Nasionalisme dalam Kemandirian Tenaga Kerja

Posted on

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa memiliki potensi sumber daya manusia yang luar biasa. Saat ini, bangsa ini tengah memasuki era bonus demografi, di mana populasi usia produktif mendominasi. Jika dikelola dengan strategi tepat, momentum ini dapat menjadi modal emas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Generasi muda Indonesia tidak hanya berperan sebagai pencari kerja, tetapi juga berpotensi besar menjadi pencipta lapangan kerja baru. Namun, tanpa arah dan kebijakan yang jelas, bonus demografi justru bisa berbalik menjadi bumerang berupa meningkatnya pengangguran massal dan beban sosial.

Dalam konteks ini, isu kehadiran tenaga kerja asing (TKA) selalu menjadi bahan perdebatan hangat. Di satu sisi, keberadaan mereka memang dibutuhkan, terutama ketika menyangkut keahlian khusus di sektor teknologi, infrastruktur, atau industri berat yang menuntut keterampilan tinggi. Kehadiran TKA di bidang-bidang tersebut dapat membantu mempercepat transfer teknologi dan memperkuat daya saing nasional.
Namun, persoalan muncul ketika dominasi TKA justru terlihat pada sektor-sektor yang sebenarnya dapat diisi oleh tenaga kerja lokal. Fenomena ini kerap terlihat di sejumlah proyek strategis, di mana pekerja Indonesia hanya ditempatkan pada level tenaga kasar. Sementara itu, posisi teknis dan manajerial yang berperan penting dalam pengambilan keputusan maupun penguasaan teknologi lebih banyak dikuasai tenaga asing.

Kondisi ini wajar menimbulkan kegelisahan publik. Pertanyaan fundamental pun muncul yaitu sejauh mana bangsa sebesar Indonesia mampu berdiri di atas kemampuan sendiri? Apakah negeri dengan sumber daya manusia melimpah ini masih harus bergantung pada keterampilan orang lain untuk membangun dirinya? Jika demikian, di manakah letak nasionalisme dalam ketenagakerjaan?

Nasionalisme sering dipahami sebatas cinta tanah air, simbol bendera, atau lagu kebangsaan bahkan seringkali dimaknai dengan membeli produk lokal. Namun, dalam konteks abad ke-21, nasionalisme tidak hanya berarti menjaga kedaulatan politik, tetapi juga kedaulatan ekonomi melalui ketenagakerjaan yang nyata hadir dalam kemandirian tenaga kerja. Kemandirian tenaga kerja erat kaitannya dengan kedaulatan ekonomi. Apabila sektor-sektor strategis terus didominasi oleh TKA, Indonesia hanya akan menjadi pasar dan pengguna, bukan produsen. Padahal, nasionalisme sejati adalah ketika pekerja lokal mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain, bahkan memimpin di bidang-bidang tertentu.

Nasionalisme dalam kemandirian tenaga kerja berarti negara, dunia usaha, dan masyarakat harus bersama-sama memastikan generasi muda memiliki keterampilan relevan, diarahkan untuk menjadi inovator, peneliti, teknisi, dan wirausahawan yang mampu menghasilkan karya yang diakui dunia. Nasionalisme produktif inilah yang akan membawa Indonesia menuju kemandirian tenaga kerja. Dengan begitu, pekerjaan berkualitas tidak lagi harus “diimpor”, melainkan lahir dari anak bangsa sendiri.

Contoh konkret bisa dilihat pada industri digital. Banyak startup Indonesia lahir dari tangan anak muda kreatif. Mereka bukan hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga membangun ekosistem yang mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing. Ini menunjukkan bahwa ketika tenaga kerja lokal diberi ruang dan dukungan, mereka mampu menjadi motor penggerak ekonomi nasional.

Di sinilah peran Pemerintah dan lembaga terkait menjadi krusial. Pertama, diperlukan peta jalan pengembangan keterampilan nasional yang terintegrasi dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan pendidikan vokasi dan perguruan tinggi benar-benar sesuai dengan standar global. Kedua, pemerintah perlu memperketat regulasi penempatan TKA, memastikan bahwa keberadaan mereka hanya sebatas alih keahlian dan transfer teknologi, bukan mendominasi struktur pekerjaan. Ketiga, insentif harus diberikan bagi perusahaan yang berkomitmen memberdayakan tenaga kerja lokal melalui program pelatihan, magang, dan sertifikasi.

Dengan langkah-langkah tersebut, bonus demografi tidak akan berubah menjadi beban, melainkan menjadi modal emas bagi kemandirian bangsa. Selain itu, jika Pemerintah mampu menjalankan strategi tersebut, maka nasionalisme tidak hanya hidup dalam semangat, tetapi juga dalam praktik nyata di dunia kerja. Kemandirian tenaga kerja akan menjadi pondasi kokoh bagi kedaulatan ekonomi bangsa. Pada akhirnya, cinta tanah air bukan hanya soal retorika, melainkan keberanian dan kemampuan bangsa Indonesia untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Pamriadi. Direktur Putera Nasional Indonesia Fondation/Alumni GMNI.