Ketua Komisi X DPR RI Respon Masalah Siswa SMP yang Tidak Bisa Membaca

Posted on

Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian merespons soal masalah sejumlah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, yang tidak bisa membaca. Hetifah menyebut akan rapat dengan kementerian terkait, salah satunya membahas hal tersebut.

“Kebetulan besok sudah memulai raker dengan Mendikdasmen. Kami akan menyampaikan apa hal-hal yang teman-teman tanyakan. Hari Rabu (23/4) juga dengan Mendiktissaintek, kemudian juga dengan menteri-menteri yang lain,” kata Hetifah di Jakarta Barat, Senin (21/4/2025).

Hetifah mengatakan isu ini adalah masalah yang serius. Dirinya menyebut masalah siswa SMP tidak bisa membaca ini harus segera diatasi.

“Nah, jadi pendidikan adalah fondasi. Kalau itu sampai terjadi, maka kita harus memastikan hal seperti itu bisa segera diatasi dan tidak ada di tempat-tempat yang lainnya juga,” kata dia.

Selain itu, dirinya juga akan menanyakan kepada kementerian terkait seputar masalah TNI yang memasuki ruang kampus. Isu-isu lainnya juga akan turut ditanyakan saat rapat.

“Tadi saya juga sudah membaca ada beberapa berita, tentu saja hari Rabu kami akan melakukan raker dengan Mendiktisaintek,” kata dia.

“Tidak khusus, karena ada beberapa isu-isu, jadi kita biasanya akan membahas berbagai hal yang mungkin kita anggap penting untuk mendapatkan penjelasan ataupun tadi menjadi pertanyaan publik,” tambahnya.

Sebelumnya, dikutip dari infoBali, data ratusan siswa SMP belum bisa membaca dengan lancar itu diungkapkan oleh Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana. Berdasarkan data yang dihimpun dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Buleleng, terdapat sekitar 400-an siswa SMP yang kesulitan membaca.

Sedana menjelaskan faktor utama persoalan ini bisa terjadi karena kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa.

“Angkanya mengejutkan, jadi ada 400-an anak yang tidak bisa membaca dengan lancar, artinya masih mengeja. Tidak selayaknya anak SMP yang membaca sudah tidak menjadi persoalan,” kata Sedana, Rabu (9/4).

Faktor utama persoalan ini bisa terjadi karena kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa. Ia menyebut pemahaman yang keliru terhadap konsep pembelajaran tuntas menyebabkan siswa tetap naik kelas meskipun belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca.