Ibarat mujtahid, Presiden Prabowo Subianto adalah ‘mujtahid murajjih’. Disebut demikian karena murajjih melakukan seleksi dalam mazhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau paling sesuai tuntutan kemaslahatan masyarakat. Contoh mujtahid murajjih adalah Imam ar-Rafi’ dan Imam Nawawi dalam mazhab Syafi’i. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal. 30 dan Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuh, I).
Dalam kamus kepemimpinan Indonesia modern, dalil dan program pengentasan kemiskinan, sudah dipraktekkan sejak republik berdiri. Para pemimpin datang silih berganti, tapi problem kemiskinan seperti jalan di tempat. Dalam situasi yang seakan berada di ujung jalan buntu itu, Presiden Prabowo ‘berijtihad’ lewat mazhab baru. Dia pilih pendapat paling kuat dalilnya dan sesuai ‘qodhiyat’ masyarakat saat ini. Ia dengarkan bisikan hati dan suara jiwanya agar sepenuhnya memberi perhatian, otoritas dan pikiran kepada kaum duafa.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Tentu saja Presiden sudah memiliki banyak referensi dan memahami secara mendalam pandangan pakar terkait problem kemiskinan. Ia juga sudah sangat mengenal karakter kemiskinan di negeri yang dia cintai. Ia pasti sudah menyimak Amartya Sen, ekonom India penerima Hadiah Nobel, yang menyebut kemiskinan sebagai isyarat ketiadaan kebebasan hidup layak. Bukan hanya tentang uang, tapi juga kesempatan dan akses terhadap layanan publik.
Menjaga Legacy
Atau pandangan Peter Townsend, seorang sosiolog Inggris. Townsend mendefinisikan kemiskinan sebagai keterbatasan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Atau juga mazhab modern seperti David Moore. Ekonom Amerika Serikat itu berpandangan bahwa kemiskinan sebagai isyarat ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi standar hidup yang berlaku di masyarakat.
Meski sudah berjalan sebulan lebih, masih sangat mungkin ada yang menilai bahwa gagasan besar Presiden tidak tepat dan hanya akan berujung sebagai utopia. Tapi, apa gerangan yang salah, jika ada pemimpin yang bertekad menyediakan ruang lebih luas bagi ikhtiar memuliakan bangsa sendiri, para kaum papa, dhuafa dan anak terlantar? Sejarah pasti akan mencatat; syahdan pada periode tertentu dalam perjalanan republik ini, ada seorang presiden yang menjadikan fakir miskin sebagai fokus perhatian, atensi dan cintanya.
Pada titik ini, dengan segala risikonya karena ide ini mengandung konsekuensi tidak sederhana, seperti perubahan postur anggaran dan regulasi; harus diakui bahwa presiden telah berani mengamalkan mazhab baru dalam memutus transmisi dan rantai kemiskinan. Instrumennya berupa ‘revolusi’ pendekatan lewat pendidikan, yakni Sekolah Rakyat. Ini sebuah legacy. Sangat jelas ini adalah warisan. Sebuah afirmasi nan berani dari seorang presiden dalam menemukan akar penyebab ketertinggalan bangsanya.
Lantas, sampai kapan legacy ini bisa bertahan? Hingga Sekolah Rakyat telah diakui sebagai konsensus nasional. Menjelma komitmen bersama yang tidak terbatas oleh periode kepemimpinan seorang presiden. Ketika Presiden Prabowo mengakhiri tugasnya, Sekolah Rakyat akan tetap eksis di tengah masyarakat. Pada suatu hari, saat batas kemiskinan semakin menipis, posisi Sekolah Rakyat sudah ‘shifting’ dengan reputasi hebat, dan menjadi ikon pendidikan nasional.
Urgensi Sanad
Bagaimana cara mempertahankan dan melindungi keberadaan Sekolah Rakyat? Salah satunya dengan cara membangun sanad alias rantai nilai-nilai luhur yang telah tertanam kuat dan ditanam secara serius oleh orang-orang yang merupakan pilar utama keberadaan Sekolah Rakyat. Terutama siswa ‘as-sabiqunal awwalun’ (alumni perdana) alias manusia ‘primus inter pares’, yang telah dididik, dilatih, ditempa, dan dipersiapkan untuk tujuan utama, yakni sebagai ‘agents of change’.
“Mereka akan jadi agen perubahan,” begitu Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, sering membayangkan keberadaan siswa-siswa Sekolah Rakyat pada suatu saat nanti. Profil siswa yang diangankan Presiden Prabowo adalah sosok yang sudah terbentuk sebagai figur baru. Figur yang ‘terputus’ dengan masa-masa getir. Masa-masa yang membuat orang tua mereka jarang tersentuh manfaat pembangunan. Masa-masa di mana harapan sulit bertunas jadi kenyataan.
Kini, dalam statusnya sebagai sekolah rintisan, Sekolah Rakyat pasti belumlah sempurna. Masih belum bisa lepas dari masa-masa darurat. Kepala Sekolah adalah rekrutan baru, para guru rekrutan baru, tenaga kependidikannya juga tenaga debutan. Bahkan para siswa juga adalah siswa baru dengan situasi baru. Termasuk fasilitas baru, sistem baru, gedung baru, kurikulum baru, serta kelengkapan belajar baru. Dan semua serba baru untuk target dan tujuan baru nan mulian.
Apa urgensi sanad bagi Sekolah Rakyat? Sanad ilmu adalah rantai pengetahuan atau jalur transmisi keilmuan yang menghubungkan seorang guru atau sumber pengetahuan dengan murid atau penerus pengetahuan. Konsep ini sering digunakan dalam tradisi keilmuan Islam untuk memastikan keotentikan dan validitas pengetahuan yang disampaikan, terutama dalam bidang studi seperti ilmu hadits, ilmu ushul, tafsir Alqur’an, dan ilmu-ilmu agama lain.
Dalam sistem sanad, setiap orang yang menerima pengetahuan dari seorang guru yang memiliki sanad yang jelas dan terpercaya, sehingga membentuk rantai yang tidak terputus dari sumber aslinya. Mekanisme sanad sangat membantu dalam memverifikasi keaslian dan akurasi pengetahuan yang disampaikan. Sanad keilmuan bukan hanya tentang jalur transmisi pengetahuan, lebih dari itu juga terkait masalah otoritas dan kepercayaan dalam komunitas keilmuan.
Sanad Sekolah Rakyat
Dengan memiliki sanad yang jelas, seorang ulama atau penuntut ilmu dapat menunjukkan otentisitas, kredibilitas dan keabsahan pengetahuan yang mereka sampaikan. Dan dalam konteks Sekolah Rakyat, sanad itu berwujud siswa-siswa yang merupakan lulusan tahun-tahun awal beroperasinya Sekolah Rakyat. Mereka adalah rantai utama keberadaan Sekolah Rakyat. Mereka adalah produk asli, orisinal dan otentik, hasil didikan Sekolah Rakyat.
Jika menggunakan konsep sanad, maka mereka akan menjadi pilar-pilar utama Sekolah Rakyat di masa depan. Lulusan periode awal Sekolah Rakyat memiliki tugas _”mandatory”_ untuk menjalani tugas pengabdian di almamater mereka. Sebab, mereka adalah _”eks”_ anak-anak dari orang tua-orang tua miskin dan duafa yang pernah memperoleh intervensi khusus dari negara. Mereka sudah pernah tenggelam dalam lumpur kemiskinan. Kini, mereka telah menjelma kaum yang tercerahkan.
Di masa depan, untuk mempertahankan dan menjaga orisinalitas misi dan dan visi Presiden Prabowo dalam memutus rantai dan transmisi kemiskinan, maka konsep yang paling sederhana adalah sanad. Yakni para Kepala Sekolah yang lulusan Sekolah Rakyat, para guru yang alumni Sekolah Rakyat, wali asrama dan wali asuhnya hasil didikan asli Sekolah Rakyat. Mereka tinggal dan minum air kehidupan Sekolah Rakyat. Menghirup dan berselimut udara Sekolah Rakyat.
Dengan terbentuknya rantai lulusan Sekolah Rakyat yang terus tersambung, berarti pula terjaminnya ekosistem kependidikan yang kompatibel dalam memutus transmisi kemiskinan. Sebab, mereka sangat paham bagaimana rasanya miskin dan ditinggalkan oleh roda pembangunan. Sebab, merekalah sosok-sosok yang paling tahu bagaimana caranya menyentuh nurani calon-calon siswa dari keluarga desil satu, yang miskin dan miskin ekstrem. Mereka pasti sangat paham cara berbagi rasa, empati dan simpati kepada kaum papa.
Akhirulkalam, gagasan besar Presiden Prabowo, harus diakui merupakan hasil ijtihad berdasarkan pendekatan empiris, teologis dan epistemologis sekaligus. Pendekatan yang diambil presiden berdasarkan kondisi dan kenyataan yang dialami kelompok masyarakat, yang telah sekian lama tidak berdaya akibat beragam faktor. Penting disadari bahwa kemiskinan adalah problem yang menjadi pekerjaan semua agama dan mengentaskannya adalah misi ketuhanan semua orang.
Ishaq Zubaedi Raqib, Staf Khusus Menteri Sosial RI