Ketua DPD RI Gaungkan 3 RUU Hijau Indonesia di Forum COP30 Brasil

Posted on

Ketua DPD RI, Sultan Bachtiar Najamudin, menegaskan komitmen Indonesia dalam memimpin agenda transisi hijau di tingkat global saat menjadi salah satu pembicara kunci pada Plenary Investment Forum dalam rangkaian COP ke-30 di Belem, Brasil. Dalam pidatonya, Sultan memperkenalkan kerangka besar Green Democracy, sebuah paradigma pembangunan baru yang tengah digaungkan oleh DPD RI.

Sultan menjelaskan bahwa Green Democracy bukan sekadar gagasan politik, melainkan strategi pembangunan komprehensif yang mengintegrasikan demokrasi, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.

“Green Democracy hadir sebagai seruan bersama agar politik kembali tunduk pada etika keberlanjutan lingkungan,” ujar Sultan dalam keterangan tertulis, Jumat (14/11/2025).

Sebagai bukti konkret, DPD RI tengah memprakarsai tiga rancangan undang-undang penting yang berfungsi sebagai fondasi hukum Green Democracy. Ketiganya kini masuk agenda prioritas legislasi nasional, yakni RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat, dan RUU Daerah Kepulauan.

“Ketiga rancangan undang-undang ini sedang menunggu untuk disahkan dan menjadi pilar transformasi lingkungan Indonesia,” jelasnya.

RUU tersebut dirancang untuk memperkuat kepastian hukum, keadilan ekologis, serta melindungi komunitas yang paling rentan terdampak perubahan iklim.

Dorongan politik ini, kata Sultan, juga diperkuat oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang membuka jalan bagi percepatan transisi energi serta investasi di sektor hijau.

“Perpres ini menunjukkan komitmen kuat Indonesia, sekaligus membuka peluang investasi dari seluruh dunia di sektor energi hijau,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Sultan menyoroti sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia kini menjadikan Green Democracy sebagai fondasi strategi pembangunannya. Ia menilai demokrasi konvensional di banyak negara telah mencapai titik jenuh, bahkan kerap menjadi sumber persoalan ketika tidak diiringi dengan kepastian hukum serta perlindungan lingkungan.

“Demokrasi sering kali menjadi sumber masalah ketika hak asasi manusia diabaikan dan lingkungan dikorbankan demi pembangunan,” ujarnya.

Ia menggambarkan kerusakan global yang dihasilkan dari green-less development, seperti hilangnya hutan, krisis air, konversi lahan pertanian, hingga meningkatnya penyakit pernapasan. Oleh karena itu, Indonesia mendorong reorientasi pembangunan dunia melalui paradigma baru yang menempatkan keberlanjutan sebagai fondasi politik dan ekonomi.

“Kami hadir untuk menawarkan Green Democracy sebagai strategi baru bagi komunitas COP,” pungkasnya.