Strategi Ekonomi Biru KKP Hadapi Tantangan Tarif Trump

Posted on

Kebijakan tarif timbal balik 32% yang ditetapkan Presiden Trump, kemudian ditunda pelaksanaannya 90 hari, tidak hanya menjadi tantangan bagi eksportir nasional, tapi juga ujian pelaksanaan strategi Ekonomi Biru yang tengah dikebut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Di tengah tren proteksionisme yang semakin menguat pasca pandemi dan meningkatnya ketegangan geopolitik, sektor pangan, terutama protein laut, menjadi arena kompetisi sekaligus ketahanan nasional.

Data menunjukkan pasar perikanan Amerika Serikat selama ini menjadi mitra dagang utama bagi Indonesia. Mengutip data ITC Trademap (2025), total Impor produk perikanan Amerika Serikat sepanjang 2024 sebesar USD 27,43 miliar.

Indonesia merupakan negara pemasok produk perikanan ke-4 di pasar AS (2024) dengan nilai USD 2,02 miliar (7% dari total nilai impor produk perikanan AS). Adapun peringkat pertama adalah Kanada (15%), disusul Chile (12%), dan India (9%)

Komoditas impor utama produk perikanan AS adalah Salmon-Trout (24%) terhadap total impor produk perikanan AS), Udang (23%), Tuna-Cakalang (8%), Rajungan-Kepiting (7%), dan Lobster (6%).

Komoditas perikanan Indonesia yang paling banyak diserap pasar Amerika Serikat adalah udang (USD 1,08 miliar), tuna-cakalang (USD 254 juta), dan rajungan-kepiting (USD 362 juta).

Rencana kehadiran tarif baru yang diberlakukan oleh Presiden Trump tentunya menjadi tantangan bagi Indonesia mempertahankan posisi strategis produk perikanannya di Amerika Serikat.

Saat ini pemerintah tengah aktif melakukan negosiasi dalam masa penundaan pemberlakuan tarif hingga Juli 2025. Di sisi lain, rencana penetapan tarif baru tersebut seperti membunyikan lonceng bagi ekosistem perikanan tanah air untuk menata usaha menjadi lebih kompetitif menghadapi perubahan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pembina di sektor kelautan dan perikanan tengah merancang sejumlah strategi untuk menjaga stabilitas perdagangan ekspor serta geliat produktivitas perikanan dalam negeri.

Diversifikasi pasar ekspor terhadap negara-negara potensial terus dilakukan diiringi dengan upaya penguatan kualitas mutu dan ketertelusuran hasil perikanan sebagai wujud implementasi program Ekonomi Biru.

Kawasan Uni Eropa, Jepang, Tiongkok, dan Timur Tengah menjadi fokus perluasan pasar. Negara-negara ini memiliki potensi permintaan tinggi dan memberikan ruang bagi produk perikanan Indonesia, khususnya dalam bentuk olahan bernilai tambah.

Uni Eropa, misalnya, memiliki porsi impor produk perikanan global sebesar 32,2% untuk tuna dan 23,5% untuk komoditas udang beserta turunannya. Untuk bisa memanfaatkan peluang ini, penyelesaian perjanjian dagang Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) menjadi sangat mendesak. Penandatanganan EPA akan menjadi terobosan strategis karena dapat menurunkan tarif masuk dan menyederhanakan regulasi teknis lainnya.

Negara-negara BRICS dan kawasan Teluk turut menjadi sasaran perluasan pasar perikanan. Indonesia juga terus meningkatkan kerja sama jaminan mutu hasil perikanan terhadap sejumlah negara sebagai jalan menambah jumlah unit usaha perikanan agar bisa melakukan ekspor ke negara tujuan.

Per Maret 2025, sebanyak 544 unit pengolahan ikan Indonesia telah disetujui otoritas Tiongkok untuk melakukan ekspor produk perikanan. Korea Selatan pun menambah daftar perusahaan Indonesia yang berhak ekspor. Di Arab Saudi, KKP sedang menyelesaikan finalisasi izin ekspor komoditas budidaya seperti udang, nila, dan lele ke pasar SFDA.

Pasar Domestik

Selain pasar global, KKP serius memaksimalkan potensi pasar domestik. Dengan strategi matang, pasar dalam negeri akan mampu menjadi tameng kuat menghadapi gejolak eksternal.

