Apa yang terjadi dengan sebuah kampus, yang mahasiswa maupun dosennya sama-sama melangsungkan relasi pembelajaran, intensif mengandalkan artificial intelligence (AI)? Saat mahasiswa menggunakan AI, salah satu tujuannya menemukan wawasan yang makin mendalam tentang subyek yang dipelajarinya. Lazimnya, wawasan di pembelajaran konvensional bersumber dari bacaan yang disarankan dosen di awal kuliah dan artikel jurnal yang memuat penelitian terbaru, dilengkapi pencarian menggunakan searching engine.
Tak dilarang pula sumber bacaan lain yang relevan. Termasuk material sejenis, yang digunakan di kampus-kampus lain yang lebih unggul. Dengan cara itu, mahasiswa punya kualitas setara, dengan kampus-kampus lain. Minimal tidak ketinggalan.
Walaupun cara di atas layak–dan hasilnya mengindikasikan kualitas pembelajaran dunia saat ini-yang menggairahkan, hari ini mahasiswa bisa menempuh cara belajar lain. Dengan bantuan perangkat berbasis AI. Perangkat –yang mampu memuat dan mengolah data dari berbagai tempat dilangsungkannya pendidikan dan penelitian terbaru ini– unggul mensintesa pengetahuan yang luput terkaji.
Mampu memunculkan wawasan-wawasan baru, yang oleh pembelajaran konvensional tak terolah. Mahasiswa yang menggunakan AI dalam pembelajarannya, memanen wawasan berharga. Sekaligus memperbaiki pengetahuannya. Pengetahuan terepresentasi sebagai kualitas argumen, yang melandasi esai-esai yang ditulisnya. Memberi nuansa baru pada pengetahuan.
Imed Bouchrika (2025) dalam “Writing Better Essays: How AI Tools Empower Students in Higher Education” mengkonfirmasi pernyataan di atas. Menurutnya, penggunaan perangkat berbasis AI, mengubah cara mahasiswa berinteraksi dengan pendidikan tinggi.
Pengalaman belajar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, membantu pembuatan rancangan awal esai yang menjadi tugasnya, hingga tersedianya dukungan yang diperlukan sepanjang waktu.
Proses belajar mahasiswa yang bukan sebatas penulisan esai itu, memarakkan penggunaan AI dalam seluruh rangkaian prosesnya. Rhea Kelly (2024), dalam tulisannya “Survey: 86% of Students Already Use AI in Their Studies” yang mengutip penellitian yang dilakukan Digital Education Council, menyebut: mayoritas mahasiswa–jumlahnya tak kurang dari 86%– telah menggunakan AI dalam proses belajarnya.
Polanya: 24% menggunakannya setiap hari; 54% setiap hari atau setiap minggu; dan 54% lainnya, setidaknya setiap minggu. Dari penelitian berjudul “2024 Global AI Student Survey” itu, terkumpul tanggapan dari 3.839 mahasiswa S1, S2, dan S3 dari berbagai bidang studi, di 16 negara. Terungkap: mahasiswa rata-rata menggunakan 2,1 perangkat AI, untuk mata kuliahnya. Dengan ChatGPT sebagai pilihan terbanyak. Disebut oleh 66% responden.
Yang diikuti Grammarly dan Microsoft Copilot, masing-masing disebut oleh 25% responden. Ragam penggunaannya meliputi pencarian informasi 69%, memeriksa tata bahasa 42%, merangkum dokumen 33%, menyusun ulang kalimat dokumen 28%, dan membuat rancangan awal esai 24%.
Sedangkan di sisi hadapan para mahasiswa, adalah para dosen. Dari aneka laporan, para dosen di berbagai kampus dunia tak ketinggalan memanfaatkan AI. AI menjanjikan terselesaikannya pekerjaan administratif yang rutin, penyusunan materi perkuliahan yang mudah dimengerti, personalisasi pembelajaran bagi mahasiswa sesuai minat dan kemampuannya.
Tak hanya itu, semuanya tersistematisasinya proses transfer pengetahuan yang multimoda. Seluruhnya, memudahkan artikulasi informasi pengetahuan yang abstrak, menjadi konkrit.
Pengajaran niscaya melahirkan tugas-tugas ikutan. Ini termasuk penilaian hasil ujian, pelacakan kemajuan kegiatan belajar, penyusunan program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa.
AI membantu seluruhnya sekaligus membuka akses jejaring para dosen dengan sejawatnya di seluruh dunia, sebagai siklus lahirnya pengetahuan baru berdasar penerimaan penelitiannya. Seluruh janji AI itu diwujudkan para dosen dengan mengoptimalkan penggunaannya.
Penggunaan AI yang makin tak terelakkan di berbagai kampus, akibat meningkatnnya kualitas mengajar yang dirasakan langsung para dosen. Surplus waktu akibat pengambilalihan sebagian pekerjaan oleh AI, menyumbang peningkatan kualitas itu.
Sebuah penelitian di perguruan tinggi di Maroko, menunjukkan fakta peningkatannya. Ini tertuang dalam laporan Wagdy Sawahel, (2024) berjudul “Half of HE institutions use AI in Teaching – Survey”. Disebutkannya, 67% dosen responden penelitian, telah menggunakan perangkat berbasis AI dalam pengajaran dan penelitiannya. Walaupun 70% dosen itu mampu menggunakan komputer atau perangkat seluler lainnya, ternyata hanya 38%-nya yang cukup familiar dengan perangkat AI. Sisanya, 29% cukup familiar, sedangkan 10% lainnya sama sekali tak familiar.
Studi juga mendapatkan: AI digunakan di beberapa mata kuliah, pada lebih dari 50% institusi yang diteliti. Sementara 35%-nya belum mengadopsi AI sebagai perangkat.
Dialektika mahasiswa yang menggunakan AI, tampaknya bersambut penggunaan perangkat sejenis oleh para dosen. Menjadikannya relasi yang wajar. Keduanya semula bertujuan meningkatkan pengalaman belajar dan mengajarnya, mencapai hasil yang lebih sempurna. Namun relasi unik yang mengawali dialektika, justru bisa terbentuk akibat aksi-reaksi mencegah penyalahgunaan. Mahasiswa yang menggunakan AI untuk mengerjakan tugas-tugas dari para dosen, mendorong dosen menggunakan AI dengan tujuan mencegah kecurangan mahasiswa.
Dosen profesional tak ingin memberikan nilai pada karya, yang ternyata saduran dari hasil prompt yang diketikkan mahasiswa. Upaya mencegah penyalahgunaan AI, tanpa direncanakan sistematis meningkatkan kemampuan masing-masing penggunanya. Dialektikanya ganjil, tapi produktif.
Dan hari ini, dialektika itu terus berlangsung. Ibarat pendulum yang mengikuti watak dinamisnya: gerakan yang semula dari dosen mencegah dicurangi mahasiswa, ke mahasiswa yang merasa dicurangi para dosen.
Para mahasiswa keberatan dengan biaya belajar yang mahal, namun mendapati para dosen menilai karya yang diajukannya dengan AI. Beatrice Nolan, 2025, dalam tulisannya berjudul “It’s Just Bots Talking to Bots’: AI is Running Rampant on College Campuses as Students and Professors Alike Lean on the Tech”, yang dimuat fortune.com mengemukakan kekhawatiran para mahasiswa itu. Penggunaan perangkat berbasis AI oleh para dosen untuk tugas penilaian maupun perencanaan pembelajaran, menimbulkan rasa tak puas. Bagi para mahasiswa, seluruhnya mengurangi nilai harapan pembelajaran yang diperoleh. Ini akibat tiadanya transparansi dan keadilan.
Tiadanya transparansi dimungkinkan terjadi, lantaran mahasiswa tak tahu apa dasar penilaian yang diterimanya. Sedangkan para dosen pun sebatas memasukkan data jawaban ke dalam perangkat, dan menunggu hasilnya. Bagaimana cara kerja AI memberikan penilaian, sama sekali tak dipahami. Terlebih ketika Sang Dosen bukan berasal dari bidang ilmu komputer, yang sedikitnya memahami kerja algoritma. Sedangkan tiadanya keadilan, AI yang bekerja berbasis operasi komputasional dan statistiik akan memilah jawaban yang diberikan dalam indikator-indikator kuantitatif.
Jumlah kata yang digunakan pada karya mahasiswa, juga adanya sejumlah konsep tertentu yang dihadirkannya dalam jawaban dapat menjadi indikator nilai tinggi. Demikian pula keterkaitan antar konsep yang diberi bobot, ketika akumulasinya mencapai nilai tertentu akan dianggap memiliki keterkaitan antar konsep. Karya yang dinilai mengindikasikan keutuhan. Operasi AI tak mampu memahami aspek kualitatif yang belum terkuantifikasi. Ketidakadilan terjadi, saat kandungan kuantitatif suatu karya lebih tinggi dibanding kandungan kualitatifnya. Jawaban yang baik secara kualitatif, dapat dinilai lebih buruk. Ini mengkhawatirkan mahasiswa.
Lewat tulisannya yang lain, Nolan menceritakan adanya mahasiswa perempuan dari Northeastern College yang mengadukan dosennya dan menagih kembali uang kuliahnya. Ini setelah mengetahui Sang Dosen, diam-diam menggunakan perangkat berbasis AI untuk membuat catatan dan pemanfaatan lainnya dalam pembelajaran. Sang Dosen tak menampik tuduhan, seraya mengakuinya buruk tindakannya. Ia juga setuju, penggunaan perangkat berbasis AI, perlu disertai transparansi. Tak sepihak bagi kepentingan dosen saja.
Kasus di atas menegaskan terjadinya reaksi terhadap dialektika pembalikan. Dosen yang semula mencurigai mahasiswa bakal mencuranginya lewat penggunaan AI, kini justru jadi pihak dicurigai. Mahasiswa tidak merasa memperoleh pembelajaran berdasar keahlian dosennya, saat para dosen menggunakan AI. Biaya mahal yang dibayarkan untuk mengalami pembelajaran seutuhnya, diganti tanpa kesepakatan dengan mesin yang memerankan dosen.
Dalam realitas penggunaan AI oleh ciivitas academica yang tak terhindarkan, dialektikanya tak selalu menghasilkan kesepakatan. Mahasiswa dan dosen berada dalam posisi saling mencurigai.
Namun ketika seluruhnya dipikirkan makin serius, intensifnya penggunaan perangkat berbasis AI menghadirkan keganjilan. Jumlah pemakainya makin banyak, jenis pekerjaan yang dipecahkan makin luas, penggunaan perangkatnya makin beragam dan keterlibatannya yang makin dalam. Intensif jadi kata yang merepresentasikan seluruhnya.
Demikian intensifnya, hingga relasi di dunia belajar-mengajar hakikatnya adalah relasi antara perangkat yang menggantikan mahasiswa dan perangkat yang menggantikan dosen. Jika memang demikian, lalu siapa yang benar-benar belajar dan mengajar? Siapa pula yang menjalankan transfer informasi pengetahuan?
Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org.
Simak juga Video: Mendikdasmen: Kurikulum Koding AI Sudah Diterapkan di Banyak Sekolah