Siapa Pengganti Paus Fransiskus? Ini Kandidat dan Sistem Pemilihannya

Posted on

wafat pada tanggal 21 April 2025 kemarin di usia 88 tahun. Rencananya, ia akan dimakamkan pada 26 April 2025 di Basilika Santa Maria Maggiore. Sebelumnya, Paus Fransiskus sempat dirawat di rumah sakit akibat penyakit pneumonia.

Lantas, siapa untuk melanjutkan tugas kepausan? Bagaimana sistem pemilihan Paus? Berikut informasi selengkapnya.

Dirangkum infocom, kandidat potensial pengganti Paus Fransiskus berasal dari Asia, Afrika, Amerika Utara, dan Eropa. Nantinya, mereka akan dipilih melalui prosesi yang disebut konklaf, yang digelar di Kapel Sistina, Vatikan.

Berikut ini beberapa kandidat pengganti Paus Fransiskus.

1. Kardinal Luis Antonio Tagle (67, Filipina, Kepala Evangelisasi Vatikan)

Dijuluki “Fransiskus dari Asia” karena dikenal fokus pada isu keadilan sosial. Tagle dianggap kandidat favorit dan bisa menjadi paus Asia pertama, seperti Fransiskus yang menjadi paus pertama dari benua Amerika.

Di atas kertas, Tagle tampaknya memenuhi semua syarat untuk menjadi paus. Namun, prospeknya mungkin meredup akibat tuduhan perundungan institusional di Caritas Internationalis, sebuah asosiasi amal Katolik global yang ia pimpin selama beberapa tahun. Takhta Suci memberhentikan Tagle dari jabatan tersebut pada 2022.

2. Kardinal Pietro Parolin (70, Italia, Sekretaris Negara Vatikan)

Parolin berpotensi menjadi jembatan antar-faksi Gereja. Parolin telah menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan sejak 2013 dan termasuk di antara kandidat terkuat untuk menjadi paus. Posisinya merupakan yang tertinggi kedua dalam hierarki, setelah paus.

Sebagai diplomat karier, ia mendapat kritik dari kalangan konservatif atas perannya dalam perjanjian dengan Beijing terkait pengangkatan uskup di Cina yang dikuasai Partai Komunis. Jika terpilih, Parolin akan membawa kembali kepausan ke tangan bangsa Italia setelah tiga paus non-Italia.

3. Kardinal Peter Turkson (76, Ghana, pejabat dan diplomat Vatikan)

Sebagai calon paus pertama dari Afrika sub-Sahara, Turkson memadukan pengalaman pastoral di Ghana dengan keterampilan diplomatik dan pengalaman kepemimpinan di Vatikan. Paus Fransiskus pernah mengutus Turkson sebagai utusan khususnya untuk misi perdamaian di Sudan Selatan.

Kemampuan komunikasinya yang kuat serta asal-usulnya dari salah satu wilayah gereja yang paling dinamis di tengah tantangan sekularisme di Eropa menjadi nilai tambah yang memperkuat kredibilitasnya.

4. Kardinal Marc Ouellet (79, Kanada, mantan Kepala Kantor Uskup Vatikan)

Seorang veteran dalam lingkaran dalam Vatikan dengan pengalaman global, Ouellet telah lama disebut-sebut dalam diskusi suksesi kepausan. Secara teologis Ia merupakan seorang konservatif dan memiliki kemampuan dalam berbagai bahasa, hal ini membuat sosoknya menarik simpati kalangan tradisionalis. Ia pernah menghadapi tuduhan pelanggaran dalam beberapa tahun terakhir, namun hal tersebut telah dibantah.

5. Kardinal Fridolin Ambongo Besungu (65, Kongo, Uskup Agung Kinshasa)

Disebut sebagai bintang yang tengah naik daun dari Afrika, Ambongo menggabungkan pandangan tradisional yang tegas dengan advokasi keadilan sosial. Ia menjadi suara penting bagi Gereja di benua yang pertumbuhannya sangat pesat itu.

Di saat yang sama, ia juga dikenal vokal menolak terhadap pemberkatan pasangan sesama jenis. Hal itu telah mengangkat profilnya secara internasional, sekaligus memperkuat posisinya di mata kalangan konservatif.

6. Kardinal Matteo Zuppi (69, Italia, Uskup Agung Bologna)

Sering dijuluki “Bergoglio dari Italia” karena keselarasan pandangannya dengan Paus Fransiskus, Zuppi dikenal sebagai “pastor jalanan” karena fokus pada kaum miskin dan migran, serta menghindari hidup dalam kemewahan, bahkan ia kadang memilih naik sepeda daripada menggunakan mobil dinas. Namun, faksi-faksi gereja yang lebih konservatif mungkin bersikap waspada terhadap kecenderungan pandangan progresifnya.

7. Kardinal Jean-Marc Aveline (66, Prancis, Uskup Agung Marseille)

Aveline dikenal karena selera humornya dan hubungan baiknya dengan Paus Fransiskus, terutama dalam isu imigrasi dan hubungan dengan umat Muslim. Jika terpilih, Aveline akan menjadi paus pertama asal Prancis sejak abad ke-14 dan yang termuda sejak Paus Yohanes Paulus II. Ia memahami bahasa Italia, meski belum fasih berbicara dalam bahasa itu, hal ini disebut bisa menjadi kelemahan dalam peran sebagai seorang Paus yang sekaligus menjadi Uskup Roma.

8. Kardinal Peter Erdo (72, Hungaria, Uskup Agung Esztergom-Budapest)

Meski dikenal sebagai seorang pembela ajaran dan doktrin Katolik tradisional, Erdo tetap mampu membangun hubungan dengan dunia progresif dari Paus Fransiskus. Ia pernah menjadi kandidat paus pada tahun 2013. Fasih dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Italia, Erdo mungkin tidak dianggap karismatik, tetapi tetap menarik bagi mereka yang menginginkan kepausan yang lebih stabil.

9. Kardinal Mario Grech (68, Malta, Sekretaris Jenderal Sinode Uskup)

Awalnya dianggap konservatif, Grech kini menjadi sosok terdepan dalam mendorong reformasi yang diinisiasi Paus Fransiskus. Pada tahun 2014, ia menyerukan sikap yang lebih terbuka terhadap umat Katolik LGBTQ+, pidatonya itu juga dipuji oleh Fransiskus. Perannya yang menonjol di Vatikan dan hubungan baik dengan lintas faksi membuatnya berada dalam posisi yang kuat untuk menduduki takhta tertinggi.

10. Kardinal Juan Jose Omella (79, Spanyol, Uskup Agung Barcelona)

Dikenal dekat dengan Paus Fransiskus, Omella menjalani hidup sederhana meskipun menduduki posisi senior. Diangkat menjadi kardinal pada 2016, ia bergabung dalam dewan penasihat beranggotakan sembilan orang yang dipilih paus pada 2023. Kedekatannya dengan Fransiskus bisa menjadi kelemahan jika konklaf menginginkan perubahan nada atau arah kepemimpinan.

11. Kardinal Joseph Tobin (72, AS, Uskup Agung Newark)

Meskipun seorang paus asal AS dianggap mustahil, Tobin adalah kandidat yang paling mungkin menjadi kandidat Paus. Lahir di Detroit dan fasih berbahasa Italia, Spanyol, Prancis, dan Portugis, ia dipuji karena berhasil mengelola skandal pelecehan seksual besar di posisinya saat ini. Ia juga dikenal karena keterbukaannya terhadap komunitas LGBTQ+.

12. Kardinal Angelo Scola (83, Italia, mantan Uskup Agung Milan)

Pernah jadi kandidat kuat pada 2013. Pendukung Scola memuji kecerdasannya dalam teologi dan posisinya yang baik di antara mereka yang mendukung Gereja yang lebih terpusat dan hierarkis. Namun, ia telah melewati batas usia 80 tahun untuk memberikan suara dalam konklaf kepausan. Meskipun secara teknis seorang paus dapat dipilih dari luar pemilih, hal ini jarang terjadi di zaman modern.

Lalu, bagaimana sistem untuk menentukan siapa pengganti Paus Fransiskus? Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Sistem pemilihan Paus baru dinamakan Konklaf Kepausan (Papal Conclave). Konklaf (conclave) menurut Merriam-Webster artinya ‘pertemuan para Kardinal Gereja Katolik dunia yang dilakukan secara tertutup untuk memilih seorang Paus’.

Dirangkum dari katolisitas.org, The Guardian, dan BBC, begini sistem pemilihan Paus baru usai wafatnya Paus Fransiskus.

Kandidat Pengganti Paus Fransiskus

Sistem Pemilihan Paus