Besarnya peluang pasar dalam negeri dapat dilihat dari besarnya jumlah penduduk, serta upaya pemerintah meningkatkan asupan protein nasional menuju 100 gram per kapita per hari seperti di negara-negara maju. Sejak tahun 2022, indeks asupan protein nasional masih berada di angka 62,2 gram per kapita per hari.

Jika separuh dari populasi Indonesia mengonsumsi ikan setara standar WHO (100 gram/hari), nilai pasar domestik bisa mencapai lebih dari USD 5 miliar per tahun. Ini adalah peluang nyata, bukan sekadar potensi.

Adapun sejumlah skenario yang disiapkan KKP dalam membangun pasar domestik yang tangguh mulai dari mengidentifikasi jenis ikan sesuai kebutuhan dan selera masyarakat daerah, memperbaiki struktur pasar, menjamin stok dan kualitas mutu hasil perikanan, hingga memastikan kemudahan distribusi hasil perikanan ke konsumen.

Di sisi lain, penataan bagian hulu perikanan di bidang tangkap maupun budidaya turut dilakukan. Melalui skema penangkapan ikan terukur, biaya operasional penangkapan ikan menjadi lebih murah sebab waktu tempuh kapal menuju lokasi pelabuhan perikanan tempat mendaratkan hasil tangkapan menjadi lebih dekat dan cepat.

Dengan adanya data analitik kebutuhan pasar, nelayan maupun pelaku usaha penangkapan ikan dapat fokus mencari ikan sesuai segmentasi pasarnya. Hasilnya tidak hanya efektivitas tapi juga melindungi ekosistem perikanan dari praktik penangkapan ikan berlebihan.

Untuk memperkuat pasar domestik ini, dapat juga menempatkan program-program pemerintah sebagai pasar awal. Misalnya dengan dapat memanfaatkan program-program sosial seperti bantuan pangan, subsidi ikan ke daerah rawan stunting untuk menyerap produksi aquatik domestik. Hadirnya produk perikanan pada program Makan Bergizi Gratis menjadi contoh nyata penguatan pasar perikanan domestik.

Pelaksanaan pembangunan Ekonomi Biru yang siap dijalankan meliputi revitalisasi tambak idle pantura, termasuk perluasan kawasan modeling budidaya ikan nila salin (BINS) di Karawang, Jawa Barat. Lalu pembangunan tambak budidaya udang modern skala besar, serta modeling garam di Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya merevitalisasi tambak-tambak garam rakyat yang tersebar di berbagai provinsi Indonesia.

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan tentu tak dilakukan sendirian. Di beberapa program, KKP bersinergi dengan pelaku usaha dan masyarakat, seperti pengembangan budidaya ikan tuna di Biak, Papua, hingga pembangunan pelabuhan perikanan modern ramah lingkungan.

Program pembangunan ini akan melengkapi yang sudah lebih dulu berjalan yakni Budidaya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kebumen, modeling budidaya nila salin di Karawang, modeling lobster di Batam, modeling budidaya rumput laut di Wakatobi, serta program Kampung Nelayan Modern di Biak.

Hasil dari semua program pembangunan berbasis Ekonomi Biru ini diarahkan memperkuat ketersediaan hasil perikanan dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. Dengan pasokan yang terjamin dan berkualitas, industri hilir pun akan tumbuh. Hilirisasi jadi tak lagi sekadar jargon. Produk olahan seperti ready-to-eat seafood akan menjadi andalan ekspor masa depan, sekaligus memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Naik Kelas

Tak dipungkiri, kebijakan tarif dari Trump adalah tekanan. Tapi tekanan ini dapat menjadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh ataupun melompat lebih tinggi.

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan tidak mungkin dilakukan pemerintah sendiri. Dibutuhkan kolaborasi antara nelayan, pembudidaya, pelaku usaha, pemda, akademisi, hingga konsumen untuk menjadikan laut sebagai pilar ekonomi nasional.

Ketika dunia makin tidak pasti, kita tak bisa bergantung pada pasar luar. Tapi kita juga tak boleh menutup diri dari peluang ekspor. Indonesia kini menempuh dua jalur sekaligus: memperluas pasar global dan membangun kekuatan dari dalam negeri.

Pasar ekspor menjadikan kita pemain global. Pasar domestik menjadikan kita tangguh dan mandiri. Jika dua kekuatan ini berjalan beriringan, maka kita tidak sekadar bertahan dari tekanan tarif, tapi justru naik kelas sebagai kekuatan maritim dunia.

Doni Ismanto Darwin, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Komunikasi Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *