Akhir tahun selalu menjadi momen yang tepat untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, sekaligus menatap ke depan. Tahun 2025 memberikan banyak pelajaran penting tentang bagaimana kesejahteraan masyarakat tidak dapat dibangun secara instan, tetapi memerlukan konsistensi kebijakan, ketahanan sosial, dan keberanian untuk beradaptasi dan berinovasi. Dalam konteks ini, upaya pemerintah menjaga stabilitas sekaligus memperluas perlindungan sosial patut diapresiasi sebagai fondasi penting bagi kesejahteraan yang lebih merata.
Kesejahteraan masyarakat sejatinya bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan tentang bagaimana kebutuhan dasar-pangan, sandang, dan papan-dapat diakses secara layak oleh seluruh warga. Di sinilah refleksi akhir tahun menjadi relevan, menilai sejauh mana kebijakan publik mampu menyentuh dimensi ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan budaya secara terpadu.
Ekonomi: Stabilitas sebagai Modal
Sepanjang 2025, perekonomian nasional menunjukkan ketahanan yang sangat baik di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian. Sinyal ketahanan terlihat dari pertumbuhan yang tetap terjaga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada triwulan III-2025 tumbuh 5,04% (y-on-y) dan secara kumulatif sampai triwulan III-2025 tumbuh 5,01% (c-to-c). Angka ini bukan sekadar statistik, ia menunjukkan roda produksi dan konsumsi tetap berputar dengan baik. Stabilitas harga, pengendalian inflasi, dan menjaga daya beli masyarakat menjadi prioritas utama pemerintah. Langkah ini memberikan rasa aman bagi rumah tangga dan pelaku usaha, khususnya sektor mikro dan kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Pertumbuhan ekonomi yang terjaga bukan hanya soal angka, tetapi juga mencerminkan upaya pemerintah memastikan roda ekonomi tetap berputar hingga ke daerah. Program-program penguatan UMKM, dukungan pembiayaan, serta belanja negara yang diarahkan pada sektor produktif menjadi sinyal positif bahwa pembangunan ekonomi semakin diarahkan untuk memperluas manfaat, bukan sekadar mengejar laju pertumbuhan.
Langkah pemerintah dalam menjaga stabilitas harga juga patut diapresiasi. BPS melaporkan inflasi November 2025 sebesar 2,72% (y-on-y), dengan inflasi tahun berjalan (y-to-d) 2,27%. Stabilitas inflasi adalah “gizi” bagi kesejahteraan. Ketika harga relatif terkendali, rumah tangga berpendapatan rendah tetap terjamin dapat memenuhi kebutuhan hidup dasarnya.
Kesejahteraan: Kualitas yang Terus Meningkat
Kesejahteraan tidak boleh berhenti pada pertumbuhan dan inflasi. Ukurannya harus “turun” ke meja makan keluarga, ke kamar belajar anak, dan ke kualitas hunian. Pada dimensi kemiskinan, misalnya, BPS mencatat tingkat kemiskinan Maret 2025 sebesar 8,47% atau 23,85 juta orang, menurun dibanding periode sebelumnya.
Ini kabar baik, karena penurunan kemiskinan menunjukkan jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi bekerja. Tetapi refleksi akhir tahun juga mengingatkan bahwa kemiskinan sering kali bersifat rentan: satu kejutan harga, sakit, atau kehilangan pekerjaan dapat mengembalikan keluarga ke kondisi rentan. Karena itu, kebijakan pemerintah yang fokus pada stabilisasi harga pangan, bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, dan pemberdayaan ekonomi lokal perlu terus dijaga ritmenya.
Kabar positif lainnya terlihat pada ketimpangan. BPS mencatat Rasio Gini Maret 2025 sebesar 0,375, menurun dibanding periode sebelumnya. Turunnya ketimpangan memberi sinyal bahwa manfaat pertumbuhan mulai lebih merata. Ini penting untuk menjaga kohesi sosial dimana kesejahteraan harus dirasakan bersama sehingga akan memperkuat rasa percaya publik terhadap pemerintah.
Di sisi pasar tenaga kerja, BPS melaporkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2025 sebesar 4,85%, dengan jumlah penduduk bekerja 146,54 juta orang. Keberhasilan di pasar tenaga kerja ini patut diapresiasi karena agenda penciptaan lapangan kerja bukan hanya soal angka, tetapi juga soal menjaga sektor-sektor padat karya tetap bergerak. Meski demikian, pekerjaan rumah di 2026 masih tetap menantang yaitu bagaimana kita bisa terus memperkuat kualitas pekerjaan, meningkatkan produktivitas, serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar kesejahteraan masyarakat tidak rapuh oleh pekerjaan yang rentan.
Kesejahteraan juga sangat ditentukan oleh kualitas manusia. Pada tahun 2025, BPS merilis IPM Indonesia pada tahun 2025 mencapai 75,90 (naik dari tahun sebelumnya), disertai perbaikan indikator-indikator penyusunnya. Umur Harapan Hidup (UHH) saat lahir tercatat 74,47 tahun, Harapan Lama Sekolah (HLS) 13,30 tahun, dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 9,07 tahun. Data ini mengirim pesan kuat yaitu kesejahteraan 2025 tidak hanya “bertahan”, tetapi juga membangun modal manusia. Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa kebijakan pendidikan dan kesehatan bertemu. Pendidikan yang makin terjangkau dan relevan akan menaikkan produktivitas, kesehatan yang makin inklusif akan menaikkan kualitas hidup dan menekan beban ekonomi rumah tangga.
