Di tahun 1928, para pemuda Indonesia bersumpah atas tiga hal yang mengubah sejarah: satu Tanah Air, satu bangsa, dan satu bahasa. Hampir seabad kemudian, tantangannya berubah, tetapi semangatnya tetap sama. Kini, kita dihadapkan pada perjuangan baru berupa ketimpangan gizi, akses kesehatan yang belum merata, dan kebisingan digital yang menenggelamkan empati sosial.
Namun, generasi muda hari ini memiliki kekuatan luar biasa. Mereka bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi warga digital yang bisa mengubah arah sejarah bangsa. Syaratnya jelas, jika mampu menyatukan aspek gizi, kesehatan, dan solidaritas dalam satu gerakan nasional: Satu Gizi, Satu Akses, Satu Bangsa Sehat.
Pemuda Indonesia saat ini adalah generasi paling terkoneksi dalam sejarah. Rata-rata mereka menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di dunia digital (We Are Social, 2024). Namun ironisnya, di tengah konektivitas yang tinggi, banyak yang kehilangan koneksi dengan tubuh, lingkungan, dan dengan makna hidup yang sehat.
Riset Global Burden of Disease 2024 menunjukkan peningkatan kasus anemia, obesitas, kelelahan kronis, serta gangguan mental di kelompok usia 15-29 tahun. Di sisi lain, RISKESDAS 2023 mencatat bahwa lebih dari 25-persen remaja Indonesia masih memiliki pola makan yang rendah zat gizi penting seperti zat besi dan protein hewani.
Studi dari Health Collaborative Center (HCC) tahun 2023 menemukan bahwa tingginya risiko malnutrisi pada anak muda Indonesia berhubungan erat dengan maraknya perilaku emotional eating akibat pengaruh digital dan viral nya pola makan tidak sesuai konsep gizi seimbang, yang mana begitu mudahnya di akses lewat media sosial.
Ibaratnya, pemuda masa kini terkoneksi erat dengan dunia lewat perangkat digital, tapi sering kehilangan koneksi dengan kesehatannya sendiri. Dan di sinilah arti baru Sumpah Pemuda harus dilahirkan, bukan hanya sumpah persatuan, tapi sumpah untuk merawat tubuh, pikiran, dan bangsa.
Sumpah Satu Gizi sebagai Bahasa Persatuan
Sumpah Pemuda dahulu disatukan oleh bahasa. Kini, bahasa itu bisa berwujud lain, yaitu gizi. Satu sendok nasi, satu gelas susu, satu piring makanan seimbang protein, karbohidrat, lemak, buah dan sayur, semua harusnya menjadi simbol persatuan baru bangsa Indonesia.
Riset WHO dan UNICEF (2023) menegaskan bahwa anak yang mendapat asupan gizi cukup sejak 1.000 hari pertama kehidupannya memiliki kemungkinan 20-persen lebih besar untuk mencapai prestasi akademik tinggi dan produktivitas ekonomi di masa depan. Bahkan, menurut Global Nutrition Report 2024, setiap 1 dolar investasi dalam gizi anak menghasilkan keuntungan ekonomi hingga 16 dolar.
Artinya, gizi yang baik bukan hanya soal nutrisi, tapi soal keadilan. Gizi yang cukup dan berimbang akan menentukan kemampuan berpikir, daya tahan tubuh, dan masa depan ekonomi bangsa. Dengan kata lain, gizi adalah bahasa kemajuan. Dan bangsa yang gagal berbahasa gizi, akan kehilangan dialek masa depannya.
Sumpah Satu Akses Kesehatan sebagai Hak
Aspek akses terhadap layanan kesehatan juga merupakan wilayah perjuangan baru pemuda Indonesia saat ini. Kita patut bangga memiliki sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang kini mencakup lebih dari 260 juta jiwa, salah satu terbesar di dunia. Namun, masih ada jutaan warga di pelosok yang harus menempuh puluhan kilometer untuk mencapai puskesmas. Masih banyak ibu hamil yang harus menunggu bidan keliling sebulan sekali. Akses digital pun belum sepenuhnya merata. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2024) mencatat 35-persen desa di Indonesia masih memiliki koneksi internet tidak stabil, padahal telemedicine kini menjadi tumpuan layanan kesehatan modern.
