Kita telah lama hidup bersama kemiskinan. Berpuluh tahun, berbagai cara ditempuh untuk mengurainya. Anggaran dialirkan, program dirancang, intervensi dilakukan. Negara hadir. Pemerintah bekerja.
Namun, ada kenyataan yang tak bisa dihindari. Penurunan angka kemiskinan berjalan lambat, seolah enggan beranjak jauh, meski ikhtiar terus diperkuat. Bukan karena pemerintah berhenti berupaya. Bukan karena masyarakat diam. Tapi karena kemiskinan memang lebih dalam daripada sekadar soal kekurangan pendapatan.
Di banyak pelosok negeri ini, kemiskinan hadir sebagai warisan yang tak kasatmata: keterbatasan kesempatan, ketidakpercayaan diri, keyakinan yang rapuh bahwa hidup bisa diubah. Anak-anak tumbuh tanpa ruang untuk bertanya tentang masa depan mereka. Bukan karena mereka malas bermimpi, tapi karena mimpi terlalu jauh untuk dijangkau.
Kita belajar dari sejarah, bahwa kemajuan tak pernah datang kepada mereka yang menunggu dengan tangan terlipat. Ia datang kepada mereka yang menetapkan tujuan dengan jernih, lalu mengejarnya dengan kerja keras dan kesungguhan hati. Seperti ladang yang memerlukan benih dan kesabaran, masa depan adalah sesuatu yang disiapkan, ditanam, dan dirawat.
Kepercayaan diri yang hilang
Kita telah menyaksikan bagaimana anggaran untuk penanggulangan kemiskinan terus mengalir dalam sepuluh, bahkan dua puluh tahun terakhir. Program-program dirancang, bantuan sosial disalurkan, berbagai intervensi dilakukan dengan kesungguhan niat. Tetapi kenyataan di lapangan mengajarkan kita sesuatu: kemiskinan tidak selalu tunduk hanya pada kalkulasi ekonomi. Ia lebih rumit, lebih manusiawi, lebih rapuh.
Kemiskinan adalah soal kepercayaan diri yang hilang. Tentang anak-anak yang tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia ini bukan untuk mereka. Tentang keluarga-keluarga yang terlalu sering gagal, hingga akhirnya berhenti mencoba.
Di sinilah upaya memutus rantai kemiskinan memerlukan lebih dari sekadar distribusi bantuan. Ia memerlukan sesuatu yang lebih dalam: membangun kesadaran, menumbuhkan keberanian, menyalakan kembali rasa percaya pada diri sendiri. Sekolah Rakyat menjadi penting karena ia bekerja di wilayah itu –wilayah di mana bantuan material berakhir dan perjuangan mental-spiritual dimulai.
Pendidikan, kata banyak orang bijak, bukan sekadar cara untuk membuat orang pandai. Pendidikan adalah cara agar manusia bisa menjadi dirinya sendiri secara utuh. Bisa berdaya, bisa memilih, bisa mengambil bagian dalam kehidupan sosial dengan kepala tegak. Di sinilah Sekolah Rakyat menemukan bentuknya. Ia bukan sekadar proyek pendirian sekolah di wilayah miskin. Ia adalah cara negara merawat martabat manusia, khususnya mereka yang selama ini hidup di tepi.
Anak-anak yang belajar di Sekolah Rakyat bukan sekadar diajari membaca, menulis, atau berhitung. Mereka diajak berdialog dengan dirinya sendiri: siapa saya, untuk apa saya hidup, apa yang bisa saya lakukan untuk hari esok.
Kita menyiapkan mereka bukan hanya untuk lulus ujian, tetapi untuk berani bermimpi, dan lebih dari itu, berani berusaha mewujudkan mimpinya. Pendidikan semacam ini bukan hanya soal metode belajar, tetapi tentang membangun keyakinan pada diri sendiri –sebagaimana dalam sejarah kita diajarkan, “manusia menjadi besar bukan karena kekayaan yang diwarisinya, tetapi karena tujuan yang diperjuangkannya.”
Ikhtiar strategis
Kita telah menetapkan sebuah mimpi besar: Indonesia Emas 2045. Sebuah cita-cita tentang negeri yang matang di usianya yang seabad, negeri yang maju secara ekonomi, adil secara sosial, dan bermartabat dalam pergaulan dunia. Sebuah visi yang hendak memastikan bahwa kelak, pada tahun itu, tak ada lagi anak bangsa yang tertinggal di belakang.
Namun, setiap mimpi, betapapun indah, memerlukan jalan untuk sampai ke sana. Dan, jalan itu tidak pernah cukup dibangun hanya dari gedung-gedung tinggi di pusat kota atau pertumbuhan ekonomi di segelintir wilayah. Indonesia Emas tidak akan kokoh berdiri di atas ketimpangan yang dibiarkan membusuk di pinggiran. Ia tidak akan utuh jika hanya menjadi milik mereka yang beruntung lahir di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat.
Data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2024, persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,03 persen, menurun dari 9,36 persen pada Maret 2023. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 mencapai 25,22 juta orang, menurun 0,68 juta orang dibandingkan Maret 2023. Meskipun terjadi penurunan, angka ini masih mencerminkan jutaan anak-anak yang hidup dalam kemiskinan. Mereka yang lahir di keluarga tanpa tanah, tanpa pekerjaan tetap, tanpa akses pendidikan yang memadai.
Kita sering lupa bahwa kemiskinan bukan sekadar soal kekurangan penghasilan, tetapi juga soal keterbatasan akses, soal ketimpangan kesempatan, soal anak-anak yang tidak pernah diajak percaya bahwa dunia ini juga milik mereka. Indonesia Emas baru akan menjadi nyata jika mimpi itu menjangkau sampai ke anak-anak yang hari ini tinggal di pulau-pulau kecil, di desa-desa pegunungan, di kampung-kampung nelayan, di sudut-sudut kumuh perkotaan. Mereka yang namanya barangkali tak tercatat di buku prestasi, tetapi memikul beban sejarah paling berat: menjadi generasi yang nyaris tak pernah mendapat kesempatan untuk belajar.
Karena itulah, Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan tambahan. Ia adalah ikhtiar strategis untuk membangun fondasi mimpi bangsa ini dari lapisan yang paling rentan. Tempat di mana intervensi pendidikan bertemu dengan perlindungan sosial, di mana kebijakan tak hanya bicara soal anggaran, tetapi juga tentang hati dan tanggung jawab sosial.
Menolak putus asa
Mudah sekali bagi kita untuk menjadi pesimis. Berkali-kali kita mendengar, kemiskinan sulit dikurangi. Anggaran besar, tapi dampaknya tak selalu terasa. Tapi sesungguhnya, pesimisme adalah bentuk lain dari menyerah. Dan, negara yang menyerah kepada pesimisme adalah negara yang kehilangan masa depannya.
Sekolah Rakyat adalah cara pemerintah menolak putus asa. Ia menjadi pernyataan terbuka bahwa pemerintah tidak kehilangan harapan. Bahwa program penanggulangan kemiskinan bukan hanya urusan distribusi bantuan, melainkan juga soal menyuburkan benih cita-cita.
Kita belajar dari sejarah bahwa negara yang besar bukan hanya karena ekonominya, tapi karena ia menjaga dan merawat mimpi anak-anaknya. Dan, kita memilih untuk tetap percaya bahwa setiap anak, dari mana pun ia datang, berhak atas masa depan yang lebih baik.
Bagi bangsa yang percaya pada cita-citanya, kerja membangun manusia adalah kerja mulia. Kerja yang bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tapi kerja yang dijalankan dengan kesadaran bahwa di setiap anak yang belajar, di sana tumbuh benih masa depan republik ini.
Di ladang kemiskinan, harapan mungkin tampak kecil dan rapuh. Tapi benih yang ditanam dengan kesungguhan dan cinta, suatu saat akan tumbuh menjadi pohon yang kuat –yang meneduhkan, yang menghidupi, dan yang memberi buah bagi banyak orang.
Sekolah Rakyat adalah upaya kecil itu. Tapi dari upaya kecil seperti inilah masa depan sering kali lahir.
Salahuddin Yahya Kepala Biro Umum Kementerian Sosial, Satgas Sekolah Rakyat
Simak juga Video: Mekanisme Rekrutmen Murid Sekolah Rakyat