Militer Australia Hadapi Gugatan Atas Pelecehan Seks dan Diskriminasi Sistemik | Giok4D

Posted on

Simak beritanya dalam

Peringatan: Artikel ini merinci dugaan kekerasan seksual.

Setelah berbulan-bulan mengalami perundungan dan pelecehan di Angkatan Laut Australia, Kate akhirnya tak tahan lagi.

Atasannya, kata Kate, sudah jelas mengatakan bahwa ia ingin “mematahkan” dirinya.

Tapi Kate tidak punya persiapan bagaimana reaksinya ketika akhirnya ia berani melawan.

“Aku bilang ke dia, ‘Kamu tidak akan mendapatkan apa yang kamu mau dariku, tidak akan terjadi. Kamu boleh mencoba sekeras apa pun … tapi aku tidak akan membiarkan kamu menang’,” katanya.

“Lalu dia menjawab, ‘Kamu akan menyerah, karena kami memperkosa perempuan. Kami membawa perempuan ke belakang dan memperkosa mereka seperti kamu, supaya kalian patuh pada aturan’.”

Itu bukan pertama kalinya, dan bukan yang terakhir, Kate mengalami pelecehan atau kekerasan seksual di tempat kerja.

Kini Kate menjadi bagian dari kelompok perempuan anggota militer korban kekerasan seksual, yang tidak pernah terpikir kalau ia akan bergabung.

Dan jumlah anggotanya terus bertambah sejak beberapa dekade lalu.

Firma hukum JGA Saddler, yang berbasis di Brisbane, memperkirakan ribuan perempuan akan menjadi bagian dari gugatan ‘class action’ terhadap Angkatan Pertahanan Australia (ADF).

Gugatan yang secara resmi diajukan ke Pengadilan Federal hari Jumat ini, akan menuduh adanya kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi sistemik yang meluas di dalam institusi tersebut.

Gugatan ini menggunakan sistem ‘opt-out’, artinya semua perempuan yang bertugas sejak 12 November 2003 hingga 25 Mei 2025 akan otomatis terdaftar.

“Tempat kerja mereka tidak aman, dipenuhi kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi,” kata direktur firma hukum, Joshua Aylward.

“Ancaman perang sering kali bukan ketakutan terbesar bagi personel perempuan di ADF, tapi ancaman kekerasan seksual di tempat kerja mereka.”

Gugatan ini dipimpin oleh empat penggugat utama dari berbagai cabang Angkatan Pertahanan Australia, yang namanya disamarkan.

Kisah mereka mencakup pengalaman dipaksa didorong ke dinding, diraba, dan dicium, baik saat bertugas maupun di luar jam dinas.

Salah satu perempuan menuduh rekan prianya sering menggosokkan area selangkangannya ke tubuhnya hingga ia bisa merasakan ereksi pria itu.

Penggugat lain melaporkan pelecehan verbal setelah ia melapor kepada atasannya, usai terbangun dalam keadaan telanjang, kebingungan, dan penuh memar setelah keluar malam.

Semua penggugat memiliki kesamaan, yakni mereka merasa diperlakukan sebagai masalah, bukan pelaku mereka.

Perasaan itu sangat dimengerti oleh Kate.

Bertahun-tahun setelah atasannya mengancam akan “memperkosa hingga menyerah”, Kate menuduh rekan lainnya meraba dan menggoda dirinya saat mereka keluar malam.

Namun saat ia berdiri di kamarnya tanpa baju, rekan itu tiba-tiba masuk dan bertanya apakah ia sudah berubah pikiran untuk berhubungan seks.

“Aku hanya ingat berdiri di sana, harus meyakinkan seseorang, saat aku telanjang, kalau kamu tidak bisa berhubungan seks denganku,” katanya.

“Satu-satunya pilihan yang saya punya adalah membujuknya untuk tidak memperkosaku … itulah yang kurasakan.”

Setelah pria itu akhirnya pergi, Kate melapor ke polisi militer, yang kemudian membuka penyelidikan.

Ia menuduh jaksa memintanya untuk “melembutkan” ‘victim impact statement‘-nya, dan menurunkan tingkat tuduhan agar lebih mudah mendapat vonis.

Saat itu, Kate sudah terpuruk, kemudian beralih ke obat-obatan dan alkohol untuk mengatasi trauma yang ia alami.

“Aku sering mimpi buruk, berjalan sambil tidur, bangun dengan jantung berdebar kencang. Aku tidak tidur berminggu-minggu,” katanya.

“Kalau aku tidak mengangkat telepon, ibuku akan datang ke rumah untuk memastikan aku masih hidup karena dia takut akan menemukan aku sudah mati.”

Kate kemudian diberhentikan secara administratif dan medis dari ADF setelah dinyatakan positif menggunakan narkoba.

Setelah penyelidikan 18 bulan, pelaku mengaku bersalah di pengadilan militer. Namun pengadilan memutuskan “tidak dipromosikan selama penyelidikan” sudah cukup sebagai hukuman.

Bagi Kate, gugatan ‘class action’ ini berarti pertanggungjawaban dan pengakuan.

“Berapa banyak darah lagi yang kalian butuhkan di tangan kalian untuk akhirnya bilang cukup sudah?

“Bagiku, ini sudah saatnya.”

