Suara Siswa SMAN 3 Sukabumi: Aksi Protetif di Medsos

Posted on

Kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di SMAN 3 Sukabumi kembali mengungkap sebuah kenyataan yang memilukan: bahwa sekolah, yang seharusnya menjadi ruang aman dan pelindung, malah sering menjadi tempat yang tak ramah bagi para korban. Namun, di balik keheningan institusi tersebut, ada suara yang terdengar keras, bahkan lebih lantang dari sekadar riuh percakapan di ruang kelas-yaitu suara siswa yang memilih untuk berbicara melalui media sosial.

Mereka tidak turun ke lapangan. Tidak membawa spanduk atau orasi. Tapi mereka “turun ke jalan digital.” Instagram, X (Twitter), hingga TikTok mereka jadikan panggung untuk bersuara. Aksi ini bukan sekadar “ramai di medsos”, melainkan bentuk protes kolektif yang mengguncang narasi dominan-dan membuka ruang baru bagi kebenaran yang selama ini dipendam.

Aksi protes yang dilakukan siswa melalui platform digital bukan sekadar ledakan emosi, melainkan sebuah perlawanan terhadap ketidakadilan yang terstruktur. Ketika institusi pendidikan memilih untuk diam dan menjaga citra, siswa memilih untuk mengguncang dunia digital dengan kisah mereka. Ini adalah momen penting di mana media sosial tidak hanya menjadi saluran untuk berkomunikasi, tetapi juga menjadi ruang di mana keadilan bisa ditemukan, bahkan di tengah kebisuan yang sengaja diciptakan oleh sistem.

Ketika Ruang Kelas Membungkam

Institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat yang memupuk rasa aman dan keberanian. Namun, bagi korban kekerasan seksual, sekolah sering menjadi ruang yang menakutkan. Bukannya mendapatkan perlindungan dan dukungan, mereka justru dibiarkan menghadapi ketidakadilan dalam sepi. Ketika sebuah kejadian tragis terjadi, alih-alih melindungi korban, sistem pendidikan lebih sibuk menutupi kasus tersebut dengan alasan menjaga reputasi dan nama baik.

Budaya tutup mulut yang terjadi dalam sistem pendidikan ini bukanlah hal baru. “Jangan dibesar-besarkan”, atau “Selesaikan secara internal” adalah frasa menyebalkan yang sering kita dengar ketika sebuah masalah besar muncul. Di balik kalimat-kalimat tersebut, ada usaha untuk menyembunyikan kenyataan. Ini adalah realitas yang selama ini dihadapi siswa yang menjadi korban kekerasan. Mereka dibungkam dalam upaya menjaga ketenangan institusi.

Namun, pada zaman digital ini, dunia semakin transparan. Ketika satu suara dibungkam, ada ribuan suara yang siap untuk berbicara. Para siswa SMAN 3 Sukabumi memilih media sosial sebagai ruang di mana suara mereka tidak bisa diredam. Mereka mengambil alih narasi, berbagi pengalaman, dan membangun solidaritas-sebuah bentuk perlawanan terhadap sistem yang justru lebih peduli pada citra daripada cinta.

Respons Netizen: Solidarity in Action

Sebagian besar respons netizen berfokus pada solidaritas terhadap korban; mereka menunjukkan empati dan dukungan kepada para siswa yang berani berbicara. Komentar-komentar seperti “semoga kalian kuat” atau “kami mendukung kalian dalam perjuangan mencari keadilan” mengalir deras di kolom komentar unggahan. Mereka menganggap ini sebagai langkah berani melawan ketidakadilan sistem pendidikan yang kerap diam terhadap kasus-kasus semacam ini.

Dalam konteks komunikasi, respons ini menunjukkan fenomena digital empathy, di mana teknologi memungkinkan orang untuk merasakan dan menanggapi perasaan sesama dengan cara yang lebih langsung dan lebih bebas. Melalui media sosial, masyarakat umum merasa lebih mudah untuk mendukung, bahkan tanpa keterlibatan langsung dalam kejadian tersebut.

Dari #MeToo hingga SMAN 3 Sukabumi: Narasi Global dan Lokal

Kasus yang terjadi di SMAN 3 Sukabumi bukanlah hal baru. Di beberapa negara, media sosial telah menjadi platform penting dalam mengungkap ketidakadilan di dunia pendidikan. Salah satu contoh yang sering disebutkan adalah gerakan #MeToo yang mencuat di berbagai belahan dunia. Awalnya dimulai sebagai suara individu di media sosial, gerakan ini berhasil mengguncang berbagai industri, termasuk pendidikan. Banyak korban kekerasan seksual di universitas-universitas besar yang akhirnya berani berbicara setelah melihat solidaritas yang muncul dari para pengikut tagar ini.

Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana media sosial memberi ruang bagi mereka yang terdampak kebijakan diskriminatif atau pelecehan di dunia pendidikan untuk berbicara tanpa rasa takut. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa gerakan sosial di media sosial berfokus pada penghapusan kekerasan seksual di kampus dan sekolah. Dengan begitu, media sosial tidak hanya memberi ruang untuk mendukung korban, tetapi juga menjadi alat advokasi yang kuat untuk menuntut perubahan yang lebih besar dalam kebijakan pendidikan di tingkat nasional.

