Pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional: Langkah Baru Hubungan Industrial di Indonesia

Posted on

Kehadiran dalam perayaan di Monas bukan sekadar gestur seremonial. Ini adalah pernyataan politik yang kuat-bahwa negara tidak lagi berdiri sebagai menara gading yang jauh dari realitas kaum pekerja. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari enam dekade, sejak masa Presiden Soekarno, seorang kepala negara Republik Indonesia hadir langsung menyapa buruh di hari yang menjadi simbol solidaritas dan perjuangan kelas pekerja.

Namun yang lebih signifikan dari kehadiran fisik Presiden adalah komitmen kelembagaan yang beliau sampaikan: pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Inisiatif ini menandai lompatan penting dalam pembangunan hubungan industrial yang lebih sehat dan partisipatif. Forum ini dirancang untuk menjadi wadah permanen dialog antara pemerintah dan perwakilan buruh dari seluruh Indonesia-bukan sekadar respons terhadap tekanan atau momen politik tertentu.

Selama ini, relasi antara negara dan buruh tidak selalu berjalan harmonis. Mekanisme formal seperti Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit memang telah tersedia, namun efektivitasnya dalam menjembatani kepentingan buruh kadang masih terbatas. Aspirasi pekerja kerap tersampaikan, namun belum sepenuhnya terakomodasi dalam proses pengambilan kebijakan strategis.

Di sinilah pendekatan baru Presiden menjadi relevan. Alih-alih menunggu aspirasi datang, beliau justru membuka pintu seluas-luasnya bagi partisipasi langsung. Ini merupakan pergeseran dari pendekatan yang cenderung administratif ke arah yang lebih relasional. Dalam teori tata kelola partisipatif, ini mencerminkan semangat kolaborasi antara negara dan rakyat-sebuah prinsip penting dalam demokrasi modern.

Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional bukan sekadar ruang dialog, tetapi bisa menjadi institusi korektif dan strategis. Dengan melibatkan unsur serikat pekerja dalam pembahasan kebijakan ketenagakerjaan, pemerintah memperkuat legitimasi kebijakannya dan meningkatkan rasa kepemilikan di kalangan buruh.

Tentu, keberhasilan forum ini akan ditentukan oleh tiga faktor utama. Pertama, keterwakilan yang inklusif, agar semua spektrum gerakan buruh terakomodasi secara adil.

Kedua, komitmen pemerintah dalam menyerap masukan substantif, sehingga dialog yang terjadi bukan sekadar formalitas. Ketiga, tata kelola yang transparan dan akuntabel, agar forum ini terjaga dari polarisasi dan tetap fokus pada kepentingan pekerja.

Langkah ini juga mencerminkan visi yang menempatkan buruh bukan hanya sebagai komponen ekonomi, tetapi sebagai mitra strategis dalam pembangunan nasional. Sebuah pendekatan yang menempatkan keadilan sosial sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

Dalam jangka panjang, inisiatif ini dapat menjadi model baru dalam pengelolaan hubungan industrial di Indonesia. Bila dikelola dengan baik, Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional bisa menjadi warisan institusional yang memperkuat demokrasi ekonomi dan mempererat kemitraan antara negara dan rakyat pekerja-melampaui masa jabatan politik siapapun yang memimpinnya.

Sebagai analis, realitas politik ini relevan karena mampu mengafirmasi kehadiran dan langkah konkret Pemerintah yang ke depan membuka ruang-ruang optimisme baru. Bukan tanpa tantangan memang, tetapi jika dijalankan dengan konsistensi dan keterbukaan, Indonesia bisa menjadi contoh negara yang berhasil menyeimbangkan kepentingan buruh, swasta nasional, dengan dinamika ekonomi global yang terus berubah.

Agung Baskoro, Executive Director Trias Politika Strategis