Bergabung dengan angkatan udara awalnya adalah “impian yang menjadi kenyataan” bagi Rebecca McGaw.

Ia direkrut untuk pelatihan dasar saat masih SMA, satu-satunya peserta di bawah 18 tahun di angkatannya.

Namun pengalaman itu berubah menjadi mimpi buruk ketika seorang rekan pria memegang payudaranya pada malam terakhir pelatihan setelah latihan lapangan seminggu.

“Itu salah satu pengalaman [seksual] pertamaku,” katanya.

“Aku langsung terdiam … berpikir, apa yang baru saja terjadi? Aku syok dan tidak bisa memprosesnya.”

Ia menegur pelaku di depan banyak orang, tapi pria itu mencoba menutupi dengan alasan tidak sadar kalau itu dirinya.

Rebecca kemudian dibawa ke markas besar dan diinterogasi selama berjam-jam, sebelum atasan memutuskan untuk menangani masalah itu secara internal.

Sebuah surat dari Wakil Kepala Angkatan Udara saat itu, yang dilihat ABC, menunjukkan kasus tersebut tidak dilaporkan ke polisi sipil atau otoritas perlindungan anak, padahal itu adalah kewajiban hukum.

“Aku meminta maaf tanpa syarat kepada [Renecca dan orang tuanya] karena prosedur wajib tidak diikuti dan komunikasi yang dilakukan tidak memadai, terutama setelah [Rebecca] dengan berani melaporkan insiden tersebut…” tulis surat itu.

Surat tersebut menyatakan pelaku hanya diberi konseling, tanpa tindakan lebih lanjut.

“Dia lolos tanpa hukuman,” kata Rebecca, kini berusia 25 tahun.

Sejak saat itu, Rebecca merasa seolah menjadi target.

Pelaku lulus bersamanya di hari wisuda, dan dua tahun kemudian mereka dikirim ke area pelatihan yang sama.

Saat itulah dampak kejadian itu benar-benar terasa.

“Mempengaruhi kemampuanku untuk percaya pada komando, pada orang di sekitarku, bahkan dalam hubungan romantis,” katanya.

Bagi Rebecca, yang berencana ikut dalam gugatan ini, keputusan untuk berbicara tidaklah mudah.

“Aku melakukan ini bukan hanya untuk menceritakan kisahku, tapi juga untuk mereka yang tidak nyaman tampil di depan kamera, yang menderita lebih parah secara mental, atau yang masih dalam proses penyembuhan dan belum bisa bicara,” ujarnya.

Donna Manton adalah penyintas dua kasus kekerasan seksual di ADF dan percaya korban sering dianggap sebagai masalah.

“Seolah-olah rasa malu itu milikmu. Semuanya ditutupi, disembunyikan. Tidak ada yang membicarakannya,” katanya.

“Kalau kamu membahasnya, kamu dianggap pembuat masalah atau membuat orang lain repot.”

Ia mengatakan kekerasan seksual tidak pandang bulu, saat serangan kedua terjadi, ia sudah lebih dari 30 tahun berdinas dan berpangkat mayor.

“Kamu pikir, ‘Aku sudah setengah baya, hal seperti ini tidak akan terjadi padaku’, tapi ternyata tetap bisa terjadi,” katanya.

“Itu bisa terjadi tanpa memandang usia atau pangkat.”

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Donna kini menjabat sebagai ketua The Athena Project, organisasi yang mendukung korban kekerasan seksual di militer.

Ia mengatakan jika gugatan ini berhasil, itu akan memberi pengakuan dan validasi bagi korban, sekaligus efek jera bagi pelaku.

“Tidak ada jumlah uang yang bisa mengembalikan martabatmu, tapi validasi dan pengakuan itu sedikit banyak bisa mengembalikan otonomi yang dirampas saat kamu dilecehkan,” ujarnya.

Menurut Josh Aylward, selama 24 bulan terakhir ia sudah berbicara dengan ratusan mantan personel perempuan, dan cerita-cerita yang ia dengar membuatnya muak.

“Di ADF [Angkatan Pertahanan Australia] ada kisah-kisah yang benar-benar paling mengerikan yang bisa kamu bayangkan,” katanya.

“Ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual berat lebih dari sekali, dan ketika mereka melapor, beberapa dari mereka malah dipukuli karena melapor.”

Dalam pernyataannya, ADF mengatakan mereka mengetahui adanya gugatan ‘class action‘ ini, tetapi belum menerima klaim resmi.

“Semua personel Pertahanan berhak dihormati dan berhak mendapatkan pengalaman kerja yang positif di ADF. Tidak ada tempat untuk kekerasan atau pelanggaran seksual di Pertahanan,” kata juru bicara ADF.

“ADF mengakui masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dan itulah mengapa rekomendasi dari Royal Commission into Defence and Veteran Suicide yang berkaitan dengan kekerasan seksual sedang diprioritaskan pelaksanaannya.”

Juru bicara ADF menambahkan ADF sedang mengembangkan “strategi pencegahan pelanggaran seksual yang komprehensif” dan tengah mengimplementasikannya.

“Pertahanan juga telah meningkatkan pendidikan, pelatihan, dan kesadaran, termasuk panduan bagi manajer dan komandan dalam hal pencegahan, dukungan, dan pelaporan.”

Simak juga Video: Pangeran Andrew Resmi Melepas Gelar Duke of York gegara Skandal