Presiden Prabowo telah menyampaikan keterangan resmi terkait demonstrasi berlanjut dan memanasnya situasi bangsa pada Minggu (31/8/2025). Ada hal yang dapat diapresiasi–walaupun dengan catatan–dari pernyataan tersebut. Banyak pula hal yang perlu dikritisi dan hendaknya diperbaiki oleh Presiden maupun jajarannya.
Hal yang dapat diapresiasi adalah penyampaian informasi kepala negara dengan pimpinan anggota DPR dan para Ketua Partai Politik mengenai langkah tegas yang diambil kepada beberapa anggota DPR yang telah melakukan pernyataan blunder, pembatalan kebijakan tunjangan anggota dewan, dan moratorium kunjungan kerja dewan ke luar negeri.
Namun pernyataan di atas tetap perlu diberikan catatan karena bersifat “abstrak” dan berisi kekaburan. Misalnya, apa persisnya makna langkah tegas? Pada aneka berita diinformasikan bahwa hal ini merujuk pada frase ‘non aktif’?
Namun hal ini membingungkan, apakah mereka non aktif secara temporer ataukah permanen? Demikian pula untuk moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, berapa lama maksudnya?
Pernyataan diatas juga dapat dianggap “koreksi” dan bukan “tindakan korektif”. Koreksi maksudnya hanya sekedar membetulkan kejadian yang keliru. Adapun tindakan korektif maksudnya adalah mencari penyebab kekeliruan dan mencegah – by system – agar kekeliruan serupa tidak terulang lagi.
Tidak tampak disinggung upaya untuk mengatasi akar masalah. Padahal masyarakat ingin tahu langkah kepala negara dalam memimpin desain sistem guna mencegah elit politik tidak menganggap dirinya berhak ingkar dari rakyat setelah berhasil menduduki jabatan.
Selain hal di atas, yang lebih patut disayangkan adalah pernyataan Presiden justru berpotensi memberikan blunder yang lebih luas. Presiden menuding ada aksi yang “mengarah pada makar dan terorisme”, dan perintah Presiden untuk mengambil langkah yang “setegas-tegasnya terhadap segala macam bentuk perusakan (…)”
Poin pertama terkesan tudingan nan asumtif. Pernyataan ini seakan menjauhkan arahan presiden dari akar masalah, dan justru menuding balik masyarakat-lah yang jahat dan penyebab kekacuan ini.
Benar bahwa di lapangan dilaporkan telah terjadi aksi penjarahan dan pelanggaran hukum. Namun masih perlu ditelusuri apakah ini masa aksi yang organik dari masyarakat ataukah permainan aktor negara itu sendiri.
Apapun itu, Presiden dan jajarannya jangan lupa bahwa hulu dari situasi ini adalah kejengkelan rakyat atas buruknya sikap elit, juga kemuakan rakyat atas kekerasan berulang yang dilakukan oleh aparat (Tragedi Kanjuruhan, Kasus Sambo, Kasus Kekerasan di Proyek Strategis Nasional (PSN), dan lain sebagainya).
***
Bijak pula kiranya untuk melihat demonstrasi pada hari hari ini dengan rentang waktu yang lebih luas hingga masa pemerintahan Jokowi. Pemerintahan sebelumnya mewarisi tumpukan hutang dan membuat ruang gerak pemerintahan Prabowo menjadi terbatas. Sayangnya, patut dikhawatirkan Prabowo justru mengulang blunder yang pernah terjadi di era Jokowi.
Sebagaimana diketahui, Pemerintahan Jokowi terlampau gandrung pada proyek infrastruktur via PSN. Padahal, pembangunan tersebut gagal menjadi titik ungkit untuk perbaikan ekonomi. Sebaliknya, riset IDEAS (2024) menunjukkan bahwa daerah yang terdampak PSN justru mengalami perlambatan pengentasan kemiskinan. Pelaku usaha juga menilai bahwa infrastruktur tidak benar benar bermanfaat.
PSN memaksakan pembangunan tersier dengan mengorbankan kebutuhan primer. Kasus Mandalika, Kasus PIK 2, Kasus Wadas, Kasus Rempang, misalnya. Jika ada masyarakat terdampak yang tidak sepakat, maka pendekatannya adalah tekanan aparat. Diyakini, aparat melakukan hal tersebut karena Presiden Jokowi sempat memerintahkan Kapolri untuk mencopot Kapolda yang gagal mengawal aktivitas ekonomi di wilayahnya.
Lalu bagaimana hubungan hal di atas dengan Prabowo dan responnya atas demo yang marak belakangan ini?
Patut dikhawatirkan Prabowo mengulangi kesalahan Jokowi dengan salah menempatkan prioritas anggaran. Menempatkan mayoritas anggaran ke Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berimplikasi negatif pada banyak hal. Termasuk memangkas transfer anggaran ke daerah yang berujung usulan meroketnya besaran Pajak Bumi Bangunan di aneka daerah.
Warisan hutang pemerintahan Jokowi telah membuat aneka pihak diminta efisiensi. Sayang, disaat semua pihak disuruh efisiensi, Prabowo sendiri menciptakan kabinet tambun yang inefisien.
Jangan sampai arahan Prabowo yang tidak presisi ditafsirkan oleh TNI Polri sebagai justifikasi mereka untuk melakukan kekerasan. Jangan sampai Presiden Prabowo mengulangi kesalahan Jokowi yang memicu kekerasan aparat pada PSN sebagaimana diatas.
Relevan untuk mengingat apa yang Prabowo telah tulis pada bukunya yang terbit 2023: Paradoks Indonesia dan Solusinya juga Kepemimpinan Militer 1 dan 2. Esensi utama yang Prabowo tulis adalah pemimpin dan pemerintah yang baik adalah yang menjadi sauri tauladan; yang mampu peduli dan merebut hati rakyat.
Maka jangan sampai tudingan makar-terorisme serta perintah tindakan tegas justru menjauhkan Presiden Prabowo dan pemerintahannya dari solusi yang diharapkan. Perlu dihindarkan juga jangan sampai sikap aparat liar lalu menciptakan lingkaran kekerasan baru. Jangan sampai pemaknaan yang keliru menciptakan Paradoks lain: beda antara apa yang ditulis di buku dengan implementasi.
Richo Andi Wibowo. Dosen Hukum Administrasi Negara UGM sekaligus Member of Constitutional & Administrative Law Society (CALS).
Tonton juga video “Viral 17+8 Tuntutan Rakyat, Pemerintah Akhirnya Buka Suara” di sini: