Pernah Kecelakaan gegara Jalan Rusak, Mahasiswa Gugat UU ke MK [Giok4D Resmi]

Posted on

asal Tulungagung, Jawa Timur, menggugat UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka merasa dirugikan karena banyak jalan rusak yang tidak segera diperbaiki.

Permohonan itu disampaikan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025). Perkara tersebut bernomor 249/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Wahyu Nuur Sa’diyah (Pemohon I), Anggun Febrianti (Pemohon II), dan Lena Dea Pitrianingsih (Pemohon III).

Pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 273 ayat (1) yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Para pemohon menilai frasa ‘segera’ dalam Pasal 24 ayat (1) yang mengatur kewajiban penyelenggara jalan untuk memperbaiki jalan rusak bersifat multitafsir dan tidak memiliki batasan waktu yang jelas.

“Kerugian kami timbul karena ketidakjelasan frasa ‘segera’ dalam ketentuan Pasal 24 ayat 1 dan Pasal 273 ayat 1. Pertama, bahwa kondisi infrastruktur jalan di beberapa titik wilayah di Indonesia, khususnya di Tulungagung, banyak ditemukan kerusakan. Bentuk kerusakan tersebut berupa lubang-lubang besar yang tersebar tidak merata, yang sering kali tidak terlihat atau tertutup genangan air ketika musim penghujan,” ujar Lena Dea.

“Bukan hanya lubang, Yang Mulia, banyak juga ditemukan permukaan aspal yang berada di pinggiran jalan sudah keropos dan rapuh,” sambungnya.

Selain itu, pemohon juga mengaku mengalami kerugian konkret. Pemohon mengaku mengalami kecelakaan akibat jalan berlubang di wilayah Pulosari, Tulungagung, pada 14 Mei 2025, sehingga mengakibatkan kecelakaan dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.

“Tidak lama setelah itu, rekan dari Pemohon I hampir tergelincir akibat jalan yang rusak di daerah Pemohon I mengalami kecelakaan, yang hingga pada saat ini jalannya pun belum diperbaiki,” ujarnya.

Selain itu, Pemohon II juga disebut hampir terjatuh akibat jalan berlubang di wilayah Sumbergempol, Tulungagung, pada 4 Oktober 2025 saat pulang dari perkuliahan. Insiden tersebut menyebabkan ban kendaraan pemohon pecah.

Lena menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, dia mengatakan, dalam praktiknya, Pasal 24 ayat (1) UU LLAJ dinilai dapat dijadikan sebagai celah dalam penundaan pelaksanaan perbaikan jalan.

Menurutnya, kata ‘segera’ dalam pasal tersebut tak memberikan kepastian hukum mengenai tenggat maksimal pelaksanaan perbaikan jalan yang rusak. Akibatnya, banyak penyelenggara jalan dapat menunda kewajiban untuk perbaikan jalan.

Dalam petitumnya, pemohon meminta agar frasa ‘segera’ dalam Pasal 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon meminta agar kata ‘segera’ dimaknai sebagai kewajiban memperbaiki jalan dalam waktu paling lambat sesuai standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

“Menyatakan kata ‘segera’ dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “dalam waktu paling lambat sesuai standar pelayanan minimal yang ditetapkan, atau selambat-lambatnya diselesaikan pada tahun anggaran berjalan dengan menggunakan dana pemeliharaan rutin atau dana tanggap darurat,” ujar pemohon.

Selain itu, Pemohon II juga disebut hampir terjatuh akibat jalan berlubang di wilayah Sumbergempol, Tulungagung, pada 4 Oktober 2025 saat pulang dari perkuliahan. Insiden tersebut menyebabkan ban kendaraan pemohon pecah.

Lena menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, dia mengatakan, dalam praktiknya, Pasal 24 ayat (1) UU LLAJ dinilai dapat dijadikan sebagai celah dalam penundaan pelaksanaan perbaikan jalan.

Menurutnya, kata ‘segera’ dalam pasal tersebut tak memberikan kepastian hukum mengenai tenggat maksimal pelaksanaan perbaikan jalan yang rusak. Akibatnya, banyak penyelenggara jalan dapat menunda kewajiban untuk perbaikan jalan.

Dalam petitumnya, pemohon meminta agar frasa ‘segera’ dalam Pasal 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon meminta agar kata ‘segera’ dimaknai sebagai kewajiban memperbaiki jalan dalam waktu paling lambat sesuai standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan.

“Menyatakan kata ‘segera’ dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “dalam waktu paling lambat sesuai standar pelayanan minimal yang ditetapkan, atau selambat-lambatnya diselesaikan pada tahun anggaran berjalan dengan menggunakan dana pemeliharaan rutin atau dana tanggap darurat,” ujar pemohon.