Keadilan kesehatan tidak cukup hanya diukur dari jumlah kartu BPJS yang dicetak, tetapi dari seberapa mudah masyarakat menggunakan hak itu. Dalam teori kesehatan global, kesehatan tidak hanya ditentukan oleh rumah sakit, tetapi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan tempat seseorang lahir dan tumbuh. Karena itu, jika ingin membangun bangsa yang benar-benar sehat, kita perlu membangun sistem yang inklusif, menjangkau tidak hanya yang punya sinyal, tapi juga yang punya harapan.
Hari ini, seorang mahasiswa bisa membuat aplikasi deteksi anemia, influencer bisa mengedukasi gizi lewat TikTok, dan pemilik startup bisa membangun platform mental health berbasis empati. Semua ini bukan lagi ilusi tetapi sedang terjadi di Indonesia. Generasi digital bukan hanya pengguna layanan kesehatan, tapi bisa menjadi pencipta solusi kesehatan. Mereka bisa membangun sistem edukasi gizi berbasis AI, menggerakkan kampanye Makan Bergizi Gratis, atau membuat konten yang mengubah pola pikir publik.
Bila kita merefleksikan kondisi Sumpah Pemuda 1928 yang lahir dari ruang rapat sederhana di Jakarta maka saat ini, Sumpah Sehat Indonesia bisa lahir dari ruang digital yang lebih luas, melibatkan jutaan jiwa yang percaya bahwa bangsa ini hanya akan kuat bila tubuh-tubuh mudanya sehat.
Satu Gizi, Satu Akses, Satu Bangsa
Gerakan pemuda dalam bidang kesehatan kini wajib menjadi simbol ideologis, bukan sekadar slogan. Generasi muda hari ini mungkin tidak berbaris di jalan dengan bendera, tapi mereka bisa ‘berbaris’ di dunia maya untuk satu tujuan, membangun kesadaran bahwa kesehatan adalah bagian dari identitas nasional.
Bersumpah Satu Gizi artinya pemuda Indonesia harus mendorong dan turut memastikan setiap anak Indonesia mendapat asupan bergizi seimbang, baik melalui program transformasi pangan, makan bergizi di sekolah, edukasi orang tua, atau bahkan mengadvokasi fortifikasi pangan nasional. Sumpah Satu Akses Kesehatan artinya pemuda Indonesia harus turut memfasilitasi upaya perluasan jangkauan layanan kesehatan hingga ke pelosok dengan bantuan digitalisasi dan kolaborasi lintas sektor. Dan sumpah Satu Bangsa Sehat adalah suatu lafal faktual bahwa pemuda Indonesia bisa turut membangun empati sosial, di mana pemuda sadar bahwa sehat bukan prestasi pribadi, tapi hasil dari solidaritas kebangsaan. Sumpah ini bukan sekadar idealisme, tapi realisme masa depan untuk Indonesia Emas 2045.
Banyak riset digital telah membuktikan, satu unggahan edukasi bisa menyelamatkan satu nyawa. Satu video tentang gizi bisa mengubah pola makan satu keluarga. Satu aplikasi kesehatan bisa menghubungkan satu desa dengan dokter di kota. Dan satu generasi yang sadar akan makna sehat, bisa menyelamatkan bangsa dari masa depan yang sakit. Maka, di era ketika segala hal bisa viral, mari kita viralkan hal yang paling fundamental, yaitu kesehatan sebagai bentuk nasionalisme baru. Karena pada akhirnya, dari satu gizi lahir empati, dari satu akses lahir kesetaraan, dan dari satu semangat lahir bangsa yang benar-benar sehat.
Selamat Sumpah Pemuda 2025!
, Pendiri Health Collaborative Center (HCC), Direktur Eksekutif Indonesia Health Development Center (IHDC); Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa (Kaukus Keswa).
