Thailand sudah mendekriminalisasi ganja pada 2022. Namun, hal itu dilakukan tanpa undang-undang komprehensif yang mengatur penjualan, produksi, atau penggunaannya.
Sejak saat itu, puluhan ribu toko dan pengecer berlisensi yang menjual ganja dan ekstraknya bermunculan di seluruh negeri, terutama di kawasan wisata.
Tiga tahun kemudian, Thailand berencana memperketat pengawasan penggunaan ganja. Memastikan ganja hanya digunakan untuk tujuan pengobatan dan bukan lagi untuk rekreasi.
Dalam rancangan undang-undang medis yang rencananya akan diumumkan dalam beberapa minggu ke depan, toko ganja hanya diizinkan menjual produk mereka kepada toko berlisensi lainnya atau kepada pelanggan yang memiliki resep dari tenaga medis profesional.
Chokwan “Kitty” Chopaka, seorang aktivis ganja di Thailand, mengatakan bahwa undang-undang medis baru tersebut bisa menyebabkan 90% toko ganja berlisensi di Thailand tutup.
“Saya mengerti apa yang dilakukan pemerintah. Tapi saya tidak setuju,” katanya kepada DW.
“Saya rasa toko-toko yang akan bertahan adalah toko besar yang punya modal besar, mereka akan melayani turis, sementara warga lokal mungkin akan menanam sendiri, karena mendapatkan surat keterangan dokter akan terlalu menyulitkan.”
“(Mungkin nantinya) hanya akan tersisa sekitar 1.000 toko,” tambah Kitty.
Pemerintah sempat berharap bahwa dekriminalisasi ganja akan menjadikannya komoditas unggulan baru bagi Thailand, mendorong sektor pariwisata dan pertanian. Kamar Dagang Thailand memperkirakan potensi nilai pasar ganja bisa mencapai USD 1,2 miliar (sekitar Rp19,5 triliun) per tahun.
Namun, ketiadaan hukum yang mengatur penggunaannya menciptakan celah hukum yang menyebabkan maraknya penggunaan rekreasional, distribusi ilegal, dan pasar yang ketat. Penggunaan ganja yang terlalu bebas juga memicu penolakan dari sejumlah kelompok aktivis yang menentang legalisasi.
Peraturan yang lebih ketat terhadap penggunaan ganja juga muncul di tengah meningkatnya peringatan bagi wisatawan agar tidak membawa produk ganja keluar Thailand. Dalam beberapa pekan terakhir, dua perempuan asal Inggris ditangkap masing-masing di Georgia dan Sri Lanka karena diduga menyelundupkan ganja.
Penyelundupan ganja dari Thailand juga memicu kekhawatiran di kalangan pejabat Thailand mengenai betapa mudahnya mendapat ganja dalam jumlah besar saat ini.
Gloria Lai, Direktur Regional Asia untuk International Drug Policy Consortium (IDPC), mengatakan keputusan untuk mengajukan rancangan undang-undang baru ini terasa terburu-buru.
“Pernyataan menteri kesehatan tampak seperti reaksi spontan terhadap kekhawatiran soal penyelundupan ganja dari Thailand, dan masih jadi pertanyaan apakah pembatasan penjualan ganja hanya untuk yang memiliki resep medis ini bisa menyelesaikan masalah,” katanya kepada DW.
“Melihat adanya wacana penyusunan undang-undang yang lebih komprehensif untuk mengatur ganja, akan lebih bijak jika dimulai dengan konsultasi yang inklusif terhadap usulan itu, sehingga memberi cukup waktu bagi komunitas yang terdampak untuk memberikan masukan, daripada langsung mengeluarkan aturan baru yang justru bisa menimbulkan kebingungan lebih besar.”
Rattapon Sanrak, pendiri dan presiden Highland Network, sebuah organisasi yang fokus pada isu ganja di Thailand, mengatakan bahwa rancangan undang-undang baru ini berpotensi menimbulkan masalah bagi industri.
“RUU ini hanya berupa regulasi menteri, yang ditentukan oleh satu orang menteri saja. Kalau menterinya ganti, aturannya bisa berubah lagi. Ini berisiko untuk industri yang sudah melibatkan investasi besar dan ribuan lapangan kerja,” katanya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
“Mengeluarkan undang-undang resmi melalui parlemen akan memberi aturan yang lebih stabil dan demokratis, sekaligus melindungi semua pihak yang telah berinvestasi waktu dan uang di industri ganja ini.”
Ketidakjelasan tentang masa depan ganja di Thailand sudah terjadi sejak Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Thailand secara resmi mencabut ganja dari daftar narkotika pada Juni 2022.
Partai Pheu Thai, partai penguasa saat ini, awalnya mendorong agar ganja kembali diklasifikasikan sebagai narkotika. Namun pada 2023, Perdana Menteri saat itu, Srettha Thavisin, menyatakan di Majelis Umum PBB di New York bahwa ganja hanya akan diizinkan untuk keperluan medis.
Di sisi lain, ada tekanan dari Partai Bhumjaithai sebagai mitra koalisi pemerintah. Mereka sejak awal mendorong dekriminalisasi ganja dan tetap ingin agar tanaman itu legal.
Aturan baru ini diperkirakan hanya menjadi langkah sementara sebelum Thailand mengumumkan undang-undang ganja yang lebih komprehensif untuk mengatur sepenuhnya penggunaan, produksi, dan ekspor tanaman tersebut. Undang-undang itu diperkirakan akan dirilis dalam dua tahun ke depan.
Artikel in pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Tezar Aditya
Editor: Rahka Susanto