Isu lama tentang keabsahan ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) kembali dipolitisasi. Meski telah berkali-kali dibantah oleh institusi resmi, narasi ini terus dihidupkan dengan aroma provokasi.
Tuduhan ijazah palsu terhadap Jokowi kembali mencuat seakan menjadi komoditas musiman yang dihidangkan saat suhu politik meningkat. Isu ini, yang sejatinya telah berkali-kali dibantah dan dijelaskan secara terbuka oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), kembali diangkat dengan narasi seolah-olah ada skandal besar yang ditutup-tutupi. Padahal, institusi akademik yang bersangkutan telah menegaskan: Jokowi adalah alumni resmi Fakultas Kehutanan, dengan skripsi dan rekam jejak akademik yang terdokumentasi.
Namun demikian, tuduhan ini bukan semata tentang keabsahan sebuah ijazah. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam: kegagalan sebagian elite politik dan segmen masyarakat dalam memaknai demokrasi dan cara beroposisi secara sehat.
Politik yang Kehilangan Substansi
Kita tidak hidup dalam dunia yang kekurangan akses informasi. Klarifikasi demi klarifikasi telah disampaikan. Wakil rektor UGM bahkan menyebutkan secara gamblang tahun masuk, tahun lulus, hingga judul skripsi Jokowi. Namun, sebagian pihak terus menggulirkan isu ini dengan nada insinuatif.
Dalam prinsip hukum dikenal adagium actori incumbit probatio-siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan. Tuduhan tanpa bukti kuat hanya akan menjadi fitnah, bukan kritik.
Sayangnya, logika politik hari ini kerap tidak berjalan beriringan dengan logika hukum ataupun etika. Tuduhan yang lemah sering justru mendapat panggung lebih luas di media sosial dan kanal-kanal digital, menciptakan distorsi persepsi publik. Politik kehilangan substansi ketika lebih sibuk menyerang personal daripada mengkritisi kebijakan.
Bukan Kritik, Tapi Delusi
Kita bisa menerima bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi. Pemerintah harus dikoreksi, dikawal, dan diawasi. Namun, menyerang seorang mantan presiden-siapa pun orangnya-dengan narasi tanpa dasar hukum yang valid, bukanlah praktik oposisi yang sehat. Itu adalah delusi politik, lahir dari dendam dan kegagalan mengartikulasikan agenda perubahan secara konstruktif.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa narasi ini bisa berdampak lebih luas. Ia mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan, menciptakan keraguan terhadap stabilitas politik nasional, dan pada akhirnya merugikan iklim investasi.
Tidak sedikit investor asing yang menjadikan kepastian hukum dan stabilitas politik sebagai parameter utama.
Ketika narasi-narasi seperti ini terus dikapitalisasi tanpa kendali, dampaknya bukan hanya politik domestik, tapi juga reputasi Indonesia di mata dunia.
Agenda Tersembunyi?
Layak untuk dicermati bahwa narasi ijazah palsu ini tidak hidup dalam ruang hampa. Ia muncul beriringan dengan transisi kekuasaan menuju pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Jika kita tarik benang merahnya, kampanye narasi semacam ini bukan semata menyerang Jokowi, tapi bisa menjadi upaya sistematis untuk mengganggu legitimasi pemerintahan berikutnya.
Demonstrasi dan aksi-aksi publik yang mengusung isu ini, sering kali dibungkus dengan semangat keterbukaan, namun ironisnya tidak membawa data baru. Yang justru muncul adalah nada agitasi, provokasi, dan seruan-seruan yang berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kubangan instabilitas.
Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, tidak bisa terus bersikap permisif. Demokrasi memang memberi ruang untuk berbeda pendapat, tetapi bukan untuk menyebar fitnah. Negara tidak boleh abai ketika kebebasan digunakan sebagai tameng untuk merusak. Ketegasan bukanlah musuh demokrasi, melainkan pelindung akal sehat publik.
Jalan ke Depan
Pemerintahan Prabowo-Gibran akan dihadapkan pada tantangan berat: menjaga stabilitas politik, mempercepat pemulihan ekonomi, dan memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik. Untuk itu, segala bentuk disinformasi yang melemahkan kepercayaan publik harus dilawan dengan pendekatan hukum yang tegas dan edukasi publik yang menyeluruh.
Lebih jauh lagi, elite politik kita-dari semua spektrum-perlu introspeksi. Bangsa ini tidak kekurangan persoalan substansial untuk dibahas: dari kemiskinan, pendidikan, hingga perubahan iklim. Mari kita arahkan energi politik kita pada isu-isu nyata yang menyentuh hidup rakyat banyak, bukan pada narasi-narasi busuk yang hanya menguntungkan kelompok kecil dengan agenda sempit.
Sudah saatnya kita keluar dari jebakan politik remeh-temeh. Demokrasi Indonesia tidak boleh direduksi menjadi panggung fitnah. Ia harus menjadi ruang dialektika gagasan dan integritas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Pieter C Zulkifli, pengamat hukum dan politik
Simak juga Video: Jokowi Bakal Laporkan 4 Orang Terkait Tuduhan Ijazah Palsu