Menghitung Potensi Paus Pertama Asal Afrika

Posted on

Umat Katolik di seluruh dunia tengah berkumpul untuk berduka atas wafatnya Paus Fransiskus. Wafat di usia 88 tahun pada Senin Paskah (21/04), Paus Fransiskus dikenal sebagai “the people’s pope” atau “Paus untuk semua kalangan,” selama 12 tahun masa kepausannya.

Banyak umat Katolik di Afrika mengaku punya kedekatan dengan Paus Fransiskus yang berasal dari Argentina. Dia dikenal sebagai sosok yang memilih hidup sederhana ketimbang menonjolkan pengaruh global gereja secara dramatis.

Di Nigeria, salah satu negara mayoritas Katolik terbesar di benua Afika, suasana duka menyelimuti gereja dan katedral, setelah perayaan Paskah yang penuh sukacita pada akhir pekan lalu.

“Dia adalah Paus yang saya cintai, sangat rendah hati,” kata Miranda Mosheshe di Lagos. “Dia melakukan banyak hal untuk keimanan Katolik di seluruh dunia.”

Mosheshe merupakan salah satu dari banyak umat Katolik yang bercerita kepada DW bahwa ada taruhan besar untuk penerus Paus Fransiskus . “Saya berharap dengan rahmat Tuhan, kami akan memiliki paus lain yang akan meniru sifat-sifatnya, semua hal tentang Paus Fransiskus.”

Tidak ada wilayah lain di dunia dengan tingkat pertumbuhan Gereja Katolik yang pesat selain di Afrika. Menurut data yang dirilis Vatikan, wilayah Afrika menyumbang 20% penganut Katolik global. Sehingga seruan untuk memilih Paus asal Afrika semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir.

Konklaf atau pemilihan paus rencananya akan digelar pada awal Mei. Setidaknya ada 135 kardinal senior yang bertugas memilih paus berikutnya. Beberapa nama kardinal dari Afrika masuk dalam daftar kandidat.

Pada milenium pertama Masehi, setidaknya tercatat ada tiga paus yang berasal dari Afrika Utara. Apakah kini saatnya untuk Paus asal Afrika pertama di era modern?

Selama prosesi Konklaf, setiap kardinal boleh mencalonkan dirinya sendiri atau kardinal lain untuk mengisi kursi tertinggi Gereja Katolik itu. Layaknya pemilu lain, pengalaman sering dianggap sebagai faktor kunci yang menentukan pemenang.

Dari 18 kardinal asal Afrika yang akan ‘mengurung diri’ bersama peserta lainnya dalam prosesi Konklaf, dua nama dari benua Afrika disebut-sebut sebagai kandidat utama.

Salah satu nama dalam daftar pendek calon Paus adalah Kardinal Ghana, Peter Turkson. Uskup Agung Cape Coast yang berpengalaman ini pindah ke Roma pada 2009 dan menjadi Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Pontifical Council for Justice and Peace).

“Ada kemiripan antara kepribadian mendiang Paus Fransiskus dan Kardinal Turkson,” kata Suster Jacinta Tuoniba dari Tamale, kawasan utara Ghana. “Sifat rendah hati, kesederhanaan, welas asih, cinta pada kaum miskin dan orang yang membutuhkan bantuan, serta kepedulian terhadap Bumi.”

Hal itu turut diamini oleh Pastor Thaddeus Kuusah, imam di Keuskupan Agung Tamale.

“Dia jelas memiliki semua sifat yang dibutuhkan untuk memimpin gereja,” kata Kuusah kepada DW.

“Dia adalah seseorang yang telah menjalani hidupnya dan bekerja untuk perdamaian,” tambahnya, mengacu pada upaya mediasi yang dilakukan Kardinal Turkson bersama Dewan Perdamaian Nasional Ghana, khususnya dalam konflik pemilu tahun 2008.

“Tuhan pernah berkata: ‘terpujilah orang yang menciptakan kedamaian.’ Kami berdoa agar Roh-Nya turun ke atas kolegium kardinal untuk memilih seseorang yang sesuai dengan hati dan pikiran Kristus dalam memimpin gereja,” ujar Kuusah.

Di seluruh Afrika, memang dibutuhkan lebih banyak orang untuk membawa kedamaian. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh umat Katolik.

Di Republik Demokratik Kongo (Democratic Republic Congo/DRC), konflik telah terjadi selama beberapa dekade. Ketegangan kembali memuncak dalam beberapa bulan terakhir dengan meningkatnya kekerasan berdarah antara pemerintah dan kelompok pemberontak M23 di wilayah utara Kongo.

Dengan sekitar 50 juta penganut Katolik, separuh populasi Kongo, Gereja Katolik di Kongo merupakan salah satu komunitas terbesar di Afrika Sub-Sahara.

Kongo juga menjadi rumah bagi salah satu tokoh Katolik paling terkemuka di Afrika, yakni Kardinal Fridolin Ambongo Besungu, yang memimpin Waligereja Afrika dan Madagaskar (Symposium of Episcopal Conferences in Africa and Madagascar/SECAM).

Kardinal Ambongo Besungu telah lama menjadi orang kepercayaan Paus Fransiskus sebagai anggota Dewan Penasihat Kardinal, kelompok kecil yang membantu mendiang Fransiskus dalam reformasi dan tata kelola gereja.

Hanya saja, ada perbedaan cukup mencolok antara Paus Fransiskus dan Kardinal Ambongo Besungu. Meski dikenal memiliki sejumlah pandangan progresif, seperti memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan, Kardinal Ambongo Besungu termasuk salah satu tokoh yang mengkritik dekret kepausan yang dikeluarkan mendiang Fransiskus pada 2023 soal perizinan pemberkatan pasangan sesama jenis.

Saat mewakili konferensi Waligereja Afrika, Kardinal Ambongo Besungu menolak dekret tersebut, menarik dukungan luas di seluruh Afrika. Sementara, respons Roma atas penolakan ini justru tidak banyak terdengar.

Donatien Nshole, Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Republik Demokratik Kongo (CENCO), menekankan bahwa hubungan almarhum Paus Fransiskus dengan Kongo selalu hangat dan bersahabat. Hal itu dibuktikan lewat dukungan tegas Fransiskus untuk perdamaian di Kongo.

Nshole menyimpan kenangan jelas tentang kunjungan Paus Fransiskus ke Kinshasa pada 2023, ketika mendiang Fransiskus menerima delegasi dari provinsi North Kivu yang rawan konflik, sebagai bagian upaya membangun pengertian antarkelompok berseteru di Kongo.

Di lapangan, dukungan terhadap Ambongo Besungu sebagai calon Paus sangat besar. Hugues Tamfumu di Kinshasa bercerita kepada DW bahwa terpilihnya Kardinal Ambongo akan menjadi “kemenangan bagi orang Afrika untuk menunjukkan bahwa Afrika mampu memimpin (gereja).”

“Semua umat Kristiani akan bertepuk tangan jika dia terpilih,” kata Tamfumu.

Untuk sebagian orang Afrika, alasan mereka menyukai kardinal seperti Ambongo Besungu justru karena dia menjaga jarak dari kepemimpinan yang dianggap terlalu berorientasi Eropa.

Tamfumu, misalnya, menyatakan bahwa penolakan tegas Kardinal Ambongo Besungu terhadap pemberkatan pasangan sesama jenis mencerminkan harapan umat Afrika terhadap gereja mereka.

“Dia berkata, ‘Tidak, kami orang Afrika tidak akan menerima itu.’ Dia sangat tegas.”

Namun, sikap teguh terhadap homoseksualitas tersebut bisa menjadi kelemahan dalam Konklaf mendatang, terutama untuk mengisi jabatan yang begitu besar. Di luar Afrika, langkah rekonsiliasi gereja di bawah Paus Fransiskus justru disambut baik, bahkan beberapa pemimpin gereja senior menyiratkan bahwa almarhum Paus Fransiskus sebenarnya bisa melakukan lebih banyak hal.

Ketika Tim DW bertanya soal peluang terpilihnya Paus Afrika, Nshole menegaskan bahwa “ada kesempatan untuk semua” dalam Gereja Katolik, dan pemilihan Paus bukanlah kompetisi “dalam hal kuota, rotasi, atau ras.”

Nshole percaya hal terpenting adalah memilih “Paus yang menjadi gembala sejati, terlepas dari asal-usulnya.”

Namun dibalik layar, para ahli tetap skeptis soal peluang Kardinal Turkson dan Ambongo untuk terpilih. Pertama dari segi usia.

Di usia 76 tahun, Kardinal Turkson mungkin dinilai terlalu tua untuk sebagian orang. Kontras dengan Kardinal Ambongo, usia 65 tahun juga dianggap terlalu muda oleh beberapa pihak, alasannya dia mungkin akan bisa menjabat selama puluhan tahun.

Kemudian, persoalan kegagalan gereja selama ini dalam menangani kasus pelecehan seksual yang tak sedikit jumlahnya.

Meskipun ada kemajuan di era mendiang Fransiskus di wilayah Eropa dan Amerika Utara, tapi isu ini masih tabu di Afrika.

Dalam Konklaf nantinya, kemungkinan para kardinal akan ragu untuk memilih kandidat yang dianggap “lemah atau abu-abu” dalam isu ini, meskipun mereka tidak mencari sosok Paus Fransiskus versi II.

Oleh karena itu, keputusan siapa paus berikutnya adalah hal yang sulit, hal ini kerap terjadi.

Uskup Agung Lagos, Alfred Adewale Martins, memperingatkan umatnya untuk tidak membebani Konklaf dengan harapan tertentu.

Kepada DW, Martins mengatakan bahwa setelah kepausan mendiang Fransiskus, muncul pertanyaan rumit tentang siapa yang layak menjadi penggantinya.

“Fakta bahwa dia sendiri memilih kardinal dari daerah-daerah yang jauh merupakan indikasi bahwa siapa pun, dari mana pun, bisa naik ke Takhta Suci Vatikan,” jelas Martins.

“Keragaman di Afrika sungguh luar biasa,” tambahnya. “Tidak ada yang bisa mengabaikan hal itu.”

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.

Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

Editor: Hendra Pasuhuk

Simak Video: Mengenal Profil Para Kandidat Pengganti Paus Fransiskus

Habemus Papam Afrika?

Kardinal Peter Turkson: Diplomat damai, si karismatik asal Ghana

Kardinal Fridolin Ambongo Besungu: Pemimpin gereja yang dinamis dari Kongo

Paus asal Afrika untuk kebutuhan Afrika?

Terlalu tua atau terlalu muda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *