Perkembangan hukum tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan logika formal semata, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengalaman dalam praktik bekerjanya hukum di masyarakat. Hal ini sejalan dengan ungkapan Oliver Wendell Holmes, “the life the law has not been logic, but it has been experience“. Faktor pengalaman dalam penerapan hukum di masyarakat terhubung dengan perihal budaya hukum. Lawrence Friedman menjadikan budaya hukum (legal culture) sebagai bagian dari sistem hukum, selain struktur hukum (legal structure) dan substansi hukum (legal substance). Teori sistem hukum itu, sampai dengan saat ini tetap dan masih menjadi rujukan.
Dalam kaitannya dengan proses yang kini tengah dioptimalkan oleh Komisi III di DPR, maka revisi atas hukum pidana formil tersebut memang sudah sepantasnya dilakukan. Hampir setengah abad kita telah menggunakan KUHAP, namun banyak terjadi berbagai problematika serius seperti adanya praktik intimidasi dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan. Seiring dengan itu, perlakuan yang diskriminatif oleh aparat penegak hukum juga kerap terjadi, dan bahkan praktik ‘kriminalisasi’. Oleh karena itu, usul inisiatif lembaga legislatif dalam RUU KUHAP dipandang relevan untuk dilakukan dengan urgensitas menunjuk pada kepentingan perlindungan hukum bagi tersangka dan terdakwa.
Sejatinya, hukum pidana formil dimaksudkan tidak hanya memastikan orang yang bersalah dan oleh karenanya dikenakan hukuman, namun juga untuk melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman. Hal ini sebagaimana dalil yang menyebutkan “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah”. Di sisi lain, juga harus mampu mengoptimalkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Keadilan prosedural dan keadilan substansial harus dapat dijelmakan dalam setiap jenjang proses hukum. Dua keadilan tersebut adalah pilar bagi kepastian
hukum. Tidak dapat dikatakan ada kepastian hukum, jika tidak ada keadilan prosedural dan keadilan substansial. Dengan demikian RUU KUHAP menekankan pada pelaksanaan penerapan hukum pidana secara terarah dengan parameter yang jelas dan tegas. Peranan kontrol juga menjadi bagian penting dalam RUU KUHAP.
Sebagaimana kita ketahui, terdapat titik taut antara penyelidikan dan penyidikan dengan penuntutan, dimana pertalian tersebut tidak dapat dipisahkan. Ketika dalam tahapan penyelidikan, kadang terjadi rekayasa dalam pemenuhan alat bukti dan dengan itu dilakukan pula pemenuhan unsur-unsur delik yang disesuaikan. Persoalan demikian telah diantisipasi dalam RUU KUHAP. Jika selama ini hak-hak tersangka sangat minimalis, maka dalam RUU KUHAP telah diatur dengan terperincinya hak-hak
tersangka secara jelas. Hak tersebut antara lain, mendapatkan pendampingan dari advokat dari semenjak awal pemeriksaan. Di sini termasuk adanya rekaman pemeriksaan untuk kepentingan keterbukaan (transparansi), dan juga hak untuk mengakses berkas-berkas pemeriksaan. Dengan adanya aturan demikian, maka proses penyidikan guna membuat terang perkara pidana dan pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan dapat dinilai semenjak tahap awal. Penilaian tersebut tentu terhubung dengan persyaratan minimal dua alat bukti yang sah. Dengan demikian, adanya tindakan rekayasa terhadap alat bukti surat, keterangan saksi dan keterangan ahli dapat dihindari. Dalam tahap ini, peranan advokat juga menjadi lebih aktif, selain melihat dan mendengar juga dapat menjelaskan dan menyatakan keberatan. RUU KUHAP juga memberikan hak bagi advokat untuk mengajukan keberatan atas penahanan tersangka yang menjadi kliennya, selain melakukan permohonan praperadilan.
Dalam RUU KUHAP juga diatur tentang dimungkinkannya peralihan status tersangka menjadi “saksi mahkota” untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain. Saksi mahkota dalam konteks pidana adalah seorang tersangka atau terdakwa yang dijadikan saksi dalam kasus yang sama. Saksi ini sering digunakan dalam tindak pidana penyertaan (deelneming). Kepastian kedudukan saksi mahkota ini sangat penting dan stategis guna mengungkap delik penyertaan yang memang cukup sulit dalam pembuktiannya. Terlebih lagi dalam delik spesialis seperti korupsi dan pencucian uang, tidak mudah menentukan siapa yang menjadi pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker). Belum lagi memastikan adanya perjumpaan kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus) dalam deelneming tersebut. Jadi, peranan saksi mahkota dalam mengungkap tindak pidana demikian diperlukan.
Selanjutnya, menyangkut tindakan penahan yang selama ini cenderung berdasarkan penilaian subjektif semata berpotensi untuk diselewengkan. Dikatakan demikian oleh karena dalam KUHAP, alasan subjektif adanya kekhawatiran akan melarikan diri ditentukan dengan penilaian yang juga subjektif semata. Tidak demikian dalam RUU KUHAP, terdapat parameter yang jelas. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 93 Ayat (5), yakni dengan adanya kondisi-kondisi tertentu seperti: mengabaikan panggilan penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; tidak bekerjasama dalam pemeriksaan; menghambat proses pemeriksaan; dan mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.
Lebih lanjut, KUHAP sesuai dengan penamaannya, maka keberadaannya dirancang guna memastikan bekerjanya hukum pidana materil yang berkepastian hukum, berkeadilan dan mampu menghadirkan kemanfaatan. Jadi, peranan dari hukum pada ujungnya adalah kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri. Kepentingan hukum dimaksud adalah kepentingan hukum negara (staatsbelangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) dan kepentingan hukum individu (individuale belangen). Dalam kaitan ini, RUU KUHAP telah mengakomodir kepentingan hukum dimaksud, utamanya bagi kepentingan hukum individu dalam hal adanya penyelesaian perkara dengan jalan pemulihan guna perdamaian.
Penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice), dipandang menjamin kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri. Hal ini tentu adalah kebaruan yang tidak ada sebelumnya. Namun, secara praktik sudah dilakukan, utamanya dan paling sering di tingkat penyidikan. Bahkan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restoratif, Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, dan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. Kepolisan juga telah mengaturnya, yakni melalui Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak
Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Makamah Agung juga demikian, telah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dengan hadirnya hukum acara yang baru, maka pengaturan keadilan restoratif tidak lagi diatur secara parsial dalam peraturan masing-masing lembaga penegak hukum di setiap jenjang peradilan pidana. Kehadiran penyelesaian perkara dengan adanya pemulihan sebagaimana menjadi dasar keberlakuan keadilan restoratif sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Penggunaan sanksi pidana seharusnya menjadi ‘langkah terakhir’ (last resort). Terkait dengan hal ini, perlu diketahui bahwa KUHP baru telah menganut doktrin dualistik, di mana antara perbuatan (actus reus) dan kesalahan (mens rea) tidak lagi digabungkan sebagaimana doktrin monistik, melainkan dipisahkan secara tegas.
Dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif dalam KUHAP yang baru, maka perdamaian tersebut menghilangkan kesalahan sebagai unsur subjektif. Perbuatan memang ada, namun dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif, pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dikatakan demikian mens rea sebagai dasar pertanggungjawaban pidana sudah tidak ada lagi dengan adanya penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif.
Lebih lanjut, perlu penulis sampaikan terkait dengan usulan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Konsep HPP pernah diperkenalkan dalam RUU KUHAP pada tahun 2012, dan dimaksudkan untuk menggantikan praperadilan. Menurut penulis, keberadaan HPP dalam sistem peradilan pidana terpadu patut dipertanyakan. Dikatakan demikian oleh karena justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai contoh, untuk menentukan sah atau tidaknya penetapan status tersangka dan tindakan penyidik seperti penahanan, penyitaan dan lain sebagainya, jika harus ditentukan oleh HPP, maka demikian itu bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan.
Di sisi lain, paradigma pemenuhan unsur-unsur delik oleh penyidik adalah berbeda dengan paradigma pembuktian yang dilakukan oleh hakim saat proses persidangan. Oleh karena itu, keberadaan HPP dalam sistem peradilan pidana terpadu bertentangan dengan aksiologi hukum yang kita anut, yakni “kepastian hukum yang adil”. Kehadiran HPP dengan kewenangan tersebut adalah memberikan kewenangan yang tidak proporsional. Padahal, masing-masing instansi dalam struktur hukum telah dibedakan dan termasuk masing-masingnya memiliki fungsi dan kewenangan tersendiri. Prinsip diferensiasi fungsional pada dasarnya adalah membedakan dan bukan mengkompromikan, apalagi salah satunya (in casu HPP) dapat menegasikan fungsi dan kewenangan lembaga lain (in casu penyidik).
Secara teknis memasukkan HPP dalam RUU KUHAP sebagaimana dimaksudkan tidak dapat diaplikasikan. Selain usulan dimaksud hanyalah memindahkan masalah, namun juga akan menimbulkan masalah baru. Dalam penilaian status tersangka dan tindakan penahanan, bukanlah persoalan siapa yang paling berhak menentukan, akan tetapi kejelasan dan pengetatan persyaratan menjadi hal utama. Di sini bukan dilihat aktor penegak hukumnya, akan tetapi sistem dan mekanisme pada institusi penegak hukum masing-masingnya. Terlebih lagi, sebagaimana kita ketahui, bahwa beberapa hakim ditangkap, seperti tiga hakim pada perkara korupsi minyak goreng, pada perkara Ronald Tannur dan baru-baru ini empat hakim ditangkap dalam perkara ekspor CPO. Kondisi demikian menunjukkan penyuapan demikian menguat kepada hakim. Dengan demikian, selain masalah ketersediaan hakim yang tidak sebanding dengan jangkauan dan tingkat kejahatan, kondisi ditangkapnya para hakim itu justru akan melemahkan kepercayaan publik jika HPP masuk dalam RUU KUHAP dengan wewenang yang mengamputasi fungsi dan kewenangan penyidikan.
Jika, HPP masuk ke hulu penegakan hukum dengan wewenang menilai atas fungsi dan kewenangan penyidikan tersebut, maka demikian itu adalah “menyamakan sesuatu yang berbeda”. Tindakan penyamaan terhadap sesuatu yang berbeda adalah tidak adil dan sekaligus tidak benar. Perlu ditekankan, bahwa pembaharuan hukum yang tidak sejalan dengan asas/prinsip hukum akan melahirkan konflik norma (antinomy) yang dampaknya jauh lebih besar daripada penerapan hukum akibat adanya pemahaman teks hukum yang multitafsir. Kemudharatan yang terjadi juga lebih besar ketimbang kemashlahatan yang ingin diperoleh, jika HPP diterima dalam RUU KUHAP. Oleh karena itu, hendaknya kita mencermati dalil dalam kaidah fiqih, “dar’ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashalih“, bahwa mencegah mudharat lebih baik daripada mendapatkan mashlahat.
Masih banyak lagi yang ingin disampaikan oleh penulis, namun setidaknya urgensitas RUU KUHAP sebagaimana diuraikan dapat memberikan pemahaman akan relevansinya dengan kondisi saat ini.
Dari apa yang dikemukakan di atas, selayaknya RUU KUHAP yang dihasilkan dari hak inisiatif DPR periode saat ini patut untuk diapresiasi. Demikian dan semoga bermanfaat.
Abdul Chair Ramadhan. Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI).