Menata Ulang Perekonomian Pertahanan Indonesia untuk Era Perang Digital

Posted on

Konflik global, yang ditandai dengan perang dagang AS-Tiongkok, invasi mendadak Rusia ke Ukraina, dan potensi eskalasi di sejumlah titik panas lainnya, telah memicu jenis Perang Dunia baru. Perang ini tidak lagi dideklarasikan, karena perang ini dilaksanakan melalui serangan siber diam-diam, spionase ekonomi besar-besaran, dan sabotase digital yang dapat melumpuhkan suatu negara tanpa satu tembakan pun dilepaskan.

Bagi Indonesia, ancaman ini bersifat non-linier; tidak datang secara bertahap tetapi dapat muncul tiba-tiba, yang mampu melumpuhkan urat nadi ekonomi kita.

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi defisit struktural yang membahayakan. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), entitas pertahanan siber pusat kita, beroperasi dengan anggaran sekitar $127 juta (per 2022).

Angka ini harus ditempatkan dalam perspektif yang tepat dan gamblang. Angka ini dibandingkan dengan komunitas intelijen Amerika Serikat (AS), yang memiliki anggaran gabungan melebihi $106 miliar untuk tahun anggaran 2024.

Sedangkan anggaran keamanan siber pemerintah Tiongkok yang diproyeksikan sebesar $10 miliar untuk tahun 2025. Ini bukan sekadar kesenjangan; ini adalah kerentanan asimetris.

Artinya, investasi berbiaya relatif rendah oleh musuh negara atau non-negara dapat menimbulkan kerusakan ekonomi yang jauh lebih besar pada Indonesia. Dalam kalkulasi risiko apa pun, ini adalah skenario mimpi buruk bagi stabilitas fiskal dan ekonomi nasional kita.

Mengira kita dapat menutup jurang ini hanya dengan menambah anggaran negara secara bertahap adalah salah perhitungan strategis yang fatal.

Untuk memetakan jalan ke depan, penting untuk mempelajari doktrin para aktor global utama. Bukan sebagai pola yang dapat ditiru, tetapi sebagai studi kasus dalam penciptaan nilai strategis.

Adapun tuga model yang bisa dipelajari adalah Model Portofolio Terdiversifikasi (negara Amerika Serikat), Model Monolitik Kapitalis (Negara Tiongkok), dan Model Inkubator Modal Ventura (Israel).

Dengan menyadari realitas fiskal kita dan belajar dari doktrin-doktrin global ini, Indonesia tidak punya pilihan selain menempuh jalan yang radikal dan cerdas.

Saya mengusulkan pembentukan aset teknologi berdaulat atau sovereign technological asset (STA), sebuah ekosistem industri pertahanan dan penyerangan siber nasional yang dibangun melalui konsolidasi nasional yang dipimpin.

Ini adalah paradigma di mana negara, di bawah komando strategis langsung Presiden, bertindak sebagai kepala arsitek dan investor tahap awal. Sektor swasta dengan semua inovasi dan ketangkasannya bertindak sebagai pengembang dan operator utama.

Di sini, kita harus memiliki keberanian untuk belajar dari efisiensi komando “model Tiongkok” tanpa perlu mengadopsi ideologi politiknya. Untuk proyek dengan signifikansi nasional ini, diperlukan visi dan komando tunggal untuk mencegahnya terfragmentasi oleh kepentingan sektoral .

STA ini mesti didukung oleh tiga pilar investasi yang bukan saja menciptakan perisai tetapi juga menempa mesin ekonomi baru.
Open-Source Intelligence (OSINT) sebagai Platform Business Intelligence Nasional Kita harus membangun platform OSINT yang bersifat proprietary yang berfungsi tidak hanya untuk security intelligence tetapi juga sebagai alat untuk analisis ekonomi, pelacakan sentimen pasar, dan penilaian risiko geopolitik.

Ini merupakan investasi dalam kemampuan analisis data skala makro. Dengan pasar OSINT global yang diproyeksikan bernilai hingga $14,85 miliar pada tahun 2024 dan berpotensi melampaui $49 miliar pada tahun 2029, ini merupakan ceruk pasar yang harus kita masuki dan kuasai.

Kemampuan zero-click sebagai instrumen penangkalan dan aset strategis bernilai tinggi ini adalah pilar yang paling sensitif namun paling strategis. Kemampuan serangan zero-click, seperti yang ditemukan dalam spyware Pegasus, mewakili puncak kekuatan serangan siber Menguasai ini bukan untuk agresi, tetapi sebagai instrumen penangkalan asimetris.

Lebih dari itu, ini adalah bisnis perangkat lunak dengan margin tinggi. Dokumen sumber mengutip laporan biaya pengaturan awal Pegasus sebesar $500.000, dengan lisensi untuk 10 target seharga $650.000, ditambah biaya pemeliharaan tahunan sebesar 17-22% dari total nilai kontrak. Pemerintah Meksiko dilaporkan menghabiskan hingga $61 juta untuk teknologi ini.

Mengembangkan kemampuan ini berarti menciptakan ekspor strategis yang dapat menghasilkan pendapatan nonpajak yang signifikan bagi negara. Security analyzer sebagai pondasi manajemen risiko digital nasional. Pilar ini merupakan landasan kepercayaan dan ketahanan.

Kita harus mengembangkan perangkat lunak analisis kerentanan kita sendiri untuk melakukan audit keamanan berkelanjutan terhadap seluruh infrastruktur digital nasional kita, baik publik maupun privat. Ini merupakan investasi dalam manajemen risiko. Pasar global untuk manajemen kerentanan ini diperkirakan bernilai hingga $17,5 miliar pada tahun 2024, yang menunjukkan betapa mendasarnya teknologi ini .

Dari Pengeluaran Pertahanan ke Investasi Berdampak Berganda, analisis ini mengarah pada satu kesimpulan yang tak terelakkan. Paradigma kita harus berubah total.

Keamanan siber bukan lagi sekadar pos pengeluaran dalam anggaran negara. Keamanan siber harus diposisikan ulang sebagai “investasi” strategis dalam fondasi ekonomi masa depan kita.

Investasi pada sovereign technological asset akan menghasilkan efek berganda yang dahsyat. Menciptakan lapangan kerja yang membutuhkan keterampilan tinggi, mendorong ekosistem inovasi dalam negeri, menghasilkan pendapatan ekspor yang signifikan, dan yang terpenting, mengamankan seluruh aset ekonomi digital Indonesia yang bernilai triliunan rupiah.

Inilah jalan untuk mengubah kerentanan menjadi kekuatan, dan ancaman menjadi peluang ekonomi. Inilah satu-satunya arsitektur pertahanan yang relevan dan berkelanjutan untuk mengamankan posisi Indonesia sebagai negara yang benar-benar berdaulat di era digital.

Ahmad Faizun, Pakar Keamanan Siber & Kepala IT 03.20 Team

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *