ditetapkan tersangka oleh KPK atas kasus dugaan pemerasan ke anak buahnya di lingkungan Pemprov Riau, tepatnya di Dinas PUPR PKPP. Abdul Wahid dijerat KPK dengan pasal berlapis.
Adapun pasalnya adalah Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 12 e ini terkait dengan pemerasan. Kemudian, pasal 12 f terkait dengan penerimaan uang yang diterima Abdul Wahid dari anak buahnya.
Sementara pasal 12B terkait dengan dugaan Abdul Wahid menerima uang dari orang lain. KPK menjerat Abdul Wahid dengan pasal ini karena saat ini kasus Abdul Wahid ini masih diselidiki penyidik.
“Kalau OTT (Operasi Tangkap Tangan) kan fokusnya yang saat ini dari PUPR ini. Nah, ada juga temuan-temuan lainnya. Makanya sementara kita untuk meng-cover itu semua kita juga menggunakan Pasal 12B (untuk penerimaan-penerimaan lainnya),” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Rabu (5/11).
Untuk lebih jelasnya, berikut bunyi pasal 12 huruf e dan f serta Pasal 12B dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjerat Abdul Wahid:
Pasal 12e
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Pasal 12f
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
Untuk Pasal 12 huruf e dan f ini terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
KPK diketahui telah menetapkan Abdul Wahid, Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Abdul Wahid, dan Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M. Arief Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan/atau penerimaan gratifikasi. Kasus ini berkaitan dengan pemberian fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5 persen.
Fee tersebut dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang awalnya Rp 71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar. Jadinya ada kenaikan sekitar Rp 106 miliar.
Setidaknya terjadi tiga kali setoran fee jatah pada Juni, Agustus dan November 2025. KPK menduga sudah ada Rp 4 miliar yang diserahkan dari total permintaan Rp 7 miliar.
Asep menyebut sejak awal menjabat Gubernur Riau, Abdul Wahid telah mengumpulkan anak buahnya. Salah satu yang dikumpulkan adalah dari dinas PUPR, yaitu Kepala UPT (unit pelaksanaan teknis) di PUPR yang membidangi urusan jalan dan jembatan.
“Kepala UPT yang kepala UPT 1, 2, 3 sampai 6 ini khusus UPT jalan dan jembatan, UPT yang lainnya ada tapi ini yang 1 sampai 6 ini adalah UPT jalan dan jembatan,” sebutnya.
Saat dikumpulkan, Wahid meminta para bawahannya itu tegak lurus kepada satu ‘matahari’ yaitu Gubernur itu sendiri. Wahid juga menyampaikan kepala dinas merupakan kepanjangan tangannya, sehingga apa yang disampaikan harus dituruti.
“Saat dikumpulkan itulah yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa, mataharinya adalah satu, semua harus tegak lurus pada mataharinya, artinya ada gubernur,” kata dia.
“Kepala dinas ini adalah kepanjangan tangan dari gubernur sehingga apapun yang disampaikan kepala dinas itu adalah perintahnya gubernur, disampaikan demikian dan kalau yang tidak ikut atau tidak nurut akan dievaluasi,” tambahnya.
Ancaman yang dimaksud berupa mutasi hingga pergantian jika tidak menuruti perintah Wahid selaku Gubernur. Kemudian beberapa waktu setelahnya baru ada permintaan uang dari Wahid.
Penetapan Tersangka
KPK diketahui telah menetapkan Abdul Wahid, Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Abdul Wahid, dan Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M. Arief Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan/atau penerimaan gratifikasi. Kasus ini berkaitan dengan pemberian fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5 persen.
Fee tersebut dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang awalnya Rp 71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar. Jadinya ada kenaikan sekitar Rp 106 miliar.
Setidaknya terjadi tiga kali setoran fee jatah pada Juni, Agustus dan November 2025. KPK menduga sudah ada Rp 4 miliar yang diserahkan dari total permintaan Rp 7 miliar.
Asep menyebut sejak awal menjabat Gubernur Riau, Abdul Wahid telah mengumpulkan anak buahnya. Salah satu yang dikumpulkan adalah dari dinas PUPR, yaitu Kepala UPT (unit pelaksanaan teknis) di PUPR yang membidangi urusan jalan dan jembatan.
“Kepala UPT yang kepala UPT 1, 2, 3 sampai 6 ini khusus UPT jalan dan jembatan, UPT yang lainnya ada tapi ini yang 1 sampai 6 ini adalah UPT jalan dan jembatan,” sebutnya.
Penetapan Tersangka
Saat dikumpulkan, Wahid meminta para bawahannya itu tegak lurus kepada satu ‘matahari’ yaitu Gubernur itu sendiri. Wahid juga menyampaikan kepala dinas merupakan kepanjangan tangannya, sehingga apa yang disampaikan harus dituruti.
“Saat dikumpulkan itulah yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa, mataharinya adalah satu, semua harus tegak lurus pada mataharinya, artinya ada gubernur,” kata dia.
“Kepala dinas ini adalah kepanjangan tangan dari gubernur sehingga apapun yang disampaikan kepala dinas itu adalah perintahnya gubernur, disampaikan demikian dan kalau yang tidak ikut atau tidak nurut akan dievaluasi,” tambahnya.
Ancaman yang dimaksud berupa mutasi hingga pergantian jika tidak menuruti perintah Wahid selaku Gubernur. Kemudian beberapa waktu setelahnya baru ada permintaan uang dari Wahid.