Media sosial berperan sebagai digital amplifier-maksudnya, ia bukan hanya sekadar alat komunikasi, melainkan juga sebagai amplifier yang memperbesar dan menyebarkan pesan ke audiens yang lebih luas. Ketika aksi protes dimulai, media sosial menjadi tempat dimana keadilan dicari. Narasi yang tadinya terbatas dalam ruang kelas, kini bergema di seluruh dunia maya.

Media sosial memberi kesempatan bagi masyarakat umum untuk mengungkapkan suara mereka, memperjuangkan kebenaran, bahkan untuk kasus-kasus yang sebelumnya terpendam. Ini menciptakan sebuah gelombang solidaritas yang lebih kuat daripada yang bisa tercipta dalam diskusi tertutup di sekolah atau kampus. Sebagai contoh, di banyak kasus kekerasan seksual, meskipun pihak institusi menutup-nutupi, media sosial memberi dorongan kuat pada korban untuk berbicara.

Dalam hal ini, media sosial memberikan kebebasan untuk berbicara yang lebih besar dan memungkinkan penyebaran informasi secara cepat. Dalam waktu singkat, beragam suara bisa muncul di platform ini, memobilisasi pendapat dan mendesak perubahan yang lebih substansial. Aksi protes melalui media sosial, seperti yang terjadi di SMAN 3 Sukabumi, adalah salah satu contoh kuat bagaimana dunia digital menjadi tempat untuk menuntut keadilan.

Medsos: Ruang Alternatif untuk Berbicara

Media sosial kini telah berubah menjadi networked public sphere, sebagaimana dijelaskan oleh Yochai Benkler dalam teorinya. Di ruang ini, siapa saja dapat berpartisipasi dalam percakapan global tanpa terhalang oleh tembok-tembok institusional. Ketika para siswa di SMAN 3 Sukabumi merasa bahwa suara mereka tidak didengar di ruang kelas, mereka beralih ke dunia digital untuk menyuarakan ketidakadilan. Mereka mengunggah cerita mereka, berkomentar, dan membangun jaringan solidaritas.

Media sosial memberi mereka kekuatan untuk memobilisasi perubahan. Sekali sebuah cerita viral, tidak ada lagi yang bisa menutupinya. Narasi yang dimulai dari satu siswa bisa menyebar, membuka mata publik, dan menuntut perhatian dari pihak-pihak yang selama ini terperangkap dalam kebisuan. Ini adalah bentuk komunikasi resistensi, di mana media sosial menjadi saluran utama untuk memperjuangkan keadilan.

Dalam konteks ini, media sosial bukan hanya sebuah platform, tetapi sebuah ruang perlawanan yang demokratis, memungkinkan siapa saja untuk menuntut perubahan tanpa batasan. Siswa yang sebelumnya merasa tak berdaya kini memiliki kendali atas narasi mereka, dan di sini, mereka menemukan tempat untuk berbicara tanpa takut dibungkam.

Budaya Tutup Mulut: Warisan yang Masih Dipelihara

Budaya diam di dunia pendidikan telah bertahan lama-dan itulah yang membuat banyak korban merasa tidak punya pilihan selain menanggung penderitaan mereka dalam diam. Dalam sistem yang lebih mementingkan citra daripada kesejahteraan siswa, mereka yang melaporkan kekerasan sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap kestabilan institusi.

Di sinilah letak perbedaan antara budaya lama dan perubahan yang dibawa oleh media sosial. Ketika siswa merasa dibungkam oleh guru dan pihak sekolah, mereka melawan dengan cara mereka sendiri: mereka berbicara di media sosial. Siswa tahu bahwa di dunia digital, mereka dapat berbagi cerita mereka dengan orang-orang yang peduli, yang mungkin jauh lebih banyak daripada orang-orang di lingkungan fisik mereka. Mereka tahu bahwa dunia digital adalah ruang di mana kebenaran bisa ditemukan, meskipun pihak sekolah berusaha untuk menutupinya.

Aksi protes yang dilakukan para siswa SMAN 3 Sukabumi harus menjadi titik balik bagi dunia pendidikan. Ketika institusi pendidikan membungkam suara siswa, maka media sosial akan mengisinya. Suara yang selama ini ditahan dalam ruang kelas akhirnya keluar ke dunia maya, menciptakan jaringan solidaritas yang luas, dan menuntut keadilan.

Hemat saya, sudah saatnya kita mengubah cara kita memandang pendidikan. Pendidikan tidak hanya soal mentransfer pengetahuan, tetapi juga soal memberi ruang bagi siswa untuk berbicara, mendengarkan, dan merasa aman. Dunia pendidikan harus belajar bahwa di era digital ini, suara siswa tidak bisa lagi dikendalikan, dan jika institusi tetap bungkam, dunia luar akan mendengarkan.

Turangga Anom mahasiswa Ilmu Komunikasi, pemerhati isu pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *