Kisah Perjuangan Seorang Ibu di Balik Penemuan ‘Rice Cooker’

Posted on

Jika Anda menggunakan rice cooker alias mesin penanak nasi, Anda harus berterima kasih kepada Yoshitada dan Fumiko Minami.

Cerita ini bermula pada 1955 di Ehime, yang terletak di Pulau Shikoku, Jepang.

Setelah Perang Dunia II berakhir dan pasukan Amerika Serikat mundur, pengusaha Yoshitada Minami mengalami kesulitan menjual pemanas airnya. Bisnisnya mulai lesu. Namun, dia punya sejumlah teman dari kalangan atas.

“Ia memohon kepada Matsumoto, yang merupakan kepala pengembangan peralatan listrik rumah tangga Toshiba, untuk mengizinkannya membuat produk apa pun. Matsumoto merasa terganggu dengan desakan ayah saya.”

“Jadi, ia mengatakan kepada ayah saya bahwa ada wacana untuk membuat mesin penanak nasi. ‘Coba deh membuatnya menjadi produk’,” papar putra bungsu Yoshitada, Aiji Minami, memaparkan ulang kisah pertemuan ayahnya dengan petinggi Toshiba.

Matsumoto tidak mengira Yoshitada akan benar-benar membuat mesin penanak nasi. Dia hanya memberikan proyek itu kepada Yoshitada supaya tetap sibuk dan tidak mengganggunya lagi.

Namun, yang tidak disadari oleh para pria yang mendominasi industri peralatan rumah tangga adalah betapa bermanfaatnya penanak nasi elektrik.

“Perempuan Jepang, termasuk ibu saya, dulu menggunakan penanak nasi, yang disebut hagama. Awalnya, penanak nasi menggunakan kayu bakar. Kemudian, penanak nasi menggunakan bahan bakar gas.”

“Saya pikir menanak nasi adalah pekerjaan yang sangat berat, dan mereka harus mengulanginya tiga kali sehari,” kata Aiji Minami.

Yoshitada tidak tahu harus mulai dari mana saat memasak nasi. Jadi, ia meminta bantuan istrinya.

“Nama ibu saya adalah Fumiko Minami. Keluarganya adalah kelas ksatria yang cukup tinggi. Kakek saya adalah seorang pria desa, dan dialah yang membuat keluarganya sangat dihormati.”

“Jadi, kakek saya datang ke Tokyo bersama ibu saya. Kemudian ibu saya bekerja di sebuah restoran besar di Omori. Suatu kali ayah saya bertemu dengannya di sana dan jatuh cinta padanya. Tak lama kemudian mereka menikah dan anak-anak pun lahir untuk melengkapi rumah tangga mereka yang sudah sangat sibuk.”

“Ada banyak karyawan perusahaan yang tinggal di rumah saya sehingga ibu saya sibuk sekali,” kenang Aiji.

Selain itu, Yoshitada juga senang menghibur. Ia gemar melakukan gidayu atau nyanyian tradisional Jepang sejak zaman Edo.

“Dia pergi ke berbagai tempat untuk menunjukkan penampilannya. Dia sering membawa anak-anaknya ke sana dan berkata kepada kami, ‘kalian duduk di barisan depan dan saksikan saya’. Dia juga sering berlatih menyanyi di rumah. Jadi, sementara dia sibuk menghibur, semua kerja keras diserahkan kepada ibu saya,” papar Aiji.

Selain mengurus rumah, Fumiko juga ditugaskan untuk menguji berbagai versi penanak nasi yang dibawa pulang Yoshitada.

“Kami anak-anak tidak bisa hanya berdiri menontonnya melakukannya, jadi kami mulai membantunya.”

Selagi anak-anaknya memeriksa termometer, Fumiko akan mencatat suhu di buku sekolah anak-anaknya sepanjang waktu.

“Ketika kami melihat buku catatan, kami menemukan hasil pengukuran yang dicatat pada pukul 2 atau 3 pagi. Itu menunjukkan bahwa ibu saya mengujinya sendiri, bahkan setelah menidurkan anak-anaknya. Meskipun ia lelah karena melayani tamu-tamunya dan begadang untuk menguji penanak nasi, ia tetap bertahan. Di musim dingin, saat cuaca sangat dingin, kami memasak nasi di atap saat turun salju,” papar Aiji.

“Kami juga memasak nasi di kotatsu, meja kayu rendah yang ditutupi selimut tebal untuk menghangatkan kaki. Kotatsu sangat populer di musim dingin Jepang,” sambungnya.

Saat kakak dan adiknya dengan cermat mencatat suhu pada termometer setiap hari, Aiji kerap asyik bermain.

“Saya ingat saya bermain di kotatsu dengan seekor kucing dan membalikkan nasi lalu dimarahi.”

Bagian dari tugas anak-anak adalah memakan nasi hasil masakan berbagai versi penanak nasi.

“Sejujurnya, rasanya sangat buruk. Bagaimana ya? Nasinya gosong atau kurang matang. Dan nasinya banyak sekali,” kata Aiji.

Pada saat percobaan demi percobaan berlangsung, kesehatan Fumiko mulai memburuk.

Namun, ia tetap berjuang. Aiji merasa tahu alasannya.

“Ayah saya mengalami berbagai kesulitan dan melakukan hal-hal seperti mengundang orang tuanya untuk tinggal bersama keluarga. Saya pikir ibu saya bekerja sangat keras agar ia dapat membalas budi orang tuanya. Saya merasakan hal yang sama,” ujar Aiji.

Fumiko terus menyempurnakan penanak nasi siang dan malam hingga

“Ayah saya membawa pulang mesin penanak nasi pada tengah malam dan memaksa semua orang untuk bangun dan berkata, ‘kita akan makan ini bersama-sama’. Kemudian, kami memasak nasi dengan penanak nasi dan makan sambil berkata, ‘ah, ini lezat sekali’.”

Berapa banyak penanak nasi yang berhasil dijual pada awalnya?

“Saya tidak tahu angka pastinya, tetapi saat mulai terjual puluhan ribu per bulan. Mesin itu membebaskan para perempuan dari pekerjaan yang mengikat mereka selama dua hingga tiga jam sehari.”

“Reputasinya menyebar dan para ibu rumah tangga mengirimkan banyak surat ucapan terima kasih. Beberapa di antaranya diberikan kepada ibu saya dan saat itu dia sedang sakit di tempat tidur dan dia mulai menangis ketika membacanya.”

“Saya pikir dia merasa telah mencapai sesuatu yang hebat dalam hidupnya.”

Kisah ini bisa Anda dengarkan melalui siniar bertajuk .

Bantuan istri

Perjuangan sang ibu