Pada sektor kesehatan, dua capaian penting layak diapresiasi dan dipertahankan. Pertama, prevalensi stunting nasional (SSGI 2024) turun menjadi 19,8%. Sebuah capaian yang menunjukkan program perbaikan gizi, layanan ibu-anak, dan kolaborasi lintas sektor terus menghasilkan dampak positif dan signifikan.
Kedua, cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) makin mendekati Universal Health Coverage (UHC). Laporan DJSN mencatat per 31 Juli 2025 kepesertaan JKN mencapai 280,7 juta jiwa atau 98,7% dari total penduduk, dengan peserta aktif 225,3 juta jiwa. Ini bukan sekadar capaian administratif, tetapi “perisai” kesejahteraan. Keluarga yang terlindungi jaminan kesehatan punya peluang lebih besar untuk tidak jatuh miskin ketika sakit.
Pangan-sandang-papan juga harus mendapat perhatian. Pangan-sandang-papan merupakan ringkasan paling sederhana dari kesejahteraan. Stabilitas inflasi membantu menjaga akses pangan, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah.
Di sisi papan, agenda hunian layak dan layanan dasar (air bersih, sanitasi, listrik) perlu terus diperkuat, karena kualitas rumah menentukan kesehatan dan kualitas belajar anak. Refleksi 2025 memberi pelajaran bahwa memperbaiki kesejahteraan bukan hanya menaikkan pendapatan, tetapi menurunkan biaya-biaya tersembunyi yang ditanggung keluarga-biaya transport, biaya sakit, biaya risiko bencana, hingga biaya ketidakpastian.
Aspek budaya pun tidak boleh dipandang sebagai “pelengkap”. Budaya adalah daya lenting sosial. Nilai gotong royong, solidaritas, dan identitas lokal menjadi nilai-nilai yang membuat masyarakat kuat saat menghadapi guncangan dan bencana. Pada 2025, hal ini tercermin dari indikator kuantitatif yang relatif stabil seperti Indeks Pembangunan Kebudayaan yang berada pada kategori sedang-baik, partisipasi kegiatan budaya kembali pulih di kisaran 40-45 persen, dan Indeks Kerukunan Umat Beragama konsisten pada level tinggi, serta tidak adanya konflik SARA berskala besar di tingkat nasional. Data ini menunjukkan bahwa kebudayaan berfungsi sebagai infrastruktur sosial yang nyata dalam meredam potensi konflik, menjaga kohesi di tengah tekanan ekonomi dan politik, dan memperkuat solidaritas berbangsa secara praktis, bukan sekadar simbolik.
Di tahun 2025, sektor pariwisata dan mobilitas masyarakat juga menunjukkan dinamika yang positif. BPS mencatat kunjungan wisatawan mancanegara pada Oktober 2025 mencapai 1,33 juta kunjungan (naik 11,19% y-on-y), perjalanan wisatawan nusantara 96,00 juta, serta tingkat penghunian kamar hotel bintang 52,84%. Angka-angka ini menunjukkan geliat ekonomi berbasis jasa, budaya, dan kreativitas tetap hidup seraya membuka ruang kerja bagi banyak pelaku usaha kecil di daerah.
Refleksi akhir tahun 2025, pada akhirnya, mengantar kita pada satu kesimpulan yang menenangkan bahwa arah kebijakan kesejahteraan berada di jalur yang tepat yaitu menjaga stabilitas, memperbaiki indikator kemiskinan dan ketimpangan, menguatkan jaminan kesehatan, serta menaikkan kualitas pembangunan manusia. Tantangan 2026 tetap besar, tetapi modal sosial dan kebijakan yang sudah berjalan memberi alasan kuat untuk optimistis.
Yang dibutuhkan ke depan adalah mempercepat “keterhubungan” antar kebijakan yaitu stabilitas harga harus terkoneksi dengan ketahanan pangan bergizi, penciptaan kerja harus terkoneksi dengan peningkatan keterampilan, perumahan harus terkoneksi dengan sanitasi dan kesehatan, pembangunan ekonomi harus terkoneksi dengan perlindungan lingkungan, dan kemajuan harus tetap menumbuhkan budaya serta rasa kebersamaan. Jika koneksi-koneksi tadi dapat dijaga dengan baik, maka kesejahteraan 2025 bukan hanya catatan akhir tahun-melainkan pijakan kokoh untuk Indonesia yang makin adil, sehat, berpendidikan, lestari, dan berdaya.
Menatap 2026 dengan Optimis
Refleksi akhir tahun 2025 menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat adalah proses yang terus berjalan. Pemerintah telah menunjukkan komitmen menjaga stabilitas, memperluas perlindungan sosial, dan mengarahkan pembangunan pada kebutuhan dasar masyarakat. Tantangan tentu masih ada, namun arah kebijakan yang semakin terintegrasi memberikan alasan untuk semakin optimistis.
Pangan, sandang, dan papan bukan sekadar indikator, melainkan cermin keberpihakan negara kepada warganya. Dengan menjaga kesinambungan kebijakan dan memperkuat kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, kesejahteraan yang inklusif dan berkelanjutan bukanlah cita-cita yang jauh. Akhir tahun ini menjadi momentum untuk menguatkan keyakinan bahwa pembangunan Indonesia bergerak ke arah yang benar-menuju kesejahteraan yang lebih adil, manusiawi, dan berjangka panjang.
Cucun Ahmad Syamsurijal Wakil Ketua DPR-RI
