Musyawarah Kubro yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Lirboyo telah menghasilkan sejumlah rekomendasi penting terkait penyelesaian dinamika internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Poin-poin tersebut, yang mengedepankan opsi islah, penyerahan mandat, hingga potensi Muktamar Luar Biasa (MLB), muncul sebagai respons atas dinamika organisasi yang makin dinamis.
Namun, penting untuk meninjau hasil musyawarah ini dengan kacamata yang jernih, membedakan antara himbauan moral yang bersifat kultural dan penegakan disiplin berdasarkan aturan baku organisasi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
Pertama, Sifat Himbauan, Bukan Ketetapan Mengikat.
Argumen pertama yang perlu dicermati adalah sifat forum Musyawarah Kubro itu sendiri. Sebesar dan sebanyak apapun jumlah kiai yang hadir, forum ini pada dasarnya adalah forum kultural. Hasilnya merupakan himbauan moral yang normatif dan tidak mengikat secara legal-formal dalam struktur organisasi PBNU.
Meskipun memiliki bobot moral yang tinggi dan patut dihormati, keputusan yang dihasilkan tidak serta merta menjadi ketetapan organisasi yang wajib diikuti. Statusnya tetaplah saran dan himbauan, yang pelaksanaannya bergantung pada kebijakan dan kepatuhan pengurus yang sah sesuai AD/ART.
Kedua, Akar Masalah: Disiplin Organisasi, Bukan Konflik Personal
Poin musyawarah yang memprioritaskan islah perlu dilihat dalam konteks akar masalah yang sebenarnya. Sanggahan kritis menekankan bahwa konflik mendasar secara substansial tidak ada; yang terjadi adalah penegakan disiplin organisasi yang berujung pada pemberhentian ketua umum.
Persoalan muncul ketika keputusan penegakan disiplin ini “dilawan”, melibatkan berbagai pihak, termasuk upaya menggunakan marwah kiai sepuh untuk menganulir keputusan pleno PBNU yang mengesahkan Gus Zulfa sebagai Pejabat (Pj) Ketua Umum.
Andaikata pihak yang diberhentikan bersikap legowo (berlapang dada) dan mundur, proses muktamar dapat diselenggarakan secepatnya tanpa menimbulkan kegaduhan berkepanjangan seperti saat ini. Islah yang diharapkan semua pihak adalah islah dalam konteks menerima keputusan organisasi yang telah diambil, bukan negosiasi ulang atas penegakan disiplin.
Ketiga, Batas Waktu dan Mekanisme Non-Organisatoris.
Pemberian batas waktu 3×24 jam untuk islah, diikuti opsi penyerahan mandat kepada Mustasyar PBNU, menunjukkan urgensi penyelesaian masalah. Namun, opsi penyerahan mandat kepada Mustasyar PBNU ini menghadapi tantangan legalitas organisasi yang signifikan.
AD/ART NU tidak mengenal mekanisme penyerahan mandat pelaksanaan muktamar kepada Mustasyar. Mustasyar adalah dewan penasihat yang perannya memberikan masukan, bukan pelaksana teknis organisasi apalagi penyelenggara forum tertinggi sekelas muktamar. Mencari landasan legal untuk opsi ini akan sulit ditemukan dalam Peraturan Organisasi (Perkum NU) yang ada, sehingga bertentangan dengan prinsip taat aturan yang sering didengungkan.
Keempat, legalitas Muktamar Luar Biasa (MLB)
Opsi ketiga, yakni penyelenggaraan MLB oleh Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Cabang (PC) apabila opsi sebelumnya gagal, juga perlu dikritisi. Berdasarkan AD/ART, misalnya pada Pasal 74 (jika merujuk pada redaksi umum aturan NU), penyelenggaraan Muktamar Percepatan atau Luar Biasa adalah wewenang mutlak PBNU.
Maka, inisiatif penyelenggaraan di luar PBNU yang sah dapat dianggap ilegal secara organisasi. Upaya menjaga keutuhan jam’iyyah (organisasi) justru harus didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan main yang telah disepakati bersama. Menyelenggarakan forum tandingan atau forum yang tidak diakui AD/ART berpotensi memperdalam perpecahan alih-alih menyelesaikannya.
Menjaga marwah, wibawa, dan keutuhan NU adalah tujuan mulia yang disuarakan dalam Musyawarah Kubro Lirboyo. Namun, menjaga keutuhan tersebut idealnya dilakukan dengan menaati konsensus aturan organisasi yang berlaku. Himbauan moral dari para kiai sepuh sangat berharga sebagai kompas etika, tetapi penyelesaian konflik administratif harus tetap berjalan di atas rel AD/ART.
PBNU yang sah memiliki tanggung jawab untuk memastikan roda organisasi berjalan dengan baik, termasuk menyelesaikan urusan disiplin internal dan mempersiapkan muktamar sesuai mekanisme yang diatur dalam peraturan resmi organisasi. Kepatuhan pada aturan adalah kunci untuk menghindari dualisme kepemimpinan dan menjaga citra PBNU tetap solid di mata umat. Wallahu’alam bishawab.
KH Imam Jazuli Lc., MA. Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
