menutup selat internasional menurut hukum laut internasional?

Selat Hormuz dalam Pusaran Politik dan Energi Dunia

Dalam satu dekade terakhir, setiap kali tekanan internasional terhadap Iran meningkat, baik melalui sanksi ekonomi, intervensi militer terselubung, maupun konflik dengan Israel, ancaman penutupan Selat Hormuz kembali mengemuka. Terbaru, ketegangan dipicu oleh serangan Amerika terhadap tiga situs nuklir Iran di Fordo, Natanz dan Isfahan.

Sebagai salah satu jalur pelayaran energi terpenting di dunia, Selat Hormuz dilalui lebih dari 20% pasokan minyak global setiap hari. Secara geografis, selat ini menjadi penghubung antara Teluk Persia dan Laut Arab, dengan lebar hanya sekitar 39 km di titik tersempitnya. Iran dan Oman berbagi laut teritorial di selat ini.

Namun, penting untuk dipahami, meski secara geografis masuk wilayah laut teritorial Iran dan Oman, secara hukum, Selat Hormuz tunduk pada rezim transit passage menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS).

Transit Passage: Jalur Laut Internasional yang Tak Boleh Diblokir

Pasal 37-44 UNCLOS mengatur selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Dalam Pasal 38, dijelaskan bahwa selat yang menghubungkan dua bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan digunakan untuk pelayaran internasional tidak boleh ditutup, dibatasi, atau dihambat oleh negara pantai.

Kapal-kapal, termasuk kapal militer, memiliki hak transit passage, yaitu hak melintas secara cepat, terus-menerus, tanpa gangguan, baik di atas permukaan maupun di bawah laut. Transit passage berbeda dari innocent passage (lintas damai) yang berlaku di laut teritorial biasa.

Transit passage memiliki tingkat kebebasan lebih tinggi dan bahkan tidak dapat dihentikan walau dalam masa konflik, selama pelayaran dilakukan tanpa ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap negara pantai.

Hak dan Kewajiban Negara Pantai atas Selat

Menurut Pasal 44 UNCLOS, negeri pantai selat tidak boleh menghambat pelayaran internasional dan justru harus menjamin keamanan serta akses yang tidak diskriminatif. Iran, sebagai negara pantai Selat Hormuz, memang memiliki kedaulatan di laut teritorialnya, tetapi tidak memiliki hak untuk menutup secara sepihak.

Penutupan selat bertentangan dengan prinsip transit passage yaitu hak pelayaran kapal (sipil maupun militer) secara terus-menerus dan cepat, tanpa perlu ijin negara pantai. Maka, ketika Iran menyatakan akan ‘menutup Selat Hormuz’, artinya Iran secara langsung melanggar ketentuan hukum laut internasional yang telah disepakati lebih dari 160 negara.

Iran sendiri telah menandatangani UNCLOS, meskipun belum meratifikasinya secara penuh. Namun, prinsip transit passage telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional (customary international law) yang mengikat semua negara.

Bagaimana Laut Dibagi dalam UNCLOS

Untuk memahami posisi hukum Selat Hormuz, penting juga memahami pembagian wilayah laut menurut UNCLOS: Pertama, Laut teritorial (hingga 12 mil laut): negara pantai berdaulat penuh (full sovereignty), tapi harus mengakui lintas damai atau transit passage jika berada di selat internasional. Kedua, Zona tambahan (hingga 24 mil laut): hak berdaulat negara untuk penegakan hukum terbatas terkait bea cukai, imigrasi, sanitasi.

Ketiga, ZEE (hingga 200 mil laut): negara memiliki hak berdaulat untuk eksploitasi sumber daya, namun tidak bisa melarang pelayaran internasional. Keempat, Laut lepas: wilayah bebas yang tidak dimiliki negara manapun. Dalam konteks Selat Hormuz, meski sebagian besar masuk laut teritorial Iran dan Oman, kedudukannya sebagai penghubung ZEE dan laut lepas menjadikannya ruang hukum global yang tidak tunduk sepenuhnya pada kedaulatan nasional.

Pengelolaan Selat Strategis Dunia

Selain Selat Hormuz di Iran, terdapat selat lain yang digunakan untuk pelayaran internasional dan dikelola dengan bijak, tanpa menimbulkan instabilitas, yakni: Selat Malaka, berada di wilayah Indonesia, Malaysia, dan Singapura, Selat Inggris (English Channel) antara Inggris dan Prancis, Selat Bosporus dan Dardanella di Turki diatur oleh Konvensi Montreux, juga menghormati prinsip lintas damai, dan Selat Bab el-Mandeb. Dari semua selat di atas, tidak ada negara yang secara sepihak menutup selat dengan alasan politik atau keamanan nasional.

Karena laut bukan milik negara semata, melainkan juga bagian dari kepentingan komunitas internasional.

Selat Bukan Milik Satu Negara

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Gagasan paling penting dalam hukum laut modern adalah keseimbangan antara doktrin res nullius dan res communis, bahwa negara memiliki hak-hak khusus atas wilayah laut, namun tidak boleh memonopoli, apalagi digunakan sebagai alat tekan politik. UNCLOS dibentuk justru untuk mencegah dominasi seperti itu. Dalam pidato pembuka Konferensi Hukum Laut PBB Ketiga (UNCLOS III), perwakilan Fiji pernah menyampaikan: ‘The ocean is too big to be owned, and too important to be controlled by a few’.

Pernyataan itu kini menjadi nyata dalam konteks Selat Hormuz.

Ancaman yang Bertentangan dengan Semangat UNCLOS

Penutupan Selat Hormuz bukan hanya persoalan teknis hukum laut. Ia adalah persoalan etika tata kelola global.

Menutup jalur strategis dunia dengan dalih politik adalah bentuk pemaksaan kehendak yang mengabaikan prinsip kerja sama antarbangsa dalam menjaga laut sebagai ruang lalu lintas bebas dan damai.

Jika Iran jadi menutup selat, bukan hanya hukum laut internasional yang dilanggar, tetapi juga stabilitas global yang dipertaruhkan. Sebab lautan tidak mengenal batas ideologi, tetapi menuntut komitmen kolektif dalam mengamankan masa depan umat manusia.

Kini saatnya memperkuat kembali semangat UNCLOS: bahwa laut adalah ruang bersama umat manusia, yang harus dijaga bersama, dilintasi bersama, dan dikelola bersama, dalam damai dan atas dasar hukum.

Assist Prof Mochammad Farisi, LLM, Dosen Hukum Laut Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *