Prabowo Longgarkan TKDN: Indonesia Siap Ubah Pendekatan Perdagangan

Posted on

Langkah Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk merespons tarif impor 32% dari Amerika Serikat dengan melonggarkan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), memangkas karantina, dan membuka keran impor lebih lebar bukan sekadar kebijakan teknis. Ia merupakan sinyal politik-ekonomi yang sangat penting: bahwa Indonesia siap mengubah pendekatan perdagangan luar negerinya secara fundamental.

Di tengah gelombang proteksionisme global pasca-pandemi—yang awalnya dimotori Donald Trump lewat slogan “America First”—Indonesia justru mengambil jalan sebaliknya. Alih-alih memperkuat benteng perlindungan dalam negeri, pemerintah berniat melonggarkannya, dengan harapan mengundang kepercayaan dan relasi dagang yang lebih sehat, khususnya dengan Amerika Serikat.

Namun, pertanyaannya sederhana, apakah ini langkah realistis yang diperlukan saat ini atau justru langkah berisiko yang bisa merusak fondasi industri nasional?

Tarif Impor AS: Warisan Trump yang Masih Hidup

Kebijakan tarif tinggi terhadap produk Indonesia sejatinya bukan fenomena baru. Ini merupakan bagian dari strategi proteksionis yang digagas era Donald Trump sejak 2017. Melalui dalih “unfair trade”, AS menaikkan tarif terhadap banyak produk dari Tiongkok, Meksiko, Uni Eropa, bahkan negara berkembang seperti Indonesia. Semangatnya satu: melindungi industri dan pekerjaan di dalam negeri, dengan mengorbankan semangat perdagangan bebas global.

Ketika Joe Biden menjabat sebagai presiden, banyak kebijakan tarif era Trump tetap dipertahankan. Hal ini menunjukkan bahwa proteksionisme bukan hanya ide politik, tetapi telah menjadi paradigma baru dalam ekonomi global—terutama ketika negara-negara merasa sektor industrinya terancam oleh ketergantungan impor.

Tarif 32% terhadap produk Indonesia mencerminkan hal itu. Meskipun alasan teknis seperti dumping dan subsidi dijadikan dasar, secara politik, tarif ini adalah bentuk tekanan agar Indonesia lebih terbuka terhadap produk-produk AS. Dan Prabowo, dengan pendekatan real-politiknya, tampaknya membaca sinyal ini dengan jelas.

Jurus Prabowo: Membuka, Bukan Menutup

Dalam acara Sarasehan Ekonomi di Jakarta, Prabowo menyampaikan bahwa kebijakan TKDN harus dikaji ulang karena jika terlalu dipaksakan, justru membuat produk Indonesia tidak kompetitif. Ia menyarankan agar insentif diberikan sebagai pengganti, alih-alih membebani pelaku usaha dengan kewajiban kandungan lokal yang tinggi.

Tidak hanya itu, pemerintah juga menyebut rencana penghapusan karantina berulang dan pembatasan kuota impor. Logikanya, proses ini memakan waktu dan biaya, sehingga menghambat efisiensi industri, terutama yang bergantung pada bahan baku dari luar negeri.

Langkah ini dilengkapi oleh strategi diplomatik. Pemerintah, melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menyatakan tengah menyiapkan proposal negosiasi kepada AS dengan menawarkan peningkatan impor produk mereka—gandum, kapas, LNG, dan lainnya—sebagai kompensasi. Tujuannya: menyeimbangkan neraca dagang dan, idealnya, menurunkan tarif balasan dari AS.

Apa Untung Ruginya bagi Indonesia?

Dalam jangka pendek, ada beberapa keuntungan nyata bagi Indonesia yaitu harga bahan baku lebih kompetitif, membuat biaya produksi dalam negeri menurun dan produk Indonesia lebih bersaing di pasar ekspor maupun domestik.

Dengan dibukanya keran impor akan menarik investasi asing, karena pasar Indonesia dianggap ramah bisnis dan terbuka terhadap globalisasi rantai pasok. Yang lebih mendasar, upaya ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dagang dengan AS, sehingga potensi penghapusan tarif atau kerja sama strategis bisa terbuka lebar.

Kelonggaran prosedur karantina dan teknis impor yang sederhana akan meningkatkan efisiensi distribusi logistik, menurunkan harga barang konsumsi yang berpotensi menekan inflasi dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Dalam situasi global yang tidak pasti, keluwesan dalam kebijakan perdagangan bisa menjadi nilai jual. Indonesia ingin menunjukkan bahwa tidak kaku, tidak tertutup, dan mampu beradaptasi. Namun, risiko kebijakan ini juga tidak kecil, bahkan bisa sangat serius jika tidak dikelola hati-hati. Produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri tanpa ada filter, industri dalam negeri bisa tergerus, terutama sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan makanan olahan.

Dalam konteks ini, UMKM paling terdampak sebagai pemain dengan modal dan kapasitas rendah dan sulit bersaing dengan produk impor skala besar dengan harga murah. Indonesia bisa terjebak sebagai negara konsumen, bukan produsen, yang akan meningkatkan ketergantungan yang akan memundurkan substitusi impor, TKDN, dan hilirisasi yang saat ini sedang digagas dan diimplementasikan di beberapa sektor strategis.

Neraca dagang berisiko defisit, terutama jika volume impor meningkat tanpa diimbangi peningkatan ekspor. Kondisi ini juga mengancam keselamatan dan kesehatan jika prosedur karantina dan pertimbangan teknis dihapus atau direduksi. Dengan kata lain, kebijakan ini seperti “berjudi”: bisa berhasil membuka pasar dan memperkuat posisi diplomatik, tapi bisa pula berbalik menjadi bumerang ekonomi.

Jalan Tengah: Keterbukaan yang Terukur

Ironisnya, di saat Indonesia membuka pasar, negara-negara besar justru memperketatnya. AS, Eropa, bahkan China kini lebih selektif dalam membuka impor, membatasi teknologi strategis keluar, dan memberi subsidi besar-besaran pada industri dalam negeri mereka. Trump mengawali tren ini, dan negara-negara lain mengikutinya atau bisa juga membalasnya. Kini, subsidi hijau, kontrol ekspor, dan aturan asal-usul barang (rules of origin) menjadi senjata baru perang dagang.

Indonesia tidak bisa mengabaikan ini. Jika terlalu cepat membuka pasar tanpa penguatan fondasi industri nasional, maka kita hanya akan menjadi pasar bagi barang luar, bukan pemain di pasar global. Keterbukaan tidak harus berarti menyerah. Indonesia tetap bisa melonggarkan beberapa aturan untuk kepentingan efisiensi dan diplomasi, tapi harus tetap melindungi sektor-sektor strategis.

Solusinya ada pada desain kebijakan yang selektif dan adaptif seperti: mengatur zona produk strategis yang tetap dilindungi (misalnya pertanian, pangan lokal, dan UMKM); memperkuat standar mutu untuk menjaga produk impor tidak mengancam keselamatan, kesehatan dan ekosistem; memberikan insentif positif untuk kandungan lokal, bukan hanya sanksi atas ketidakpatuhan; membangun sistem karantina digital dan cepat bukan dihapus total.

Dengan pendekatan ini, Indonesia tetap bisa bersaing di pasar global tanpa kehilangan kekuatan lokalnya. Kebijakan membuka kran impor adalah cermin dari gaya pemerintah yang pragmatis dan realistis. Namun, dalam diplomasi dagang, pragmatisme harus diperkuat dengan kecermatan strategi. Bila tidak, bisa terjebak kembali ke masa lalu dengan menjadi pasar dari barang asing bukan negara industri yang mandiri.

Indonesia boleh saja fleksibel, tapi tidak boleh kehilangan arah. Kemandirian ekonomi bukan utopia tetapi sebagai fondasi jika ingin berdiri sejajar dalam tatanan dunia baru yang semakin keras, kompetitif, proteksionis, dan strategis.

Abdul Mukhlis alumni Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, pemerhati sosial politik dan kebijakan publik