Spirit ‘Wa’ dan Memori Ski di Lereng Kamoidake

Posted on

Selayaknya debut yang tak selalu berjalan mulus, pengalaman perdana meluncur di atas salju pun penuh dengan momen gerak goyah dan tergelincir. Kami tertatih-tatih, terhuyung, hingga terjatuh berkali-kali. Namun, di atas salju Kamoidake yang putih membentang itu, pelajaran justru datang lebih dari sekadar bermain ski, kami merasakan hangatnya kebersamaan dalam spirit Wa yang melekat dalam kehidupan masyarakat .

Pengalaman itu kami rasakan saat mengikuti program pertukaran budaya Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (Jenesys) yang berlangsung pada 28 Januari hingga 4 Februari 2025 lalu. Sesi ski ini kami jalani bersama warga Jepang yang menjadi keluarga angkat di Takikawa, Hokkaido. Pertemuan dengan keluarga angkat merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan Jenesys untuk memahami lebih dekat kehidupan penduduk lokal secara langsung serta merayakan persahabatan Indonesia dan Jepang.

Perjumpaan kami dimulai di Gedung Pusat Pembangunan Kota ‘Minkuru’. Begitu masuk ruangan, sorot mata kami langsung tertuju ke sayap kiri ruangan. Warga dari beragam kelompok usia duduk menanti acara dimulai. Kemudian kami duduk di area kanan berhadap-hadapan, bersiap menyapa keluarga angkat.

Acara lalu dibuka dengan sambutan dari perwakilan Japan International Cooperation Center (JICE). Setelah itu, perwakilan peserta Jenesys menyampaikan kesan dan pesan. Tawa pun sesekali terdengar, meski ada sedikit jeda karena harus menunggu terjemahan. Kami tertawa terlebih dahulu, mereka menyusul setelah artinya disampaikan.

Peserta Jenesys tahun ini terdiri dari perwakilan media, diplomat muda serta pegawai pemerintah daerah. Saya, sebagai perwakilan dari infocom, berkelompok bersama tiga peserta lain: dua dari media dan dua dari Kementerian Luar Negeri RI.

Ketika tiba giliran kami memperkenalkan diri sekaligus menyebut nama keluarga angkat, seorang pria tua berdiri dari ujung kiri ruangan, melambaikan tangan ke arah kami. Dia adalah Kazuo Koro.

Setelah acara perkenalan, Kazuo langsung menghampiri kami. Kami bersyukur karena Kazuo dapat berbahasa Inggris, sehingga komunikasi berjalan lancar, mengingat kami tidak fasih berbahasa Jepang.

“Pernah main ski? Kenapa kita tidak main ski saja,” kata Kazuo menyapa kami.

Kami pun bergegas menaiki mobil milik Kazuo. Selama di perjalanan, kami bertukar cerita dan menjelaskan pekerjaan kami masing-masing. Kami juga akhirnya tahu bahwa Kazuo sebelumnya telah beberapa kali menerima peserta Jenesys dari berbagai negara.

Tak lama, kami tiba di rumah Kazuo. Rumahnya minimalis, bertingkat, dan mirip dengan hunian khas Jepang lainnya yang kami jumpai di Takikawa. Di depan rumahnya terdapat tenda kecil untuk menyimpan sepeda.

Kami lalu duduk di ruang tamu sembari menunggu Kazuo menyiapkan keperluan bermain ski. Ia hilir mudik menyiapkan perlengkapan, sambil menyuguhkan kentang manis dan tahu berisi nasi berbumbu manis. Belakangan kami tahu, makanan itu bernama inari sushi.

Setelah makan ringan, kami berangkat menuju area ski di Kamoidake, Kota Utashinai. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang Indonesia dan Jepang, serta membandingkan budaya kedua negara.

Sesampainya di lokasi, kami langsung ke tempat sewa perlengkapan ski. Sepatu ski terasa berat dan membuat langkah kami kikuk. Kami pun mulai berlatih di area yang landai. Kazuo dengan sabar mengajari kami mulai dari memasang sepatu ke papan ski hingga meluncur dan cara berhenti.

Namun berkali-kali mencoba, berkali-kali pula kami jatuh. Yang paling sulit adalah bangkit setelah terjatuh karena beratnya sepatu dan papan ski. Kazuo tak pernah lelah membantu kami berdiri dan terus menyemangati.

Setelah beristirahat sebentar dan meminum minuman manis, kami mencoba bermain di area yang lebih tinggi. Kami menaiki gondola dan bersiap menuruni lereng. Sayangnya, karena belum mahir menahan laju papan, kami terus menerus jatuh. Berdiri kembali pun bukan hal mudah. Setelah lebih dari setengah perjalanan, kami menyerah dan melepas papan ski, lalu berjalan kaki memakai sepatu menuruni lereng meskipun berat.

Namun satu teman kami masih berada di atas, sedangkan saat itu waktu sudah sore. Cuaca juga mulai mendung, isyarat salju akan turun. Akhirnya, ada tim yang menjemput mereka dengan snowmobile karena area ski akan ditutup. Selama proses itu, Kazuo tetap sabar dan setia menemani. Ia memastikan kami tetap aman dan tidak mengalami cedera.

Malam harinya, kami makan malam di restoran sushi. Kami tertawa bersama, membagikan cerita lucu dari pengalaman pertama kami bermain ski.

Setelah makan, kami kembali ke rumah Kazuo. Kami berfoto bersama seperti keluarga. Kami memberinya syal batik sebagai kenang-kenangan. Di momen terakhir, Kazuo mengantar kami kembali ke hotel. Kami berpelukan hangat, sebuah momen yang tak terlupakan.

Hari itu menjadi salah satu hari paling berkesan selama kegiatan Jenesys. Kami berusaha menemukan satu kata yang bisa menggambarkan kebersamaan itu. Baru keesokan harinya, kami menemukannya saat belajar seni kaligrafi Kanji di SMA Takikawa Barat. Salah satu huruf yang kami tulis adalah ‘Wa’, yang berarti harmoni dan kebersamaan. Kata itu juga melambangkan semangat masyarakat Jepang, yaitu spirit untuk saling peduli terhadap sesama.

Ternyata, kami telah merasakannya sehari sebelumnya-bersama Kazuo Kuro, keluarga angkat kami di Takikawa.

Pertemuan Host Family

Main Ski di Kamoidake