Presiden Luiz Inácio Lula da Silva ngeri dengan jumlah korban tewas dalam penggerebekan besar-besaran polisi terhadap di Rio de Janeiro. Penggerebekan besar menewaskan banyak orang itu menjadi operasi paling berdarah dalam sejarah Rio.
“Presiden ngeri dengan banyaknya insiden fatal dan terkejut bahwa operasi sebesar ini dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah federal,” kata Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski tentang penggerebekan tersebut dilansir AFP, Kamis (30/10/2025).
Kantor pembela umum negara bagian Rio de Janeiro sebelumnya mengatakan setidaknya 132 orang tewas dalam operasi polisi paling mematikan dalam sejarah Rio. Polisi negara bagian dalam pembaruan terbaru mereka melaporkan bahwa 119 orang telah tewas, termasuk 115 ‘narkoteroris’ dan empat petugas.
Sementara para aktivis dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyuarakan kekhawatiran atas penggunaan kekuatan oleh polisi, pemerintah negara bagian Rio memuji operasi tersebut sebagai keberhasilan dalam upayanya untuk menghentikan pengambilalihan wilayah oleh geng Comando Vermelho (Komando Merah) yang kuat.
Kelompok bersenjata lengkap ini–yang menjatuhkan bom ke petugas dari pesawat tanpa awak–telah menguasai sebagian besar wilayah Rio de Janeiro dalam beberapa tahun terakhir, memusatkan operasi di favela yang luas yang merupakan rumah bagi jutaan orang.
Sehari setelah operasi polisi melumpuhkan kota, warga favela Complexo da Penha menemukan puluhan jenazah dari hutan di pinggirannya. Seorang pria dipenggal dan seorang lainnya cacat total, sementara warga mengecam apa yang mereka sebut eksekusi.
“Negara datang untuk pembantaian, itu bukan operasi (polisi). Mereka datang langsung untuk membunuh, untuk merenggut nyawa,” ujar seorang perempuan, yang tidak ingin disebutkan namanya.
Sejumlah besar petugas yang terlibat dalam operasi tersebut didukung oleh kendaraan lapis baja, helikopter, dan drone, sementara jalanan favela dipenuhi pemandangan perang. Polisi dan tersangka anggota geng saling tembak-menembak saat warga yang ketakutan berhamburan mencari perlindungan.
Sementara operasi berlangsung, Comando Vermelho menyita puluhan bus dan menggunakannya untuk membarikade jalan raya utama, serta mengirim pesawat nirawak untuk menyerang polisi dengan bahan peledak, kata pihak berwenang.
Gubernur negara bagian Claudio Castro menggambarkan penggerebekan terhadap apa yang disebutnya ‘narkoterorisme’ sebagai keberhasilan dan mengatakan satu-satunya korban adalah petugas polisi yang tewas.
Sekretaris polisi militer, Marcelo de Menezes, mengatakan dalam konferensi pers bahwa pasukan khusus elitE sengaja mendorong yang mereka sebut penjahat ke hutan yang berbatasan dengan favela, tempat sebagian besar pertempuran terjadi, untuk melindungi penduduk.
Sekretaris polisi sipil Felipe Curi sementara itu menuduh mayat-mayat yang dipajang di jalan hanya mengenakan pakaian dalam karena pakaian kamuflase, rompi, dan senjata yang mereka kenakan telah dilucuti oleh warga.
Namun, warga yang marah menuduh polisi melakukan pembunuhan massal. “Ada orang-orang yang telah dieksekusi, banyak di antaranya ditembak di belakang kepala, ditembak di punggung. Ini tidak bisa dianggap sebagai keselamatan publik,” kata Raull Santiago, seorang warga dan aktivis berusia 36 tahun.
Pengacara Albino Pereira Neto, yang mewakili tiga keluarga yang kehilangan kerabat, mengatakan bahwa beberapa jenazah memiliki bekas luka bakar dan sejumlah korban tewas telah diikat. Beberapa “dibunuh dengan darah dingin,” katanya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sangat prihatin dengan banyaknya korban, kata juru bicaranya, Stephane Dujarric. Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia mengatakan pihaknya ngeri dan menyerukan investigasi cepat.
Gubernur negara bagian Claudio Castro menggambarkan penggerebekan terhadap apa yang disebutnya ‘narkoterorisme’ sebagai keberhasilan dan mengatakan satu-satunya korban adalah petugas polisi yang tewas.
Sekretaris polisi militer, Marcelo de Menezes, mengatakan dalam konferensi pers bahwa pasukan khusus elitE sengaja mendorong yang mereka sebut penjahat ke hutan yang berbatasan dengan favela, tempat sebagian besar pertempuran terjadi, untuk melindungi penduduk.
Sekretaris polisi sipil Felipe Curi sementara itu menuduh mayat-mayat yang dipajang di jalan hanya mengenakan pakaian dalam karena pakaian kamuflase, rompi, dan senjata yang mereka kenakan telah dilucuti oleh warga.
Namun, warga yang marah menuduh polisi melakukan pembunuhan massal. “Ada orang-orang yang telah dieksekusi, banyak di antaranya ditembak di belakang kepala, ditembak di punggung. Ini tidak bisa dianggap sebagai keselamatan publik,” kata Raull Santiago, seorang warga dan aktivis berusia 36 tahun.
Pengacara Albino Pereira Neto, yang mewakili tiga keluarga yang kehilangan kerabat, mengatakan bahwa beberapa jenazah memiliki bekas luka bakar dan sejumlah korban tewas telah diikat. Beberapa “dibunuh dengan darah dingin,” katanya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sangat prihatin dengan banyaknya korban, kata juru bicaranya, Stephane Dujarric. Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia mengatakan pihaknya ngeri dan menyerukan investigasi cepat.







