Syarat dari KPK Agar Gratifikasi ‘Halal’ Bisa Diterima Pejabat baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Komisi Pemberantasan Korupsi () bicara terkait . KPK menyebut ada syarat agar gratifikasi menjadi ‘halal’ dan bisa diterima oleh pejabat.

KPK menjelaskan soal gratifikasi ini dalam acara webinar bertajuk ‘Integritas & Antikorupsi: Dari Kesadaran Menjadi Kebiasaan’ di Kementerian Hukum (Kemenkum), Selasa (19/8) kemarin. KPK berbicara ini di depan para aparatur sipil negara atau ASN.

“Gratifikasi juga banyak yang halalnya daripada yang haramnya. Yang haramnya cuma satu. Kalau kita sebagai ASN, sebagai pegawai negeri, tadi yang haram itu adalah yang menerima apa pun juga bentuknya, bentuk hadiah tadi atau uang apa pun juga yang berkaitan dengan tugas dan wewenang kita,” kata Deputi Bidang Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana dalam webinar tersebut.

Wawan menjelaskan memberi hadiah atau sebagainya memang diperbolehkan asalkan tidak terkait dengan tugas dan kewenangan, sehingga menjadi gratifikasi.

“Selama yang kita terima ini tidak ada kaitannya dengan tugas dan kewenangan kita,” ucapnya.

Wawan mencontoh jika orang tua atau saudara yang memberikan sesuatu, bisa diterima. Namun, jika orang lain yang memberikan sesuatu karena jabatan, harus ditolak.

“Kalau orang tua kita kasih uang ke kita, terima nggak? Ya terimalah. Kakak kita kasih bekel ke kita terima nggak? Ya terimalah di situ,” ucap dia.

“Tapi kalau orang lain yang memberikan sesuatu pada kita karena jabatan kita, maka itu harus ditolak. Itu yang disebut gratifikasi,” tambahnya.

Dalam acara yang sama, Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo juga sempat bicara terkait banyaknya ASN yang belum mengetahui titik rawan korupsi di lingkungan pekerjaannya. Ia menyebut ketidaktahuan ini membuat langkah pencegahan korupsi menjadi tidak optimal.

Awalnya Ibnu menjelaskan tantangan bagi para ASN jika ingin menerapkan nilai-nilai integritas.

“Seperti, budaya kerja yang sudah mengakar. Kebiasaan lama yang permisif atau acuh tak acuh terhadap pelanggaran membuat perubahan perilaku memerlukan waktu dan konsistensi,” ujar Ibnu via daring.

Ibnu lalu menyinggung tidak semua ASN memahami titik rawan korupsi di lingkungan pekerjaannya. Hal itu lah yang membuat langkah pencegahan tidak optimal.

“Kurangnya kesadaran risiko korupsi. Tidak semua ASN memahami titik rawan korupsi di pekerjaannya sehingga langkah pencegahan tidak optimal. Justru dengan memahami titik rawan korupsi kita akan terhindar dari korupsi itu sendiri,” ucapnya.

Ibnu juga menyinggung konflik kepentingan di internal. Ia menilai banyak ASN yang menganggap wajar dengan pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh hubungan pribadi.

“Dengan adanya konflik kepentingan ini, bisa muncul dari hubungan keluarga, hubungan perkawanan atau mungkin ada suatu kolusi. Bisa juga karena suatu gratifikasi atau suap. Itu mempengaruhi pola kita dalam mengambil suatu keputusan. Itu disebut ada conflict of interest,” ucapnya.

Adapula persoalan tekanan dari atasan, rekan kerja atau pihak eksternal. Menurut Ibnu, ASN kerap didorong untuk melanggar aturan.

“ASN sering dihadapkan pada permintaan atau intervensi yang mendorong mereka melanggar aturan. Jadi mulai saat ini ASN diminta untuk tegak lurus melakukan aturan-aturan yang ada,” sebutnya.

“Kalau toh ada ajakan pimpinan yang tidak benar, saudara bisa menolak. Apalagi ajakan dari kanan kiri saudara yang mengajak melakukan penyelewengan, melakukan tindak pidana korupsi saudara harus bisa menolaknya,” tambahnya.

ASN Tak Paham Titik Rawan Korupsi

Wawan mencontoh jika orang tua atau saudara yang memberikan sesuatu, bisa diterima. Namun, jika orang lain yang memberikan sesuatu karena jabatan, harus ditolak.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

“Kalau orang tua kita kasih uang ke kita, terima nggak? Ya terimalah. Kakak kita kasih bekel ke kita terima nggak? Ya terimalah di situ,” ucap dia.

“Tapi kalau orang lain yang memberikan sesuatu pada kita karena jabatan kita, maka itu harus ditolak. Itu yang disebut gratifikasi,” tambahnya.

Dalam acara yang sama, Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo juga sempat bicara terkait banyaknya ASN yang belum mengetahui titik rawan korupsi di lingkungan pekerjaannya. Ia menyebut ketidaktahuan ini membuat langkah pencegahan korupsi menjadi tidak optimal.

Awalnya Ibnu menjelaskan tantangan bagi para ASN jika ingin menerapkan nilai-nilai integritas.

“Seperti, budaya kerja yang sudah mengakar. Kebiasaan lama yang permisif atau acuh tak acuh terhadap pelanggaran membuat perubahan perilaku memerlukan waktu dan konsistensi,” ujar Ibnu via daring.

ASN Tak Paham Titik Rawan Korupsi

Ibnu lalu menyinggung tidak semua ASN memahami titik rawan korupsi di lingkungan pekerjaannya. Hal itu lah yang membuat langkah pencegahan tidak optimal.

“Kurangnya kesadaran risiko korupsi. Tidak semua ASN memahami titik rawan korupsi di pekerjaannya sehingga langkah pencegahan tidak optimal. Justru dengan memahami titik rawan korupsi kita akan terhindar dari korupsi itu sendiri,” ucapnya.

Ibnu juga menyinggung konflik kepentingan di internal. Ia menilai banyak ASN yang menganggap wajar dengan pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh hubungan pribadi.

“Dengan adanya konflik kepentingan ini, bisa muncul dari hubungan keluarga, hubungan perkawanan atau mungkin ada suatu kolusi. Bisa juga karena suatu gratifikasi atau suap. Itu mempengaruhi pola kita dalam mengambil suatu keputusan. Itu disebut ada conflict of interest,” ucapnya.

Adapula persoalan tekanan dari atasan, rekan kerja atau pihak eksternal. Menurut Ibnu, ASN kerap didorong untuk melanggar aturan.

“ASN sering dihadapkan pada permintaan atau intervensi yang mendorong mereka melanggar aturan. Jadi mulai saat ini ASN diminta untuk tegak lurus melakukan aturan-aturan yang ada,” sebutnya.

“Kalau toh ada ajakan pimpinan yang tidak benar, saudara bisa menolak. Apalagi ajakan dari kanan kiri saudara yang mengajak melakukan penyelewengan, melakukan tindak pidana korupsi saudara harus bisa menolaknya,” tambahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *